Wednesday, March 5, 2025

Bisnis Anggrek karena Krisis

Rekomendasi

Yayah Rokayah

Dua dasawarsa Yayah Rokayah mantap berbisnis anggrek.

Yayah Rokayah, kolektor anggrek dan pemilik Centra Anggrek di Ciwidey, Kabupaten Bandung.

Trubus — Krisis moneter pada 1997 menjadi masa sulit bagi Yayah Rokayah. Perusahaan properti tempatnya bekerja tak lagi menjanjikan masa depan cerah. Untuk membantu perekonomian keluarga, ibu tiga anak itu terpaksa menjual anggrek di kaki lima lapangan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) di Kota Bandung, Jawa Barat. Terkadang ia juga berjualan di sekitar Gelanggang Olah Raga (GOR) Pajajaran di Kota Bandung. Amay—panggilannya—hanya berjualan setiap Ahad dari pukul 6.00—9.00. Pada hari itu biasanya ramai warga Bandung berolah raga.

Untuk berjualan anggrek itu Amay merogoh modal awal Rp5 juta. Modal itu untuk membeli anggrek dari pekebun di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, untuk dijual kembali. Sebagian pasokan anggrek berasal dari koleksinya. Perempuan 57 tahun itu sebelumnya memang pehobi anggrek. Pendapatan dari hasil berjualan anggrek di kaki lima itu tergolong lumayan. Ia mampu meraup omzet rata-rata Rp2,5 juta setiap kali berjualan. Dari hasil penjualan itu ia mengambil laba 30%. Sisanya ia belanjakan lagi untuk modal membeli anggrek siap jual. “Jumlah uang sebanyak itu tergolong besar ketika itu,” ujarnya. Itulah sebabnya ia mengundurkan diri dari perusahaan properti tempatnya bekerja agar fokus berniaga tanaman anggota famili Orchidaceae itu.

Jutawan

Anggrek cattleya berwarna salah satu produk andalan Yayah Rokayah.

Dua tahun lamanya Amay berjualan anggrek di kaki lima menggunakan mobil. Kisah masa sulit itu kini tinggal kenangan. Ibu tiga anak itu telah bermetamorfosis menjadi pengusaha anggrek kawakan. Istri dari Rusyani Herman itu kini meraup omzet rata-rata Rp700 juta dari hasil penjualan 4.500—5.000 tanaman anggrek per bulan. Setelah dikurangi biaya produksi sebesar Rp120 juta—Rp150 juta, biaya gaji karyawan, listrik, air, dan pupuk, rata-rata Rp50 juta per bulan. Amay meraup laba Rp550 juta—Rp580 juta per bulan.

Menurut Amay, biaya tertinggi berasal dari pembelian bibit, yakni mencapai Rp200 juta setiap 2–3 bulan. Harap mafhum, ia masih mengandalkan pasokan bibit impor asal Taiwan, terutama jenis anggrek bulan. ”Bibit anggrek bulan yang boleh masuk ke Indonesia harus berukuran 1,7 inci,” katanya. Anggrek bulan panen 2—3 tahun setelah tanam.

Penjualan terbesar dari anggrek bulan.

Sebagian besar pendapatan Amay peroleh dari hasil penjualan anggrek bulan Phalaenopsis, yakni sebanyak Rp350 juta. Pencinta bunga menyukai anggrek bulan lantaran warna dan coraknya yang beragam. Phalaenopsis juga lebih cepat berbunga. Ia menjual anggrek bulan berbunga setinggi 10 cm dengan harga Rp75.000–Rp100.000 per tanaman. Harga vanda minimal Rp1 juta. Harga jual bervariasi tergantung kondisi tanaman dan bunga. “Jika sosok tanaman bagus, corak bunga unik dan langka, maka harga jual pun tinggi,” tutur Amay.

Amay sukses menjadi jutawan berkat berbagai strategi. Salah satunya memilih pemasok anggrek berkualitas. Selain pasokan dari pekebun anggrek di Parung, Amay juga menambah pasokan anggrek dari Ayub S. Parnata. Ayub populer di kalangan pehobi anggrek sebagai produsen dan penyilang anggrek berkualitas. Itulah sebabnya kerja sama dengan pemilik Paskal Orchid itu ibarat jaminan mutu.

Selama kerja sama itu saya juga diperbolehkan menggunakan kebunnya untuk menitipkan anggrek yang tidak terjual,” tutur pemilik Centra Anggrek itu. Amay juga menyewa kebun di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, untuk menampung koleksi dan stok anggrek karena belum punya kebun sendiri.

Buka gerai
Jalan menuju sukses pun makin terbentang. Pada 2000 Amay mendapatkan tawaran dari PT Eka Karya Graha Flora, produsen dan eksportir anggrek yang berkantor pusat di Kemang, Jakarta Selatan, untuk menjadi pemasok. Buah dari kerja sama itu terlihat setelah dua tahun menjalin kerja sama. Amay tak lagi bergantung pada pemasok lantaran mulai membudidayakan anggrek di kebun sendiri. Pada 2002 ia membangun rumah tanam berkerangka bambu dan beratap plastik ultraviolet (UV) di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, seluas 3.000 m². Jenis anggrek yang dibudidayakan pun lebih beragam, seperti dendrobium, vanda, oncidium, phalaenopsis, dan cattleya.

Aditya, putra kedua Yayah Rokayah, bersama vanda koleksi setinggi 160 cm.

Menurut Amay, konsumen menyukai dendrobium karena memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang beragam. Pemeliharaannya pun lebih mudah dan bunganya berumur panjang, yakni tahan hingga 30 hari. Centra Anggrek menjual dendrobium berbunga dengan kondisi mekar 30%. Vanda juga menjadi pilihan lantaran relatif mudah perawatannya. “Vanda tidak memerlukan media tanam seperti tanah. Jadi lebih praktis dalam penempatannya,” paparnya.

Bisnis anggrek Amay makin menggurita setelah membuka gerai cabang di berbagai daerah pada 2003. Salah satunya kawasan Jalan Cipaganti Kota Bandung. Lokasi itu sangat strategis lantaran dilewati para wisatawan yang menuju ke arah Lembang. Gerai lain seperti di kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tasikmalaya, keduanya di Jawa Barat. Ia juga menyasar konsumen sekitar Jabodetabek dengan membuka gerai di Taman Anggrek Indonesia Permai (TAIP). “Dengan begitu pengiriman ke konsumen di Jabodetabek dan daerah lain di Jawa Barat menjadi lebih dekat,” ujar alumnus Lembaga Pendidikan Sekretaris Santa Angela Bandung itu.

Selain anggrek bulan dan cattleya, Yayah Rokayah juga
menyediakan beragam vanda.

Makin banyak gerai, makin banyak pula pasokan yang diperlukan. Itulah sebabnya Amay membangun rumah tanam baru di Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, untuk menambah pasokan. Luas kebun berketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl) itu 7.000 m². Ia juga membuka kebun baru seluas 6.000 m² di Kampung Cioleole, Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. Daerah itu berketinggian 1.000 m dpl. “Namun, yang ditanami baru 4.500 m²,” tutur perempuan kelahiran Cianjur, 12 Oktober 1960 itu.

Sayangngya, hanya satu gerai yang masih beroperasi di TAIP. Aktivitas budidaya dan pemasaran berlangsung di tiga lokasi kebun. Amay juga membuka ketiga kebun itu untuk dikunjungi khalayak umum. Dengan begitu ia bisa berinteraksi langsung dengan pengunjung. Ia bahkan kerap memberikan bonus kepada pengunjung dan instansi pemerintahan yang membutuhkan anggrek untuk hiasan.

Rajin pameran

Menjelang berbunga, tanaman anggrek dipindahkan ke Ciwidey yang lebih dingin
untuk merangsang pembungaan.

Amay juga gencar mengikuti pameran demi pameran di Indonesia. “Tujuannya untuk mempertahankan pasar dan sekaligus mencari pasar baru,” tambahnya. Dengan mengikuti pameran konsumen bisa melihat, membeli, dan langsung membawa pulang anggrek. Menurut Amay pameran sarana paling efektif untuk mendongkrak pemasaran. “Selama masih ada pameran tanaman hias, pasti banyak orang mencari anggrek, terutama yang memiliki warna-warna mencolok dan bunganya indah seperti anggrek bulan,” katanya.

Meski demikian Amay tak ketinggalan menggunakan media promosi yang “kekinian”, seperti iklan pada media cetak dan daring, situs penjualan daring, dan blog Centra Anggrek. Inovasi juga menjadi andalan Amay untuk meningkatkan pendapatan. Pada 2010 ia mulai menyilangkan anggrek bersama sang suami. “Apa yang orang lain tidak tanam, saya tanam,” katanya.

Anggrek dari nurseri Yayah Rokayah kerap
menjuarai kontes.

Sayangnya usia Amay beranjak senja. Ia jarang mengikuti pameran jika lokasinya terlalu jauh. “Kalau masih di Pulau Jawa saya masih bisa datang,” katanya. Jika diminta ikut lomba atau hadir dalam pameran, ia hanya mengirim anggrek ke lokasi tujuan. Usia pula yang membuat Amay tak lagi mengelola bisnis secara langsung. Roda bisnis ia serahkan kepada anak keduanya, Aditya. “Anak sulung saya menggeluti bisnis kopi, sedangkan yang bungsu masih kuliah,” katanya.

Meski sudah hampir dua dasawarsa terjun di bisnis anggrek, Amay optimis bisnis anggrek akan ajek. “Konsumen selalu menunggu hibrida baru dengan variasi bentuk bunga lebih menawan dan indah. Kalau tidak ada jenis baru pun, mereka tetap membeli jenis anggrek yang ada untuk menambah koleksi, atau untuk menghias pekarangan rumah dan kantor,” imbuh mantan pengusaha properti itu. Itulah sebabnya Amay yakin bakal bertahan menjadi jutawan. (Marietta Ramadhani)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Kelompok Tani Karya Baru: Inovasi Olahan Cabai Hiyung dari Tapin

Trubus.id–Kelompok Tani Karya Baru merupakan salah satu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Hortikultura  yang mengembangkan produk cabai...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img