
Memasak dengan biomassa menjadi mudah berkat kompor praktis.
“Bruk!” Sudarto meletakkan ikatan kayu bakar. Warga Kelurahan Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, itu baru saja membeli kayu dari pengepul yang rutin mengirim dengan mobil bak terbuka. Setiap hari ia menjerang air untuk “merebus” kain batik tulis usai pewarnaan. Proses yang disebut nglorot itu bertujuan melepaskan lapisan lilin sisa proses membatik dari permukaan kain.
Air mendidih mencairkan lilin sehingga mudah terlepas dari kain. Setiap hari Sudarto melakukan hal itu usai menerima kiriman batik dari rekanannya perajin batik tulis atau batik cap. Setiap nglorot, ia merebus air dalam kuali berkapasitas besar, hampir mencapai 1.000 liter air. Proses nglorot selama 2—3 jam menghabiskan sekitar 80—90 kg, setara 1,3—1,5 m³ kayu bakar.
Elpiji kaleng
Menurut dosen di Jurusan Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret, Dr. Joko Triyono S.T., M.T., “Kelemahan umum kayu bakar adalah sulit menyalakan dan mematikan.” Untuk mempermudah penyalaan, perajin menyiramkan minyak tanah atau solar pada kayu bakar sebelum menyulut api. Cara itu memancing munculnya banyak asap yang mengganggu penghuni rumah. Maklum, mayoritas perajin membuat batik di rumah.
Berbagai kelemahan itu mendorong Joko mendesain kompor berbahan bakar briket yang praktis. Kompor membulat berdiameter 37 cm setinggi 40 cm itu berdinding pelat baja 0,4 cm. Sebuah kipas mungil berdiameter 5 cm mengembuskan udara untuk menyempurnakan pembakaran. Joko merancang kompor itu untuk menggunakan bahan bakar briket maupun pelet bahan bakar.

Wadah bahan bakar menyerupai mangkuk berbahan gerabah yang dasarnya berlubang-lubang untuk sirkulasi udara. Untuk mempermudah penyalaan, Joko menempatkan pipa torch yang berfungsi menyemburkan api ke dalam tumpukan bahan bakar di dalam wadah. Torch menggunakan kaleng liquified petroleum gas (LPG) portabel berbobot 230 gram, yang lazim digunakan untuk kemping.
“Dengan bantuan torch, tidak sampai 5 menit bahan bakar terbakar menghasilkan lidah api yang besarnya tidak kalah dengan kayu,” ujar Joko. LPG dalam kaleng itu tahan sepekan lebih lantaran sekadar membantu penyalaan bahan bakar utama. Mematikan kompor pun sangat mudah. Usai pemakaian, tutup bagian atas kompor dan matikan kipasnya. Dalam waktu singkat, sisa bahan bakar yang membara pun padam.
Saat pengujian pertama pada 2012 di sebuah perajin batik di Laweyan, Surakarta, suhu kompor itu stabil di 1.100°C dan lebih cepat mendidihkan air lebih cepat ketimbang kayu bakar. “Perajin batik ingin diameter kompor diperbesar agar panas merata sehingga air mendidih lebih cepat,” ungkap ayah 2 anak itu. Selain itu, perajin ingin bahan kompor dipertebal agar lebih awet. Sayang, pengembangan kompor itu tidak berlanjut lantaran hibah dana penelitian dari Direktorat Pendidikan Tinggi terhenti.
Bisa diatur

Nun di Kota Malang, Jawa Timur, guru besar Jurusan Fisika Universitas Brawijaya, Prof. Muhammad Nurhuda juga merekayasa kompor berbahan bakar biomassa yang juga mudah dihidup-matikan. Bahkan pengguna bisa mengatur besar-kecilnya api kompor layaknya kompor elpiji. Kuncinya terletak di 2 lubang pengaturan udara. Nurhuda meriset kompor itu sejak 2009. Ia membuat 2 jenis kompor untuk bahan bakar berbeda.
Kompor Biomass UB berbentuk persegi berbahan bakar kayu, sedangkan kompor Biomass UB-03 yang berbentuk bulat dapat menggunakan tempurung kelapa, cangkang sawit, kulit kemiri, atau biji-bijian keras. Sementara itu, pelet biomassa bisa digunakan di keduanya. Untuk penyalaan awal, pengguna masih harus menuangkan spiritus atau minyak tanah dengan membuka penuh kedua lubang udara.
Setelah api menyala, pengguna tinggal menyesuaikan bukaan kedua lubang untuk memperoleh nyala api sesuai keinginan. “Bahan bakar biomas harus benar-benar kering agar nyala api biru seperti kompor elpiji,” kata Nurhuda. Kompor setinggi 36 cm itu ringan tetapi kokoh. Tabung bakar (tempat bahan baar) di tengah kompor bisa dilepas untuk memasukkan bahan bakar maupun membersihkan.
Kinerja kompor kreasi Nurhuda itu mampu melampaui 3 kompor sejenis produksi mancanegara. Pengujian sesuai standar International Workshop Agreement on Cookstoves atau Kesepakatan Produsen Kompor Dunia memberikan skor efisiensi panas 49%. Bandingkan dengan skor kompor lain yang hanya 28—31%.

Kedua kompor itu bisa memberikan alternatif bagi warga yang tinggal di tepi kota yang mudah memperoleh biomassa tanaman. Ketika gas elpiji kerap sulit diperoleh dan harganya dipermainkan pedagang, biomassa menjadi alternatif. Biaya pembelian gas pun bisa dialihkan untuk hal yang lebih produktif. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Bondan Setyawan)