
Budidaya nila sistem bioflok meningkatkan padat tebar hingga 1.000%. Laba peternak berlipat-lipat.
Ervan Giri terkejut mengetahui kolam bervolume 10 m³ berisi 1.000 nila. Artinya terdapat 100 Oreochromis niloticus per m³. Jumlah itu meroket 1.000% dibandingkan dengan budidaya nila sistem konvensional di kolam berair tenang yang mencapai 10 ekor per m3. Rasio konversi pakan atau Feed Conversion Ratio (FCR) di kolam itu pun 1—1,2. Dengan kata lain peternak memerlukan 1—1,2 kg pakan untuk menghasilkan 1 kg nila.
Padahal, pengalaman Ervan beternak ikan anggota famili Cichlidae itu pada 2000—2005 menunjukkan FCR 1,6. Peternak nila di Sukabumi, Jawa Barat, Rifqi Yasin mengungkapkan kelebihan lain kolam tilapia atau nila itu. “Kolam nila itu bisa dibangun di lahan relatif sempit dan lebih sedikit menggunakan air dibandingkan dengan budidaya konvensional,” kata Rifqi.
Sistem bioflok

Rifqi mengunjungi tempat itu karena penasaran setelah beberapa teman menyebarkan aneka keunggulan kolam itu. Kolam nila yang bikin Ervan dan Rifqi kepincut itu milik Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Peneliti nila di BBPBAT Sukabumi, Adi Sucipto, M.Si., mengatakan kolam nila itu menggunakan bak bulat berdiameter 4 meter.
Konstruksi wadah pemeliharaan nila berbahan terpal dengan ketebalan 0,3 mm untuk dinding dan dasar wadah. Besi anyaman (wiremesh) berdiameter 6 mm berfungsi sebagai rangka dinding wadah. Sementara fiber tipis atau karpet talang air sebagai pelapis dinding. Ervan dan Rifqi melihat deretan 40 bak berukuran sama di lahan sekitar 1.000 m². Lazimnya tempat budidaya nila berupa hamparan kolam tanah.
Justru karena wadah berbentuk bulat itulah budidaya nila di Kota Sukabumi, Jawa Barat, itu memiliki beragam kelebihan seperti yang disebutkan Ervan dan Rifqi. Apa rahasianya sehingga peternak bisa membudidayakan ikan omnivora itu dengan kepadatan tinggi? “Kolam nila itu menggunakan sistem bioflok,” kata Adi.
Sebelumnya Ervan dan Rifqi pun mengenal sistem bioflok pada lele, bukan nila. Adi menuturkan bioflok berisi beragam mikrob seperti bakteri, protozoa, fungi, fitoplankton, dan zooplankton. Semua mikrob itu bersatu padu mereduksi bahan organik sisa pakan dan kotoran ikan. Harapannya kualitas air terjaga sehingga nila pun nyaman. Tanpa bioflok dijamin ikan mati karena kekurangan oksigen.
Oleh karena itu, perlu organisme lain yakni bakteri pengurai amonia sehingga bisa bermanfaat untuk ikan. Agar dapat tumbuh dan berkembang, bakteri heterotrof memerlukan 2 mg oksigen per liter air. Menurut Adi pemanfaatan sistem bioflok pada nila tergolong baru di tanah air. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto, merilis resmi budidaya nila sistem bioflok di BBPBAT Sukabumi pada April 2018.

Soebjakto menyampaikan, penerapan dan pengembangan budidaya nila sistem bioflok sangat efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya air, lahan, dan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Kepala BBPBAT Sukabumi, Ir. Supriyadi, M.Si, menyatakan kelebihan budidaya nila sistem bioflok antara lain meningkatkan kelangsungan hidup atau survival rate (SR) hingga lebih dari 90% dan tanpa penggantian air.

Kelebihan lain, budidaya nila sistem bioflok tidak mengganggu lingkungan sekitar karena airnya tidak berbau. Bahkan sistem itu dapat disinergikan dengan budidaya sayuran dan buah karena terdapat mikrob pengurai limbah budidaya menjadi pupuk.
Kian menyebar
Selain itu produktivitas budidaya nila sistem bioflok membubung hingga 25—30 kg per m³. Jumlah itu 12—15 kali lipat lebih tinggi ketimbang kolam biasa yakni 2 kg per m³. Semua keunggulan itu mendorong Ervan menerapkan budidaya nila sistem bioflok. Ia bekerja sama dengan kawan di Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pada Februari 2018 Ervan dan rekan mengembangkan nila di 4 kolam semen berukuran 2,5 m x 2,5 m. Setiap kolam berisi 600 ikan yang pertama kali diidentifikasi pada 1758 itu. Pada April 2018 ia dan rekan menambah 3 kolam berukuran 6 m x 2,5 m. Setiap kolam persegi panjang itu berisi 100 nila per m³. “Hingga kini tidak ada nila yang mati,” kata pria yang berbisnis ayam dan ikan konsumsi itu.

Sayang, perjalanan Ervan membudidayakan nila sistem bioflok terhambat karena kolam bocor sehingga mesti segera diperbaiki. Teknik budidaya itu menjadi solusi tantangan zaman seperti berkurangnya sumber air, larangan pemerintah terkait penggunaan danau untuk budidaya ikan, dan tercermanya sungai.
Ia juga berencana mempraktikkan budidaya nila sistem bioflok pada 2019. “Untuk permulaan saya akan membangun 20 bak berdiameter 4 m seperti di BBPBAT,” kata warga Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat, itu. Rifqi bakal memanen 5 bak per pekan yang menghasilkan sekitar 2 ton ikan.
Artinya ia bakal menghasilkan 8 ton ikan saban bulan. Pria berumur 25 tahun itu optimis budidaya nila bioflok bakal sukses. Menurut Rifqi pangsa pasar ikan yang kali pertama diidentifikasi taksonom dari Swedia, Carolus Linnaeus, itu besar karena semua kalangan menyukai nila. Apalagi beberapa tahun kemudian kemungkinan pembudidaya nila berkurang karena pelaranagan keramba jaring apung di danau.
Ceruk pasar ikan introduksi dari Afrika itu pun makin besar (Baca Peluang Bisnis Besarkan Nila halaman 16—17). Bukti lain prospek nila bagus yaitu meningkatnya permintaan bibit setiap tahun. Pada 2017 Rifqi memasok 1,1 juta benih, sedangkan pada 2018 ia memasarkan 1,5 juta benih nila. Ia mengatakan, peternak bisa mengadopsi teknologi bioflok pada nila asalkan rajin. Siapkan dan bersihkan lahan dari benda tajam untuk memulai budidaya nila sistem bioflok. Upayakan lahan di tanah rata.
Tantangan
Wadah untuk budidaya berupa bak bulat atau lainnya. “Bentuk bak tidak mesti bulat. Saya suka bentuk wadah pemeliharaan heksagonal,” kata Adi. Isi air setelah wadah budidaya terpasang. Masukkan 9 aerator bertekanan 10 liter per menit. Kemudian masukkan bahan-bahan pembentuk bioflok seperti garam, molase, probiotik, dan dolomit (Baca Bikin Bioflok Sendiri halaman 54—55).

Lantas diamkan selama sepekan karena bakteri perlu waktu untuk tumbuh dan memperbanyak diri. Selanjutnya benih ikan masuk ke sistem bioflok. Adi menyarankan agar persiapan benih ikan berbarengan dengan penyiapan kolam dan media agar efektif. Pria kelahiran Pamekasan, Jawa Timur, itu menganjurkan peternak menggunakan benih seragam berukuran 8—10 cm.
Yang paling penting pastikan benih sehat tanpa luka luar agar tidak ada bakteri patogen yang mendominasi bakteri heterotrof. Jika nila terluka masuk sistem bioflok, lazimnya ikan mati setelah 4 hari karena bakteri patogen mendominasi. Sementara bakteri heterotrof yang disiapkan sebelumnya kalah bersaing dengan bakteri merugikan itu. Pastikan juga semua nila yang dibudidayakan berkelamin jantan agar pertumbuhan lebih cepat. Lakukan pemeriksaan air meliputi oksigen dan pH terutama di awal budidaya.

Hal lain yang mesti diperhatikan dalam budidaya nila sistem bioflok adalah periksa rutin volume bioflok untuk memastikan sistem berjalan lancar. Keuntungan beternak nila sistem bioflok tercapai jika peternak mampu mengatasi beragam rintangan seperti listrik padam. Sistem bioflok sangat bergantung pada pasokan listrik sehingga peternak mesti menyediakan genset sebagai cadangan sumber listrik. (Riefza Vebriansyah)