Ampas jamu untuk mengolah jamu.
Cengkih, jahe, dan biji adas hanya 3 dari ratusan jenis bahan herbal yang dibutuhkan PT Sido Muncul Tbk. Setiap bulan, pabrik seluas 36 ha di Klepu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, itu memproses lebih dari 4.000 ton bahan herbal. Setelah pemrosesan, berbagai jenis rimpang, biji, bunga, daun, kulit batang, atau akar dari bermacam-macam tanaman itu “bersalin rupa” menjadi serpih-serpih kecil cokelat kehitaman berbentuk acak.
Itulah limbah padat atau ampas jamu. Sido Muncul memanfaatkan limbah itu menjadi briket. Bahan bakar terbarukan itu mampu memangkas konsumsi gas industri Sido Muncul, yang berkisar 20 ton per hari. Untuk memproduksi briket perusahaan itu membangun instalasi pembuat briket dalam gedung berukuran 50 m x 50 m dengan atap setinggi hampir 10 m. Di dalam bangunan itu, mesin pembuat pelet berputar setiap hari.
Nilai tambah besar
Ampas jamu masuk mesin perajang dan penyerbuk lalu keluar dalam bentuk serbuk halus. Serbuk limbah jamu pascaproses produksi itu masih berkadar air lebih dari 30%. Namun, setelah melewati tabung pengering berputar, kadar air ampas menjadi kira-kira 15%. Serbuk kering itu lantas memasuki unit pembentuk pelet lalu keluar sebagai silinder kecil memanjang mirip pakan burung. Bedanya briket ampas itu berwarna hitam legam.
Briket itulah yang menjadi andalan menekan konsumsi gas mereka. Sido Muncul memanfaatkannya sebagai bahan bakar boiler di unit evaporator, perkolator, ekstraktor, dan untuk mesin pembuat briket itu sendiri. “Unit pemanas di mesin pembuat briket itu pun berbahan bakar briket,” kata direktur utama Sido Muncul, Irwan Hidayat. Produksi bahan bakar itu tidak memerlukan perubahan mendasar desain mesin-mesin produksi jamu.
Penyesuaiannya hanya dengan menambahkan tungku terpisah untuk membakar pelet atau briket. Dengan demikian mesin-mesin produksi Sido Muncul beroperasi dengan 2 jenis bahan bakar, gas dan pelet. Nilai kalori briket ampas jamu itu jauh di bawah bahan bakar gas. Perimbangan energi pelet ampas jamu itu tidak imbang dengan gas. Menurut Irwan perlu 2,6 kg pelet untuk menghasilkan panas setara sekilogram gas.
Dari segi biaya pun, sepintas pelet limbah jamu tampak lebih mahal. Bagaimana tidak, biaya produksi sekilogram pelet Rp5.600 sehingga harga 2,6 kg pelet setara Rp14.560. Sementara harga sekilogram gas industri hanya Rp8.000, hampir separuh pelet limbah jamu. Namun, “Menghitungnya tidak hanya dari sisi pembelian bahan bakar. Memperoleh bahan bakar dari limbah produksi itu nilai tambah tersendiri,” kata Irwan Hidayat.
Maksudnya perhitungan itu baru imbang kalau menambahkan komponen biaya pengolahan ampas jamu. Itu termasuk nilai tambah dari pemanfaatan lahan yang efisien bebas dari timbunan ampas, biaya transportasi seandainya ampas itu ditimbun di tempat lain, sewa lahan, serta berbagai komponen biaya lain. Barulah kemudian harga pelet bahan bakar terasa masuk akal.
“Itu yang dibilang sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui,” kata Irwan. Tidak sekadar menuntaskan masalah gunungan ampas jamu dan menghemat lahan dalam kawasan pabrik, pengolahan limbah jamu itu justru menghasilkan bahan bakar untuk proses produksi.
Nirlimbah
Setelah limbah itu menjadi bahan bakar, ternyata jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan industri. Dari 40 ton limbah per hari, 60—70% atau sekitar 24—28 ton menjadi pelet bahan bakar. Dengan nilai kalori 38% gas, jumlah itu setara 9,2—10,7 ton gas. Itu hanya memenuhi separuh kebutuhan bahan bakar Sido Muncul. Produsen sirop jamu Tolak Angin itu masih harus mengandalkan pasokan gas industri.
Meski demikian pemanfaatan ampas jamu menjadi bahan bakar itu menggambarkan upaya Sido Muncul menihilkan limbah produksi (zero waste). “Pembakaran pelet limbah jamu sempurna karena bantuan udara dari blower sehingga sisanya hanya abu,” kata anggota staf Hubungan Masyarakat Sido Muncul, Bambang Supartoko S.P., M.Si., abu itu menjadi pupuk organik, yang langsung dimanfaatkan untuk memupuk berbagai tanaman.
Maklum, di dalam kawasan seluas 36 hektare itu tidak melulu terpasang instalasi mesin produksi. Selain kebun koleksi berbagai tanaman obat, ada plot demonstrasi tanaman hortikultura untuk pengujian produk pupuk organik. Proses ekstraksi zat aktif dari dalam bahan herbal memerlukan pemanasan dengan suhu maksimal 50°C. Tujuannya agar zat aktif itu tidak rusak.
Caranya, “Tekanan dalam ekstraktor diturunkan menjadi setengah tekanan udara luar,” kata Irwan Hidayat. Tekanan rendah itu menurunkan titik didih air yang normalnya 100°C menjadi 50°C. Meskipun “hanya” memanaskan air hingga separuh titik didih normal, jumlah bahan yang harus diekstrak sangat banyak. Sebagai gambaran, “Proses produksi Tolak Angin sudah dilakukan dalam 3 shift, 24 jam sehari tapi tetap kurang,” kata Bambang Supartoko.
Proses itu tentu saja memerlukan sejumlah besar bahan bakar. Berkat pelet ampas, Sido Muncul mampu memangkas separuh kebutuhan bahan bakar fosil sejak 2015. Dalam sehari, mereka menghemat biaya pembelian 10 ton gas senilai Rp80-juta dan mengalihkannya untuk pengolahan limbah. Tidak hanya menguraikan tumpukan limbah, Sido Muncul sukses memangkas belanja bahan bakar industri dengan pembuatan pelet bahan bakar. (Argohartono Arie Raharjo)