Memetik omzet 15 juta rupiah per bulan dari ternak puyuh petelur.
Trubus — Omzet Satriyo Pandunusawan belasan juta rupiah per bulan. Penghasilan itu berasal dari ternak 5.000 burung puyuh petelur. Peternak di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, itu rutin memanen 2.500 telur per hari. “Tiap hari rata-rata 50% yang bertelur,” ujar Pandu alumnus Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, itu. Harga rata-rata telur puyuh Rp200 per butir.
Itulah sebabnya Pandu tidak perlu meminta uang kepada orang tuanya untuk membayar uang kuliah. Semula ia hanya beternak 200 burung puyuh pada 2015. Ia mesti menunggu sekitar 40 hari hingga burung itu dewasa dan bertelur. “Saat itu saya baru menghasilkan 100 telur per hari, tetapi orang tua sudah senang,” ujarnya mengenang. Melihat keberhasilan itu, orang tua Pandu menyuntikkan modal Rp20 juta rupiah untuk mengembangkan bisnis.
Lapangan kerja
Pandu menuturkan, “Orang tua menantang saya untuk mengembalikan modal itu. Artinya orang tua hanya meminjamkan,” ujar pemuda 23 tahun itu. Pada akhir 2015 pemuda yang hobi bercerita dan membaca buku kisah inspiratif orang-orang sukes itu menambah populasi burung puyuh menjadi 5.000 ekor. Pandu tidak bekerja sendiri. Tetangga membantu menjalankan bisnis. Harap mafhum, Pandu masih menyelesaikan kuliahnya.
Namun, bisnis Pandu tak selalu berjalan lancar. Pada September 2018, ia hampir bangkrut. Sekitar 600 burung puyuh meregang nyawa. “Faktor utama karena terlalu lembap dan panas,” kata Pandu. Hasil hitung-hitungan Pandu, ia merugi hingga Rp8 juta. “Namanya pengusaha, kalau naik enak, kalau jatuh sejatuh-jatuhnya,” ujarnya.
Pandu tetap melanjutkan beternak burung puyuh. Harga telur yang naik turun juga membuat Pandu masygul. “Kalau sudah di hadapan tengkulak, peternak pasti kalah,” kata pemuda kelahiran 23 Desember 1995 itu. Tengkulak bisa memberikan harga standar, bagus, tidak jarang memberikan harga yang sangat murah.
Pandu mengatakan, “Sementara peternak, jika ditawar tengkulak dengan harga murah, mau tak mau tetap akan dilepas. Sebabnya, telur akan rusak kalau tidak segera dijual.” Pandu beberapa kali harus menjual telurnya Rp110 per butir, padahal lazimnya Rp200 per butir.
Beragam rasa telur
Satriyo Pandunusawan berupaya mengatasi tekanan para tengkulak. Itulah sebabnya ia menerapkan inovasi. Ia mengadpsi teknologi pemberi rasa pada telur berbasis sistem perendaman sehingga telur puyuh pun lebih awet. Selain itu ia sanggup membuat telur puyuh bercita rasa makanan tradisional khas Indonesia seperti rasa soto, kare, dan rawon. Pandu menggunakan teknologi osmotech yang proses kerjanya seperti pembuatan telur asin tradisional.
Lazimnya produsen telur asin menggunakan tanah liat dan abu gosok atau perendaman dalam larutan garam sebagai media masuknya garam. Sebaliknya osmotech peranti untuk membuat telur berbagai rasa. Caranya dengan merendam telur dalam larutan perasa makanan lalu memberikan tekanan 1,5 bar agar rasa-rasa yang diberikan lebih cepat masuk ke dalam telur.
Selain itu penambahan cita rasa juga kurang efektif dan efisien. “Kalau pakai tanah liat harus membuat dahulu adonannya dan setelah proses selesai, masih harus membersihkan telur dari adonan yang menempel,” ujar Pandu. Sementara dengan mesin osmotech lebih higienis dan lebih cepat. Ia memiliki ide untuk menambahkan cita rasa makanan khas Nusantara pada telur-telur puyuh produksinya.
Inovasi itu berhasil meskipun belum semua rasa bisa maksimal. Penambahan rasa plus pengemasan yang apik menyebabkan Pandu mampu menjual telur puyuh Rp5.000—Rp7.500 per kemasan terdiri atas 8 butir. Bandingkan dengan harga telur puyuh tanpa rasa hanya Rp4.000 per kemasan berisi 10 butir. “Saya berharap mesin pembuat telur rasa bisa dimiliki kelompok-kelompok peternak agar nilai telur puyuh meningkat,” kata Pandu. (Bondan Setyawan)