Kebun berkelambu itu tersebar di Pekanbaru 49 ha; Kampar, 32,8 ha; Pelalawan, 15 ha; dan Siak, 14, 4 ha. Beragam sayuran daun ditanam di “greenhouse”, masing-masing 2.000 m2 itu. Dalam sebulan dipanen 18—20 ton sayuran untuk diekspor ke Singapura.
Pengembangan sayuran itu dirintis Dinas Pertanian Provinsi Riau sejak 2001. Yang mengelola kebun berkelambu itu para pekebun. Hasil panen ditampung koperasi Dinas Pertanian yang telah ditunjuk oleh instansi terkait. “Sayuran itu dibutuhkan konsumen di Singapura. Kebetulan Riau berdekatan dengan negara itu sehingga sangat prospektif untuk penanaman beragam sayuran dataran rendah,” kata Basriman, kepala Sub Dinas Pengembangan Hortikultura, Dinas Pertanian Provinsi Riau.
Proyek itu pun mendapat sambutan dari Agrifood and Veterinery of Singapore—mitra yang memberikan pembinaan teknologi. Tak heran, bila megaproyek itu dibiayai pemerintah daerah setempat melalui APBD. Pilot proyek seluas 1,2 di Marpoyan, Pekanbaru, menelan dana senilai Rp2-miliar. Begitu berhasil, areal penanaman pun diperluas. Sebanyak Rp22,5-miliar digulirkan kembali untuk pengembangan lahan seluas 110 ha.
Setiap pekebun mendapat pinjaman Rp45-juta. Uang itu untuk membeli dan membangun net berikut peralatan senilai Rp37,5-juta. Sisanya untuk mendanai penanaman selama 3 kali. “Pelunasan kredit mencicil dari hasil panen,” kata Basriman. Sebanyak 556 pekebun ikut dalam proyek itu. Setiap pekebun mendapat jatah lahan seluas 2.000 m2.
Tertata rapi
Rumah-rumah berkelambu itu berjajar rapi di berbagai lokasi. Sekeliling kebun dipasang net 15% sebagai pelindung serangan hama. Saat hujan, air tidak langsung menetes membasahi tanah, melainkan membuat efek berkabut sehingga sayuran mulus.
Jaring atau kelambu ditopang 36 bambu masing-masing setinggi 2,8 m dengan interval 8 m x 8 m. Dua pintu keluar-masuk berukuran 1,5 m x 2 m terletak di ke-2 dinding. Masing-masing pintu dibuat 2 lapis untuk mencegah serangga masuk.
Di dalam rumah berukuran 40 m x 50 m itu dibagi dalam 2 blok, masing-masing 28 bedengan. Sistem irigasi dengan menggunakan sprinkle berupa pipa vertikal setinggi 60 cm yang ditancapkan interval 3 m x 3 m. Di ujung pipa diberi sprinkle yang memancarkan butiran-butiran air untuk menyiram tanaman. Setiap mata sprinkle menyirami tanaman sejauh 3 m. Untuk mengoperasikannya digunakan alcon—pompa air mekanik berbahan bakar bensin.
Bebas residu
Sayuran yang dihasilkan bebas residu sesuai standar mutu yang ditetapkan Singapura. Ukuran pun harus seragam. Misal untuk caisim panjang 38—42 cm; ba cai, 23—27; sawi, 33—37 cm; dan xiao ba cai 23—27 cm. Agar standar itu bisa dipenuhi, pekebun menanamnya mengikuti petunjuk penyuluh.
Biasanya sayuran diperiksa kadar residu oleh AVA di Singapura. Maklum peralatan untuk mengecek derajat residu tidak tersedia di Pekanbaru. “Kami menganjurkan agar pekebun tidak menyemprot insektisida seminggu sebelum panen,” kata Basriman. Dengan cara seperti itu kualitas sayuran terjamin dan lolos ekspor.
Berdasarkan pengalaman pekebun, meski sudah terlindungi net, serangga acap menerobos masuk menggerogoti tanaman. Demikian ulat terbang dan penggorok daun, seringkali merusak tanaman. “Makanya kami tetap melakukan penyemprotan. Kalau dilos (tidak disemprot sama sekali, red), tanaman pasti rusak,” tutur Untung yang sudah 2 tahun berkebun. Ia menyemprotkan insektisida ketika tanaman berumur 10 hari dan diulang seminggu kemudian.
Pola gilir
Pengolahan tanah dan penanaman hampir sama dengan pekebun sayuran dataran rendah pada umumnya. Begitu tanah selesai diolah, dibuat bedengan berukuran 10 m x 1,5 m. Lalu benih disebar secara merata di permukaan bedengan. Jenis yang ditanam secara bergilir. “Pemilihan jenis dan luasan diatur oleh petugas lapangan,” kata Untung.
Sebagai contoh kebun milik Untung di Marpoyan. Pada saat Trubus berkunjung akhir Maret 2004, 10 bedengan tampak kosong lantaran caisim sudah dipanen. Lima bedeng lain baru ditanami ba cai 20 hari lalu. Sisanya, sedang disiapkan untuk penanaman berikutnya.
Tanah hanya seminggu diistirahatkan. Setelah itu ditanami kembali. “Dengan pola seperti itu dicapai indeks penanaman 8 kali per tahun. Ini indeks tertinggi di Indonesia. Di Jawa saja hanya 3 kali per tahun,” kata Basriman. Hal itu bisa dicapai lantaran selain yang ditanam jenis sayuran berumur pendek, juga perawatan intensif. Misalnya ba cai dan xo bai cai dipanen pada umur 33 hari. Selada dan kailan dipetik pada umur 45 hari.
Yang dimaksud perawatan intensif antara lain frekuensi penyiraman 3 kali sehari, pukul 09.00, 13.00, dan 15.00 sebelum tanaman berumur 1 minggu. Selanjutnya frekuensi penyiraman diturunkan menjadi 2 kali sehari hingga umur tanaman mencapai 15 hari.
Setelah itu cukup sekali sampai tanaman dipanen. Sedangkan pemupukan diberikan pada hari ke-10 setelah tanam dengan NPK 16:16:16. Dosisnya 600 g/petak ukuran 10 m x 1,5 m. Pemupukan diulang 10 hari kemudian dengan dosis sama.
Ketat
Singapura bukanlah pasar yang mudah ditembus. Oleh karena itu para pekebun sangat hati-hati pada saat memanen. Yang rusak langsung diapkir. Hasil panen dimasukkan ke keranjang, lalu disetor ke ruang pendingin. Di sana puluhan tenaga kerja memotong bonggol, dan menata di keranjang.
Untuk pesanan khusus dari pasar swalayan di Singapura, sayuran dikemas dalam kantong plastik berlabel “Fresh Farm”. Selama pengemasan, temperatur ruangan 4oC agar sayuran tetap segar.
Keberhasilan Riau mengembangkan sayuran dataran rendah menjadi sorotan berbagai kalangan. Tak heran bila beberapa kelompok tani dari daerah lain dikirim ke sana untuk mengikuti pelatihan. “Kita boleh berbangga karena pekebun mampu mengadopsi teknik pertanian modern dan menghasilkan sayuran berkualitas ekspor,” kata Basriman.
Makanya pengembangan areal terus dilakukan. Sarana dan prasarana, seperti jalan, transportasi, ruang prosesing, dan pengemasan tengah disiapkan. Bahkan, pemerintah daerah berencana untuk membeli kapal khusus untuk mengangkut sayuran.
“Kami belum puas, terutama yang menyangkut produktivitas. Saat ini setiap petak baru menghasilkan 2,5 ton sayuran per siklus. Ke depan targetnya 4 ton/siklus,” kata Basriman. Toh pasar terbuka luas, tidak sekadar pasar ekspor tapi juga lokal potensi untuk dibidik. Buktinya Dumai, Selat Panjang, Pekanbaru, dan Batam mulai meminta pasokan. “Pasar Jakarta pun akan ditembus bila ada yang berminat,” tambahnya. (Nyuwan SB)