Tiga belas tahun lampau botia Botia macracantha memang sudah dipijahkan oleh Drs Jojo Subagja dan Ir Oman Komarudin, MSc dari Balai Perikanan Air Tawar (BPAT) Sukamandi. Sayang larva selalu mati saat menginjak umur 5—9 hari setelah dilahirkan. Pada 1997 kembali dilakukan percobaan di BPAT Sukamandi. Hasilnya 40% larva sukses hidup sampai menjadi benih.
Kenyataan rendahnya tingkat keberhasilan itu membuat andalan ekspor ikan hias nasional itu sulit berkembang. Sungai-sungai di Sumatera Selatan dan Kalimantan pun menjadi ladang perburuan anggota keluarga Cobitidae itu. Eksploitasi berlebihan dikhawatirkan akan membuat punah botia dari habitat aslinya.
Stimulasi hormon
Sejak setahun lalu, Instalasi Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, Depok bekerjasama dengan peneliti dari Institut de Rescherche pour le Development, Perancis, berhasil menangkarkan botia hingga 3 kali. Keberhasilan itu diperoleh dengan stimulasi hormon memakai ovaprim, salah satu hormon untuk merangsang pematangan gonad, selain HCG (human chorionic hormon) dan LRLH-a (luteinizing hormon releasing hormon-analoque). Ovaprim dapat dibeli di apotek atau toko kimia seharga Rp200.000—Rp300.00 per 10 ml. Ia juga bisa dipakai beberapa kali penyuntikan.
Pada awal percobaan, ikan yang dipilih untuk ditangkarkan berasal dari sungai di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ketutung—botia dalam bahasa setempat— calon induk dipilih yang berbobot 75—150 gram. Total jumlah calon induk yang didatangkan mencapai 95 ekor.
Calon induk didomestikasi untuk penyesuaian dengan lingkungan baru. Proses domestikasi berlangsung selama setahun hingga didapat bobot ideal sekitar 150—200 gram/ekor. Calon induk dimasukkan ke dalam bak fiber berkapasitas 300 l. Selama adaptasi, ikan diberi pakan berselang-seling antara pakan udang berkadar protein 35% dan cacing bloodworm. Selama adaptasi tingkat mortalitas mencapai sekitar 40%. Dari 95 ekor yang ada, 20 ekor di antaranya mati.
Pada penangkaran oleh BPAT, untuk mengurangi mortalitas dipakai antibiotik 10 mg/l air. Tujuannya untuk menyembuhkan luka goresan selama pengangkutan dan menghilangkan stres. Namun, perlakuan itu kini ditiadakan. Sebagai gantinya ketinggian air di bak dipertahankan pada kisaran 30 cm. Sinar matahari pun dibuat tidak terlalu kuat dengan melengkapi penutup pada bak.
Untuk mencegah stres dipakai sistem sirkulasi air berputar untuk menekan kegiatan penyiponan. Suhu dan pH air dibuat semirip mungkin dengan kondisi asli yakni suhu 27º—29ºC dan pH 6,5— 7. Dengan cara sederhana itu terbukti mortalitas dapat dikurangi hingga 20%.
Usai adaptasi, ikan dapat disuntik hormon. Dibandingkan cara terdahulu memakai hormon LRLH-a, kini dipakai ovaprim. Selain murah, cara pemakaian hormon ini sudah telanjur akrab dengan peternak. Yang istimewa hormon ini pun lebih adaptif pada berbagai kondisi lingkungan. Berbeda dengan RHLH-a yang butuh kondisi dingin saat penyuntikan agar didapat hasil efektif.
Ovaprim disuntikkan di bagian punggung calon induk dengan dosis 1 ml/kg. Betina disuntik 2 kali dengan interval penyuntikan 6 jam. Jantan cukup sekali disuntik. Pada betina sebelum disuntik ia perlu dikanulasi atau kateterisasi dengan menyedot sedikit sel telur memakai pipet. Tujuannya untuk memastikan kematangan sel telur secara tepat. Sel telur belum matang berakibat tidak akan terbuahi.
Pemijahan
Setelah 3 hari betina sudah siap untuk mengeluarkan sel telur. Betina yang menunjukkan gejala ovulasi perlu segera di-stripping (telur dikeluarkan dengan cara mengurut perut ikan, red). Dari induk berbobot 150 gram bisa diperoleh 15.000 sel telur. Jumlah itu meningkat seiring kenaikan bobot betina. Telur ditampung dalam wadah plastik.
Pada saat bersamaan jantan pun diurut untuk mengeluarkan sperma. Sperma yang keluar diencerkan 4 kali dengan NaCl fi siologis 0,9%. Telur dan sperma kemudian diaduk perlahan-lahan dengan bulu ayam. Setelah diaduk dibilas dengan air bersih agar sisa sperma yang tidak terpakai terbuang. Tingkat keberhasilan pembuahan mencapai 90%.
Telur yang terbuahi disebar dalam bak hingga menetas. Telur yang berkembang sempurna diameternya 2,5—3,1 mm. Diameter kuning telur 1—1,7 mm. Sekitar 20—23 jam setelah pembuahan telur menetas dengan tingkat keberhasilan mencapai 90%. Larva botia tampak transparan. Panjangnya ratarata 3 mm dan berdiam di dasar bak. Untuk mengurangi mortalitas air yang dipakai harus bersih. Suhu dan pH pun harus mirip habitat aslinya. Fluktuasi kualitas air perlu dipertahankan. Paling bagus menggunakan air tua yang sudah didiamkan selama 3 hari.
Larva tidak perlu diberi pakan selama 3 hari karena masih memiliki kantung yolk. Begitu cadangan makanan itu habis, pakan artemia dapat diberikan. Sesudah hari ke 6, larva botia dapat diberi cacing tubifex, kutu air, dan daphnia. Umumnya corak berupa bintikbintik warna di tubuh botia akan muncul setelah hari ke—4. Menginjak hari ke—20, corak hitam dan kuning sudah mulai tampak.
Mulai ukuran 1,5 cm masa krisis perkembangan sudah terlewati. Saat panjangnya mencapai 5 cm, ia sudah dapat dijual. Pada penangkaran ini induk botia tak perlu tempat luas. Untuk 10—15 ekor induk cukup lahan 1 m2 untuk menghasilkan 100.000 botia. (Dra Darti Satyani Lesmana, MS, peneliti Instalasi Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, Depok)