Tren memelihara dan menangkar perkutut merambah ke Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Beng 10-02-15 02:58:48kulu, Palembang, Lampung, Batam, Bali, Lombok, Banjarmasin, bahkan Balikpapan. Untungkah menernakkan perkutut? Bila dilakukan survei terhadap para pemainnya, pasti semua menjawab bulat dengan satu kata, “ya”.
Susi Susanti seperti tambang emas yang terus mengalirkan gemerincing rupiah kepada H Mochammad Huzaini. Demikian pula PS N.20 yang menggelembungkan pundi-pundi emas kakak beradik Candra dan Edo Sutanto. Harganya tak tanggung-tanggung, Rp25- juta untuk darah Susi Susanti dan Rp10- juta untuk trah PS N.20. Mendapatkannya pun tak mudah. Antrean panjang para hobiis dan penangkar lain menanti jatah keturunan kedua burung itu. Nurbuat Srimulat dari Jakarta misalnya, baru bisa menerima keturunan PS N.20 setelah menunggu selama 11 bulan.
Berkah perkutut
Maraknya lomba perkutut mendorong hobiis mencari burung bagus. Farm penghasil trah juara jadi incaran. Beberapa hobiis kini mulai melirik bisnis penangkaran. Mereka yakin peluang bisnis perkutut masih terbuka lebar dengan prospek cukup menjanjikan.
Ibarat bunga, dunia perkutut sekarang ini tengah mekar-mekarnya. Aromanya semerbak menyebar ke daerah-daerah. Indikasi berkibarnya dunia perkutut adalah kian banyaknya peternak. Frekuensi lomba pun meningkat. Tanpa dua hal itu dunia perkutut bisa dikatakan melempem. Keduanya saling bertautan.
Karena lomba pula, aspek-aspek lain di dunia perkutut bisa tersentuh. Perajin sangkar banjir order. Tak ketinggalan peracik pakan serta pil perkutut. Juga untuk pendeteksi kelaminnya dicetaklah bandul. Demikian pula perajin cincin kian banyak pesanan. Belum lagi para penerbit yang mengeluarkan berbagai buku panduan tentang teknik budidaya dan seluk- beluk perkutut.
Pendeknya, semua memperoleh berkah dari maraknya perkutut. Tuhan memang Maha Pemurah dan Maha Besar. Satu makhluknya saja telah bisa mendatangkan rezeki dan peluang bermacam-macam.
Bisnis untung
Perkembangan perkutut di tanah air pada tiga tahun terakhir sungguh menggembirakan. Ribuan peternak sudah berdiri bak jamur di musim hujan. Baik yang berskala gurem maupun peternak besar. Peningkatan penggemar pun demikian. Nyaris tiap kali lomba selalu saja ada pendatang baru.
Penggemarnya datang dari banyak kalangan. Mulai dari mahasiswa, guru, petani, pedagang, pegawai negeri, hingga kalangan elit pengusaha. Turut pula di bisnis ini kerabat keraton Yogyakarta seperti GBPH Prabukusumo, SPsi, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X. Bahkan, GKR Hemas, sang permaisuri pun menaruh minat terhadap satwa klangenan ini. Ia selalu mengikuti perkembangan perkutut karena banyak aspek bisa tergarap.
Itulah sebabnya, hobi perkutut kini telah bergeser ke bisnis dan bukan lagi hobi murni. Dibanding dengan bunga deposito bank, percepatan kembali modal di perkutut jauh lebih tinggi. Coba simak hitung-hitungan sederhana berikut ini. Misalnya kita membeli sepasang perkutut umur 4 bulan seharga Rp6-juta. Empat bulan kemudian sudah menghasilkan sepasang anakan pertama. Taruh kata piyiknya dijual Rp1-juta sepasang. Maka dalam setahun minimal diperoleh Rp12- juta. Ini baru dari 1 kandang. Kalau kita punya 5 kandang, bisa diprediksi nilai angka perolehannya.
Hitungan itu baru pada harga penjualan minimum. Sebab, dari 5 kali tetasan pasti ada 1 atau 2 ekor yang hasilnya istimewa dan laku dijual seharga Rp5-juta—Rp10-juta per ekor. Piyikpiyik istimewa itu pun tak sulit dipasarkan, bahkan banyak diburu orang. Lihat saja di farm milik Edo Sutanto. Sebanyak 15 dari 70 kandang yang ada menjadi favorit pembeli karena menghasilkan piyik-piyik berkualitas. Malah, tak jarang peminat harus antre untuk mendapatkan piyik keluaran Cando BF itu.
Tiga segmen
Peternak kecil dengan modal terbatas tidak perlu berkecil hati. Sebab, pangsa pasar perkutut juga terbelah dalam beberapa segmen, yakni segmen bawah, menengah, dan atas. Jika tetap ingin beternak perkutut tapi modal pas-pasan, bisa main di kelas “ringan”. Sebab, perkutut dengan harga puluhan hingga ratusan ribu rupiah pun banyak dicari. Perkutut harga murah bukan berarti jelek. Asalkan indukan bertrah bagus, tetap ada peluang untuk menurunkan anakan bagus.
Sampai saat ini tampaknya pasar lokal masih mampu menyerap produksi piyik yang mutunya beragam. Bertambahnya penangkar baru tak membuat pasar sulit. Toh, penggemar baru pun terus meningkat. Bahkan, yang sempat berhenti pun kini bermain lagi. Tak heran jika bisnis seputar perkutut tetap menarik.
Unggas ini memang mudah diternak dan cepat berproduksi. Apalagi bila yang ditangkar mempunyai suara dan darah bagus. Makin sering melahirkan perkutut bagus, keuntungan yang ditangguk pun semakin besar. Selain itu, beternak perkutut dapat dilakukan di lahan sempit. Biaya pakan juga tergolong murah. Seekor perkutut hanya menghabiskan biaya pakan Rp3.000/bulan. Dijual seharga Rp50.000/ekor berumur 1 bulan pun masih untung. Bandingkan dengan ternak ayam. Pakan mahal, tetapi harga jual murah.
Untuk memulai bisnis perkutut hingga meraup untung memang tak mudah. Nama besar juga harus dimiliki farm, karena penggemar kelas berat hanya memburu perkutut yang sudah kondang dan dari farm yang sudah punya nama. Yang penting rintislah dulu, baru uang datang kemudian.*** (Eko Hadianto, praktisi dan pengamat bisnis perkutut)
Bila Bumi Bersayap
Burung merpati Columba livia sangat penting bagi setiap mahasiswa yang mengalami perploncoan pada awal 1970-an. Dengan susah payah saya mendapatkan yang betul-betul putih untuk dilepaskan di halaman kampus Universitas Indonesia. Mahasiswa baru Fakultas Sastra memang diharuskan membawa merpati putih.
Mahasiswa Fakultas Hukum membawa yang merah atau gambir. Sedangkan Fakultas Teknik biru atau kelabu. Lainnya bebas. Boleh blorok, blirik, atau belang-belang. Harapannya, dalam satu atau dua generasi mendatang, taman-taman di Jakarta penuh merpati seperti lazimnya taman-taman kota di negeri maju.
Setelah 30 tahun berlalu, burung merpati tak kunjung memenuhi taman taman kota di Indonesia. Padahal ribuan teman mereka berhamburan di Central Park, New York; Trafalgar Square, London; maupun Dam Square, dekat stasiun sentral Amsterdam.
Meskipun begitu, berbagai jenis merpati hias, merpati balap, merpati tinggi, merpati pos, dan merpati goreng, dapat dilihat dan dinikmati di desa dan kota Indonesia. Di Yogyakarta, saya mengenal pengusaha restoran burung dara goreng yang paling sedikit menyajikan 200 ekor dalam seminggu, atau 30 porsi setiap malam.
Belum lagi penyalur daging merpati beku di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka bukan saja mengirim ke luar negeri (khususnya Singapura dan Hongkong), tapi juga ke kota-kota kecil di Kalimantan dan Pekanbaru, Riau.
Mengenai merpati goreng mentega ini, saya punya kenangan pilu. Seorang mahasiswi sefakultas yang kemudian menjadi ibu anak-anak saya, mengajak makan di restoran untuk merayakan lulusnya sebagai sarjana. Saya memesan burung dara goreng, sebagai isyarat untuk mengajaknya terbang ke langit.
Waduh! Ternyata dia hanya makan irisan mentimun dan tomat. Burung dara goreng itu sama sekali tidak dilirik, apalagi disentuhnya. Ya, Tuhan… maafkan saya. Ternyata tidak semua orang Indonesia pemangsa unggas. Apalagi pelahap burung dara!
banyak yang suka merpati tapi tidak mengkonsumsi telur apalagi dagingnya. Di Jakarta Timur saya mengenal kolektor merpati hias, Sayogo, namanya; yang rela keluar berjuta rupiah untuk memiliki merpati impor. Ternyata bentuk, warna, dan perangai merpati ada banyak macam. Dewan Ornitologi—badan dunia yang mengurusi perburungan—memamerkan profil lebih dari seratus jenis merpati hias dari 318 spesies burung dara yang hidup di bumi.
Pahlawan perang
Pada mulanya, burung dara hidup di gua-gua karang di tebing pantai. Mulai sekitar 4.500 tahun sebelum Masehi mereka dipelihara oleh ibu-ibu sebagai cadangan daging, sementara para suami pergi berburu. Karenanya jangan heran, kalau monumen dan kandang-kandang merpati paling legendaris merupakan warisan wanita terkenal. Misalnya kandang merpati dari batu, peninggalan Elizabeth Arden, ibunda sastrawan terkemuka, William Shakespeare di desa Stradford Upon Avon, Inggris.
Selanjutnya peran merpati meningkat sebagai pengantar pesan. Masih ingat Cleopatra? Ratu Mesir di zaman purba itu juga mempekerjakan merpati untuk menghubungi Markus Antonius, kekasihnya. Dinas pos paling tua dalam sejarah manusia memang ditunaikan oleh merpati. Itu sebabnya mereka bisa menjadi pahlawan.
Contoh lain yang terkenal adalah Cher Ami, dara jantan hitam yang banyak mendapat bintang penghargaan. Dalam satu kisah, merpati Cher Ami menyelamatkan 194 pasukan yang terjebak. Pada tahun 1919 Cher Ami gugur karena luka-luka perang yang diderita. Jasadnya diawetkan dan dipamerkan di museum nasional AS di Behring Center. Pada 1931, ia mendapatkan medali emas dan masuk dalam Hall of Fame merpati balap, dengan jasa-jasa yang luar biasa.
Burung cinta
Satu reputasi burung dara yang paling klasik adalah sebagai simbol cinta. Mengapa? Mitos mengatakan merpati adalah pendukung monogami. Kalau pasangannya mati, yang tinggal akan terus menduda atau menjanda sampai mati. Betulkah begitu?
Pemerintah negara bagian Connecticut, kawasan yang merpatinya paling banyak di Amerika Serikat, mengakui hal itu. Memang uniknya, di alam bebas, tiap kerumunan burung dara terdiri dari jantan dan betina dengan jumlah seimbang, bahkan cenderung sama.
Di Jawa kesetiaan merpati dimanfaatkan untuk lomba. Merpati betina ditinggalkan di rumah, jantannya dibawa pergi. Nah, dalam kerinduan yang menggebu-gebu, terbanglah si jantan mencari tambatan hatinya.
Ladang bisnis
Bisnis apakah yang tercipta oleh hubungan manusia dan merpati? Cukup banyak, meski Pigeon Watch belum pernah memperhitungkannya. Pigeon Watch adalah badan pemerhati merpati yang didirikan oleh Pusat Ornitologi UniversitasCornell di New York, Amerika Serikat.
Jangan lupa, bagi masyarakat Jawa, burung (kukila) termasuk satu di antara lima pelengkap hidup seorang pria. Empat lainnya adalah rumah (wisma), istri (wanita), kendaraan (turangga = kuda), dan senjata (curiga = keris). Makanya di banyak kota dan desa kita sering melihat pasar burung. Bukan hanya perkutut dan burung berkicau, tapi burung dara. Sepasang merpati lokal harganya hanya Rp140.000 di pasar. Kalau sudah dilatih bisa meningkat menjadi Rp15-juta atau lebih.
Ada dua macam lomba balap merpati di Jawa, yaitu sistem tanganan dan sistem lemahan. Kedua sistem ini dilakukan untuk jarak dekat, 100—200 m. Bedanya, pada sistem tanganan, si jantan harus hinggap pada tangan penggeber (pelatih); sistem tanahan, si jantan mencapai lingkaran di tanah, tempat betina berada.
Tentu harus ditanyakan, bagaimana melatih sampai jadi pintar? Pertama, penggeber harus memakai baju tertentu, yang dihapal oleh merpatinya. Kedua, kedekatan jantan-betina harus ditingkatkan. Menjadi “giring” istilahnya. Perasaan ini direkayasa demikian rupa, sehingga membuat burung terbang lebih cepat.
Datangkan devisa
Di berbagai negeri maju, burung dibebaskan hidup di alam luas. Memiliki burung, tidak harus berarti membuatkan sangkar. Namun di banyak pulau di Nusantara, mencintai burung bisa berarti membuatkan sangkar semahal-mahalnya. Untuk memanjakan sepasang merpati aduan, ada kalanya diperlukan sangkar dengan harga berjuta-juta rupiah.
Industri wisata berburu merpati, secara tradisional berjalan paling bagus di Uruguay, Amerika Selatan. Populasi merpati liar disana sangat besar dan stabil. Dengan uang 2.000 dolar Anda bisa mengikuti paket berburu merpati selama empat atau lima hari. Sayangnya tarif ini bukan dari Jakarta, melainkan dari New York, Los Angeles, atau Austin, Texas, dan kota-kota lain di AS.
Populasi merpati di Uruguay paling stabil sepanjang tahun. Ini menciptakan pekerjaan untuk warga desa. Mereka bisa menjadi “bird boy”, semacam cady, kalau kita main golf; bayarannya 30 dolar sehari.
Di kota-kota besar yang kewalahan dengan populasi merpati, bisnis jebakan dan racun juga berjalan. Maklumlah, betapapun indahnya, kalau berlebih-lebihan ia bisa menjadi wabah.
Ada banyak cara untuk memberantas merpati sebagai hama. Ada rumah yang memasang balon berisi helium, semacam bebegik (orang-orangan sawah) yang berfungsi untuk menakut-nakuti mereka di langit. Banyak lagi yang memasang alat elektronik dengan rekaman suara burung hantu.
Merpati paling takut pada suara burung hantu, karena itulah predatornya. Di Jawa bukan hanya burung hantu, alap-alap dan elang pun memburu merpati. Merpati, bagaimana pun telah mempunyai tempat tersendiri di hati kita.
Boleh kenangan masa kecil, kenangan semasa menjadi mahasiswa, tamasya ke luar negeri; maupun hobi setelah memasuki usia senja. Merpati bahkan bisa menjadi identifikasi seorang pribadi. Bukan hanya seorang manusia, tapi juga seluruh dunia. Ketika bumi bersayap, semua terbang merdeka dalam perdamaian. *** (Eka Budianta, kolumnis Trubus, budayawan, mantan direktur urusan sosial dan lingkungan PT Tirta Investama)