Friday, January 17, 2025

Ilusi Daging Sapi

Rekomendasi
- Advertisement -
Daging sapi merupakan komoditas high income elastic atau komoditas yang dikonsumsi golongan rumah tangga menengah ke atas. (Dok. Trubus)

Biang masalah itu adalah swasembada.

Trubus — Pemerintah menargetkan swasembada daging sapi pada 2010. Saat tanda-tanda tak tercapai, target swasembada diundur menjadi 2014. Saat itu, pemerintah yakin populasi sapi siap potong cukup, yakni 14,8 juta ekor pada 2011. Oleh karena itu, secara bertahap kuota impor daging dipangkas: 35% dari kebutuhan pada 2011 menjadi 15,5% pada 2012, dan tinggal 13,4% pada 2013.

Pemerintah menggelontorkan Rp18 triliun pada era kepemimpinan SBY untuk mewujudkan swasembada daging sapi. Apa hasilnya? Pertama, terjadi pengurasan populasi sapi. Sensus Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik menyimpulkan, populasi sapi turun 19% dari data yang dirilis pada 2011. Pemangkasan impor membuat banyak sapi dipotong.

Bahkan, sapi betina produktif juga dipotong karena ada insentif harga yang tinggi. Rata-rata betina produktif yang dipotong di rumah pemotongan hewan mencapai 31,08% atau 1 juta ekor per tahun (Tawaf, 2013). Kedua, pengurasan populasi sapi perah. Ketiga, harga daging tetap tidak terkendali. Keempat, impor (daging dan sapi bakalan) kian tidak terkendali.

Konsumsi rendah

Pada era Presiden Jokowi, pemerintah menargetkan swasembada daging pada 2019. Sampai kini tanda-tanda menuju swasembada masih jauh. Berbagai langkah pemerintah justru diyakini makin menjauhkan diri dari jalan swasembada. Langkah itu seperti amendemen UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dari sistem country base menjadi zone base (amandemen dilakukan sejak era SBY).

Selain itu pemerintah juga mengimpor daging kerbau dari India yang belum bebas penyakit mulut dan kuku dan kewajiban bagi feedloter yang mengimpor sapi bakalan juga mengimpor sapi indukan dengan rasio 5:1. Oleh karena itu, pada tempatnya mengajukan pertanyaan: mengapa pemerintah begitu mati-matian menempuh segala cara, termasuk cara-cara yang menabrak akal sehat, untuk mencapai swasembada daging sapi?

Konsumsi daging sapi rata-rata masyarakat Indonesia masih 2,61 kg per kapita per tahun. (Dok. Trubus)

Bukan mustahil, selama ini kita semua terjebak ilusi. Dalam perspektif konsumen, ilusi adalah sesuatu yang wajar, bahkan normal. Ilusi konsumen dimaknai sebagai pengetahuan yang salah terhadap suatu produk konsumsi yang memengaruhi perilaku konsumen. Barang kali kita tidak sadar, ilusi konsumen itu telah terjadi pada daging sapi. Kenaikan harga daging sapi yang selalu berulang setiap tahun tidak lepas dari hadirnya ilusi dalam persepsi masyarakat konsumen kita.

Selama ini, sebagai konsumen kita menganggap daging sapi tidak tergantikan (tidak ada substitusi). Daging sapi amat khas. Kekhasan itu tidak ditemukan dalam daging kambing, kerbau, apalagi kuda. Di sisi lain, konsumsi daging sapi rata-rata warga Indonesia masih amat rendah: 2,61 kg per kapita per tahun. Jauh dari tingkat konsumsi di Filipina (7 kg), dan Singapura (15 kg), apalagi Argentina (55 kg).

Konsumsi daging sapi tertinggal dari konsumsi daging ayam per kapita: 10—11 kg/tahun. Jika tingkat konsumsi masih rendah, mengapa seolah-olah kebutuhan warga terhadap daging sapi amat tinggi? Sejauh ini tingkat partisipasi konsumsi warga terhadap daging sapi juga rendah: 15,2%. Bandingkan dengan tingkat partisipasi konsumsi warga terhadap daging unggas yang mencapai 65,56%, dan telur ayam 80%.

Itu karena daging sapi komoditas high income elastic. Daging sapi merupakan komoditas yang dikonsumsi golongan rumah tangga berpendapatan menengah ke atas. Jika diselami lebih dalam, angka 15,2% itu pun terkonsentrasi di Jabodetabek. Jika demikian, pertanyaannya kemudian: mengapa kenaikan harga daging sapi selalu membuat heboh Republik?

Seolah-olah harga daging sapi yang tak terjangkau kantong masalah 263 juta warga Indonesia. Apakah karena konsumennya di Jabodetabek yang suaranya nyaring dan mudah membuat Istana bising? Deretan fakta itu menuju pada satu hal: mendorong konsumsi daging sapi langkah yang salah. Daging unggas (plus telur ayam) telah terbukti mampu mendukung ketahanan pangan hewani daging asal ternak domestik, mudah diakses dan terjangkau masyarakat, dan menjadi sumber protein yang murah bagi rakyat.

Diversifikasi pangan

Jika tujuan swasembada daging sapi untuk memperluas akses masyarakat ke sumber protein dengan harga terjangkau, langkah itu tidak tepat. Mendorong konsumsi daging sapi juga mengancam keseimbangan pangsa komoditas daging. Keseimbangan pangsa komoditas daging (sapi, kerbau, domba, dan unggas) perlu dijaga untuk mempertahankan eksistensi masing-masing sumber daging. Kondisi yang seimbang akan mempertahankan diversifikasi pangan daging asal ternak.

Populasi sapi turun 19% menyebabkan target swasembada daging meleset. (Dok. Trubus)

Semua ini, barangkali karena ilusi kita terhadap daging sapi. Kalau orientasi kita adalah kelezatan, bukankah banyak jenis daging lain yang bisa diolah menjadi makanan super lezat sebagai pengganti daging sapi? Satai ayam atau daging kelinci tidak kalah lezat, bahkan lebih enak, ketimbang satai daging sapi? Lebih dari itu, harga daging kelinci dan ayam juga lebih murah.

Kalau tujuan kita adalah kandungan gizi sumber protein, bukankah masih banyak sumber protein yang setara bahkan lebih tinggi daripada daging sapi dengan harga yang tidak membuat kantong belanja rumah tangga jebol? Sumber protein hewani yang murah meriah dengan kandungan gizi protein setara dengan daging sapi antara lain ayam, telur, dan aneka jenis ikan (belut, gabus, dan lele misalnya).

Konsumen, menurut teori pemasaran, adalah raja. Ketika konsumen beralih ke komoditas lain apakah ayam, telur atau pelbagai jenis ikan, dengan sendirinya permintaan terhadap daging sapi akan turun. Sesuai hukum besi penawaran-permintaan, ketika demand menurun harga juga akan mengikuti. Tanpa perlu repot rapat kabinet berkali-kali, bahkan Presiden Jokowi tidak harus memerintahkan para menterinya untuk menurunkan harga daging sapi menjadi Rp80.000 per kg harga akan turun sendiri.

Bulog, PT Berdikari, dan pihak lain tidak usah pusing-pusing menggelar operasi pasar. Pemerintah tidak usah mengeluarkan izin impor daging dari Australia yang menguras devisa. Bahkan konsumen tidak perlu pusing tidak bisa mengonsumsi daging hanya karena daging sapi langka. Lebih jauh perubahan perilaku konsumsi ini, boleh jadi, bakal mengubah pola swasembada yang selama ini terjebak pada orientasi komoditas.

Dalam konteks daging, tidak lagi swasembada daging sapi, tapi menjadi swasembada daging atau swasembada protein. Setiap daerah, dengan potensi khas lokal, bisa menyumbang target swasembada daging nasional. Daerah yang potensial kambing, lembu atau ayam tidak perlu dipaksa mengembangkan sapi. Ketika salah satu jenis komoditas daging harganya naik tidak membuat seluruh isi Republik resah seperti saat ini. Karena warga bisa beralih pada aneka komoditas daging pengganti, tanpa perlu tertipu lagi oleh ilusi daging sapi. (Khudori, pengamat pertanian)

Previous article
Next article
- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Ahli Jelaskan Perbedaan Gejala HMPV, Influenza, dan Covid 19

Trubus.id–Virus Human Metapneumovirus (HMPV) belakangan ini menjadi sorotan. Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Kedokteran Praklinis dan Klinis Badan...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img