Durian musang king kini sudah banyak yang berbuah di Indonesia. Harga jual buah fantastis, Rp200.000 per kg atau Rp400.000—Rp600.000 per buah.
Aroma harum itu menyeruak pada ujung senja 4 Maret 2016. Sumber aroma yang begitu tajam adalah durian musang king berbobot 3,4 kg. Begitu buah terbelah, tampak pongge berdaging buah kuning terang. Beberapa pongge di antaranya terlihat biji yang menjadi ciri khas musang king. Penampilan si raja buah itu menggerakkan kelenjar saliva untuk bekerja. Saat mencicipnya daging buah terasa lengket di mulut dengan rasa dominan manis.
Padahal, saat durian itu datang ujung buah retak. Harap mafhum, itu adalah buah yang jatuh pada 2 Maret 2016. Artinya umur buah 3 hari setelah buah jatuh. Durian musang king itu bukan dari negara asalnya, Malaysia, melainkan dari pohon durian milik Muhamad Tarmadi yang tumbuh di Desa Brongkol, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Menurut peneliti durian musang king selama 30 tahun, Dr Abdul Aziz Zakaria, musang king berasal dari Kelantan, Malaysia.
Sambung pucuk
Abdul Aziz mengatakan, pohon induk musang king tumbuh di Pulau Raya, sebuah pulau di tengah Sungai Kelantan, dekat dengan Pekan Tanahmerah. Menurut Chung Ting Bun dari Pulau Raya, pohon durian raja kunyit—nama asal musang king—ditanam oleh moyangnya sekitar 1800. Moyang Chung Ting Bun adalah Chung Chun Seng yang berhijrah dari Tiongkok selatan ke Pulau Raya pada 1790.
Sayang, pohon induk raja kunyit yang hidup di Pulau Raya mati tersambar petir pada 1974 (baca ilustrasi: Lintasan Sejarah Raja Kunyit). Di Indonesia kabar tentang keunggulan musang king sejatinya sudah lama terdengar, yakni sejak 2003. Namun, baru pada 2010—2011 beberapa importir bibit tanaman buah mulai mendatangkan bibit musang king ke tanahair. Importir di Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Ricky Hadimulya, misalnya, mendatangkan 3.000 bibit dari Malaysia.
Popularitas musang king semakin melonjak ketika 2012 sebuah restoran di Jakarta Utara menjual daging buah musang king beku, Rp500.000 per kg. Di beberapa toko buah modern juga ada yang menjajakan buah musang king utuh. Sejak itu semakin ramai para pekebun maupun pehobi seperti Muhamad Tarmadi yang menanam musang king. Tarmadi tidak menanam dari bibit, tapi dengan cara top working atau sambung pucuk.
Pada Oktober 2012 pensiunan guru itu melakukan top working dengan batang atas musang king dari 2 bibit durian musang king setinggi 1 m. Ia membeli bibit itu dari Hortimart, toko buah dan bibit aneka jenis tanaman buah di Bawen, Kabupaten Semarang, dengan harga Rp200.000 per bibit.
Dari kedua bibit itu Ramlan memperoleh 45 entres. Jumlah itu cukup untuk top working 5 pohon durian lokal. Dari jumlah itu 42 entres di antaranya bertahan hidup. Tiga dari lima pohon hasil top working dengan musang king mulai belajar berbunga pada Oktober 2015. Ayah tiga anak itu mulai panen pada Desember—Februari 2016. Dari ketiga pohon hasil sambung pucuk itu menghasilkan 30 buah.
Harga fantastis
Tarmidi girang bukan kepalang karena musang king dari kebunnya laku dengan harga premium. “Saya pernah menjual 3 buah musang king dengan total bobot 7,8 kg. Dari jumlah itu saya menerima uang Rp900.000,” ujarnya. Itu artinya harga per kilogram mencapai Rp115.000.
Harga itu jauh lebih tinggi daripada harga jual durian lokal, Rp15.000 per buah. Para pelanggan pun kini berdatangan ke rumah Tarmidi untuk membeli si raja musang. Contohnya Yuli Setiawan, Iwan Supriyanto, dan Suparta, para maniak durian asal Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah, yang kerap memborong setiap kali ada musang king yang jatuh di kebunnya.
Pohon durian musang king hasil sambung pucuk milik Winarto di Desa Brongkol juga sudah berbuah. Namun, pada satu pohon itu Winarto tidak hanya melakukan top working dengan musang king, tapi juga dengan monthong. Jadi, dalam satu pohon ada dua jenis durian yang dihasilkan, yaitu musang king dan monthong—keduanya tengah berbuah pada awal Maret 2016. Tarmidi yang akrab disapa Ramlan mengatakan, pekebun durian di Desa Brongkol, akrab dengan sambung pucuk.
“Kami mengenal top working sejak 1972. Kami terbiasa melakukan top working dengan varietas durian unggul,” ujar Ramlan. Itulah sebabnya ketika mendengar informasi tentang musang king yang berkualitas bagus, para pekebun di sana banyak yang melakukan sambung pucuk durian lokal dengan durian asal Kelantan, Malaysia, itu. Selain Tarmidi dan Winarto, petani lain di Brongkol yang melakukan sambung pucuk adalah Juwanto.
Lebih cepat
Juwanto melakukan sambung pucuk 10 pohon durian lokal dengan musang king pada 2013. “Anggota kelompok tani kami juga banyak yang melakukan sambung pucuk durian lokal dengan musang king,” ujar Juwanto yang menjadi ketua Kelompok Tani Durian Ajuning Tani dengan anggota 70 pekebun. “Tiga tahun mendatang kemungkinan Desa Brongkol menjadi sentra musang king,” ujar Yuli Setiawan. Juwanto memperoleh entres dari bibit yang dibeli dari Hortimart.
Kebun aneka jenis tanaman buah milik Budi Dharmawan, ketua Yayasan Obor Tani, itu memang lebih dahulu menanam durian musang king di Jawa Tengah. Pada 2010—2011, Budi Dharmawan menanam 48 pohon si raja kunyit di lahan 2 ha. Namun, yang bertahan hidup hanya 8 pohon. Pohon musang king yang tersisa sudah 3 kali panen.
Di kebun milik Haryono di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, satu pohon musang king hasil sambung pucuk juga sudah berbuah. Dari pohon yang di-top working 3 tahun silam itu Haryono memanen 10 buah musang king.
Beberapa pekebun kini lebih memilih sambung pucuk untuk menghasilkan musang king. “Durian hasil top working lebih cepat berbuah,” ujar Ramlan. Menurut Dr Lutfi Bansir SP MP, ahli durian dari Universitas Kalimantan Utara, sambung pucuk memang salah satu cara singkat untuk menghasilkan durian. Pasalnya, area perakaran sudah sempurna sehingga menyerap nutrisi lebih optimal. Para pekebun durian di Malaysia menempuh cara yang sama saat musang king mulai populer pada 1993. Di sana banyak pekebun durian D-24 yang melakukan sambung pucuk dengan musang king.
Tanam bibit
Banyak pula pekebun musang king yang menanamnya dari bibit. Contohnya Josia Lazuardi yang mengebunkan 170 pohon musang king secara bertahap di kebunnya di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (baca: “Josia Lazuardi, Pilihan Jatuh pada Musang,” halaman 18—19). Pada 2015, enam pohon berumur 5 tahun berbuah. Josia menyeleksi dan hanya mempertahankan 5—6 buah per pohon.
Josia menjual seluruh hasil panen kepada para kolega dengan harga Rp500.000 dengan bobot rata-rata 1,7 kg per buah. Nun di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Fajar Surya juga mengebunkan 50 pohon musang king pada 2011 di lahan 2.000 m2. Ia mendatangkan bibit langsung dari Malaysia. Dari 50 pohon itu 10 pohon di antaranya sudah berbuah pada Desember 2014—Januari 2015. Pada musim panen itu Fajar memanen 50 buah.
Jumlah produksi dari setiap pohon memang sedikit karena Fajar menyeleksi buah. Pada setiap cabang ia hanya mempertahankan 1 buah, sisanya dibuang agar pertumbuhan buah optimal. Itulah sebabnya beberapa buah tergolong jumbo, yakni 3 kg per buah. Hasil panen ia jual kepada para kolega dengan harga Rp200.000—Rp250.000 per kg.
Tertua
Bagi Edy Kokindra dan Ismail Ginting, keduanya pekebun durian di Deliserdang, Sumatera Utara, kabar tentang kebun musang king di tanahair yang berbuah sebetulnya bukan berita baru. Di Desa Talunkenas, Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hilir, Kabupaten Deliserdang, ada kebun musang king milik Ahin seluas 3 hektare. Di sana tumbuh 3 pohon musang king berumur 18 tahun. “Sebelumnya ada sekitar 20 pohon. Tapi yang lain mati karena penyakit kanker batang dan yang tersisa hanya 3 pohon,” ujar Ismail.
Sayang, saat Edy dan Ismail mengantar Trubus ke kebun itu pada awal Maret 2016 gagal menemui sang pemilik. Kini pohon yang mati itu telah diganti belasan tanaman baru berumur 3—10 tahun. Ahin juga mengebunkan sekitar 300 pohon musang king di Desa Siguci, Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hilir, Kabupaten Deliserdang.
Di kebun itu yang tertua berumur 6 tahun dan sudah berbuah sekali. Sayang, saat Trubus berkunjung musim buah sudah lewat. Menurut pekebun durian di Talunkenas, Sumatera Utara, Antony Depari, setidaknya ada 3 lokasi kebun yang cukup baik penanamannya dengan luas tanam masing-masing sekitar 3 ha, seperti di Langkat dan Deliserdang. Beberapa di antaranya bercampur dengan varietas lain seperti D-14 dan cepoi. Umur pohon rata-rata 5—8 tahun.
Mengebunkan musang king sejatinya banyak aral. Varietas itu rentan serangan kanker batang. Karim Aristides, penjelajah durian asal Palembang, Sumatera Selatan, mewanti-wanti bahwa musang king juga rentan terkena penyakit kanker batang (baca : “Pro Kontra Musang King” halaman 24—26). Sudah begitu buah juga mudah pecah. Itulah dua hambatan terbesar saat petani membudayakan musang king (baca: “Musuh Musang King” halaman 14—15).
Menurut Dr Mohammad Reza Tirtawinata dari Yayasan Durian Nusantara, salah satu kendala musang king adalah daya tahan buah yang singkat, . “Buah hanya tahan 2—3 hari setelah jatuh. Setelah itu daging buah berair dan rasanya menjadi hambar,” tuturnya. Namun, di balik kesulitan terdapat kemudahan sehingga pekebun di berbagai daerah berani menanam musang king. Bila berbagai kendala itu dapat diatasi para pekebun, maka laba pun berlimpah dari si raja musang (baca “Laba dari Raja Musang” halaman 16—17).
Pasar musang king
Apa yang menyebabkan para pekebun beramai-ramai menanam musang king? Ramlan tertarik melakukan sambung pucuk durian lokal dengan musang king setelah membaca informasi tentang keunggulan musang king yang berasa enak dan warna daging buah bagus. “Apalagi harga jual buahnya mahal,” ujarnya. Menurut Josia musang king sudah dikenal secara internasional memiliki rasa yang sangat enak. Durian itu bahkan menjadi komoditas ekspor Malaysia ke Tiongkok.
“Berkebun durian itu mahal. Oleh sebab itu saya memilih varietas yang sudah terbukti kualitasnya dan pasarnya menjanjikan,” tegasnya. Di tanahair permintaan musang king tak pernah surut meski berharga jual fantastis. Menurut Vendi Tri Suseno dari PT Laris Manis Utama, importir musang king dari Malaysia, jumlah impor musang king terus meningkat. Pada 2012, perusahaan pemasok buah di Jakarta Utara itu mengimpor 1 kontainer berisi 900 karton atau total 9 ton per bulan.
“Sekarang 4—5 kontainer (setara 36—45 ton, red) per bulan,” ujar Vendi. PT Laris Manis Utama lalu mendistribusikan musang king impor itu ke berbagai toko buah. Salah satunya Total Buah Segar. Vendi menuturkan jumlah pasokan ke Total Buah Segar mencapai 100 karton atau 1 ton sekali kirim. “Waktu pajang hingga buah habis 3—4 hari,” ujar Vendi. Padahal, Total Buah Segar menjual raja kunyit dengan harga Rp300.000 per kg.
Pasar swalayan Hokky di Surabaya, Jawa Timur, juga mengimpor musang king langsung dari Malaysia pada setiap Desember—Februari. Sekali impor 100 kg. “Terkadang saat dipajang 3—5 hari sudah ludes terjual,” tutur Haryanto dari pasar swalayan Hokky. Ia menjual musang king dengan harga Rp350.000 per kg dengan bobot rata-rata buah 1—3 kg.
Kualitas buah
Kabar tentang berbuahnya musang king di berbagai daerah di Indonesia itu menjadi bukti jika si raja musang mampu beradaptasi di tanahair. Lalu, bagaimana kualitas musang king dari kebun di Indonesia? “Baru buah dari salah satu pohon milik Ramlan yang sudah mendekati rasa musang king di Malaysia. Yang lainnya belum, masih dominan manis,” kata Suparta yang juga kerap mencicip musang king di negeri jiran.
Suparta juga pernah mencicip musang king dari pohon durian hasil sambung pucuk milik Winarto. “Rasa buahnya belum mendekati karakter musang king asal Malaysia, kurang lengket dan tidak ada pahitnya,” tutur Iwan Supriyanto. Warna daging buah juga lebih pucat dibandingkan musang king milik Ramlan. Dr Lutfi Bansir SP MP menduga kualitas buah seperti itu karena efek xenia dari hasil penyerbukan dengan bunga monthong yang tumbuh di satu pohon.
Warna kuning durian monthong tidak sekuat musang king. “Untuk menghasilkan musang king berkualitas tinggi, para pekebun di Malaysia menanam musang king berdampingan dengan varietas D-24,” ujar Lutfi. Edy Kokindra juga mencicip buah dari dari pohon musang king umur 18 tahun milik Ahin di Talunkenas. “Daging buahnya kering, terasa lebih kental, dan ada rasa pahitnya. Tapi warna tidak secerah musang king dari Penang, Malaysia,” ujar Kokindra.
Antony Depari yang pernah mencicip buah dari beberapa kebun musang king di Pulau Sumatera mengatakan, “Produksinya sudah lumayan baik. Warna daging buah sudah kuning, rasanya manis, 80% biji kempis, bentuk buah bagus, dan guritan ciri khas musang king tampak jelas.” Pehobi durian di Jakarta, Adi Gunadi, pernah mencicip musang king dari 3 provinsi, yaitu dari Blitar, Jawa Timur, Brongkol (Jawa Tengah), dan Rumpin (Jawa Barat).
Menurut Gunadi rasa musang king dari kebun di Indonesia belum ada yang sebagus di Malaysia. “Semua musang king baru setara dengan buah grade C di Malaysia. Tapi rasanya sudah sangat baik jika dibandingkan dengan durian lokal kita,” ujar maniak durian yang pernah mencicip musang king di 6 negara bagian di Malaysia itu. Di antara semua musang king asal Indonesia yang pernah dicicip, Gunadi menilai musang king asal Brongkol yang terenak.
“Tapi hebatnya buah asal Rumpin sudah terasa rasa pahitnya walau buah pertama. Biasanya baru keluar jika pohon sudah tua. Mungkin karena pemupukkan yang intensif,” tuturnya. Adi berharap pada masa mendatang kualitas buah akan meningkat seiring bertambahnya umur pohon dan perawatan yang lebih baik.
Peneliti di Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Dr Panca Jarot Santoso SP MSc, yang pernah mencicip musang king dari beberapa kebun di tanahair menuturkan, rasa musang king dari setiap daerah beragam. “Rasa buah dalam satu pohon pun berbeda-beda, hanya 10% yang berkualitas super,” tuturnya. Meski belum sebaik kualitas di Malaysia, tapi musang king dari kebun di Indonesia juga tetap menjadi rebutan para maniak durian.
Pratomo mengatakan seluruh hasil panen musang king dari kebun Hortimart selalu habis terjual. “Bahkan saat masih di pohon sudah ada yang pesan,” ujar Pratomo. Trubus gagal mendapatkan musang king dari kebun Hortimart karena empat buah yang tersisa sudah ada pemiliknya.
Padahal, Hortimart juga menjual dengan harga premium, yakni Rp200.000 per kg. Bobot buah musang king dari kebun Hortimart rata-rata mencapai 1,5—3 kg per buah. Buah dari kebun Ramlan juga tak pernah tersisa setiap kali ada yang jatuh. Begitu juga musang king dari kebun Fajar Surya. Pantas beberapa pekebun baru musang king bermunculan. Menurut Antony Depari kini di Sumatera Utara sudah ada kebun-kebun musang king baru seperti milik Ying Liang.
Antony mengatakan Ying Liang membudidayakan musang king di lahan 8 ha secara intensif dengan teknik fertigasi. Ia bersama keenam rekannya juga mengebunkan musang king masing-masing di lahan lebih dari 1 ha, total 18 ha. “Umur pohon saat ini rata-rata baru 1—2 tahun,” kata Antony. Ia memperkirakan saat ini populasi musang king di Sumatera Utara mencapai 10.000 pohon.
Tren penanaman musang king juga semakin ramai. Itu terlihat dari permintaan bibit yang terus meningkat. Menurut penangkar bibit tanaman buah di Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Eko Tri Sulistyo, permintaan bibit musang king meningkat 20% dibandingkan dengan tahun lalu. Kini Eko menyiapkan 4.000 bibit musang king siap jual. (Imam Wiguna/Peliput: Bondan Setyawan, Ian Purnama Sari, Muhamad Fajar Ramadhan, Riefza Vebriansyah, dan Syah Angkasa)