Di antara embusan angin dingin yang membasahi Hotel Sriwedari sore itu, Pangeran Salju malah lebih prima. Klangenan asal Yogyakarta itu unggul tipis dan mengantongi gelar terbaik di Kontes Nasional Serama Yogyakarta 2006.
Penampilan Kamboja di babak final seolah menjadi antiklimaks perjalanan panjangnya meraih gelar terbaik. “Mental bertandingnya masih bagus. Ia hanya sedikit kurang bergaya,” ujar Santoso, juri asal Kota Gudeg itu. Boleh jadi lantaran staminanya menurun. Maklum ayam milik Edi Sebayang itu baru menginjak Yogyakarta larut malam menjelang kontes dari Tangerang. Toh, saat turun gelanggang di kategori dewasa A pada siang harinya, ia bisa dengan cepat melibas semua saingan terberatnya. Sebut saja Rinting Mas milik Toni asal Jakarta dan Jet Set milik Halley WS asal Yogyakarta. Jet Set misalnya merupakan kampiun dewasa A pada Trubus Cup Mei 2005 lalu. “Kamboja sedikit kurang beruntung saja. Ia kalah tipis hanya berbeda 1,5 angka,” ujar Rudi Pelung, praktikus serama.
Pangeran Salju yang merebut best of the best memang tampil prima melawan jawara kategori lain di luar kelas anakan. Di babak penentuan yang lebih mengedepankan gaya dalam penilaian, kampiun dewasa B itu, kerap berlenggaklenggok di atas meja. Ia pun tidak merasa terganggu dengan kehadiran pengunjung dan suara-suara tepukan di sekelilingnya. Pantas bila 6 juri menganjarnya dengan total nilai 54. “Gaya atas dan gaya bawahnya sangat baik,” ujar Santoso.
Ramai
Kategori dewasa A dan B memang paling banyak menyedot perhatian peserta dan pengunjung. Maklum di kategori itu termasuk bergengsi. “Banyak kolektorkolektor besar dari Jakarta yang turun di kelas ini,” tutur Rudi Pelung. Kampiun di kategori itu saling mengalahkan untuk menjadi best of the best di babak final.
Di luar itu hanya kategori muda jantan dan remaja yang menampilkan persaingan ramai. Contoh di kategori muda jantan. Di sana Cenil milik Edi Sebayang muncul sebagai kampiun. Jawara kontes serama di Lapangan Banteng, Jakarta, dan juara ke-3 di Trubus Cup itu terlalu tangguh bagi lawanlawannya. Terbukti selisih angka dengan peringkat ke-2, Yuda milik Asri Farm asal
Jakarta, mencapai 20 angka.
Menurut YB Agus Sudibyo SE, MBA., ketua Persatuan Pelestari Ayam Serama Yogyakarta, kontes itu merupakan kontes nasional perdana setelah maraknya flu burung. “Kita ingin membuktikan bahwa ayam yang dipelihara secara khusus seperti serama tidak akan terkena penyakit itu,” ujarnya. Sebanyak 49 ayam turun gelanggang, kebanyakan datang dari peserta luar kota seperti Solo, Semarang, Surabaya, dan Jakarta. (Dian Adijaya S)
Joy Lahir dari “Siang”
Pengantin
Lupakanlah indahnya malam pengantin. Itulah yang dilakukan Gusti Merdeka Putra saat membidani kelahiran angora lop. Jenis kelinci hias baru itu muncul dengan mengawinkan jantan fuzzy lop dan betina angora menjelang siang hari selama 5—10 menit. Si Joy—nama kesayangan angora lop—muncul setelah indukan ‘dipaksa’ menjalani siang pengantin sebanyak 5 kali.
Sosok Joy memang istimewa. Kupingnya terkulai dengan warna bulu biru tua dominan di seluruh tubuh. Karena penampilannya itu, banyak orang kecele. “Orang mengira ini anakan anjing. Mereka baru sadar kalau dia kelinci setelah Joy meloncat-loncat,” ujar Gusti Merdeka sambil menunjuk kelinci yang digendongnya.
Menurut Gusti angora lop itu sulit didapat. Jumlah anakan dari beberapa perkawinan paling hanya diperoleh seekor angora lop. “Keberhasilannya mencapai 70% bila induk dikawinkan sebelum matahari menyengat,” tutur alumnus Fakultas Ekonomi, Universitas Jayabaya itu. Kebiasaan itu meniru penangkar kelinci di negara-negara Uni Eropa.
Menurut Yana Suryana, peternak dari Mekarsari, Depok, angora lop termasuk jenis baru di tanahair jumlahnya terbatas. “Ia sangat istimewa karena bulunya halus dan lembut seperti kapas. Menariknya lagi bentuk muka bulat dan mata seperti tertutup poni,” ujarnya. Hingga saat
ini segelintir hobiis saja yang memiliki angora lop lantaran Oryctologus cuniculus itu langka.
Selain angora lop, beberapa kelinci hias baru yang tak kalah cantik sudah dikoleksi para hobiis. Berikut kelinci-kelinci hias yang menawan mata itu.
Fuzzy lop
Kelinci hias asal Amerika itu berbulu agak panjang dan belang-belang. Bulu kuping lebat walau tidak selebat angora lop. Kelinci yang bisa mencapai bobot 2—4 kg itu terlihat lebih ramping sehingga lincah, meloncat-loncat. “Yang hampir setahun harganya bisa mencapai Rp500.000—Rp600.000 per ekor,” ujar Gusti Merdeka.
Holland lop
Kelinci asli negara Kincir Angin, Belanda, itu termasuk tipe sedang berbulu pendek. Bobot tubuhnya sama seperti fuzzy lop. Keistimewaan jenis ini, bulunya terurai sehingga tidak perlu disisir setiap hari. Holland lop memiliki banyak varian warna seperti hitam, cokelat-kuning, dan putih. Kelinci yang bisa mencapai bobot 6 kg itu dijual pada umur 2,5 bulan dengan kisaran harga Rp250.000— Rp300.000 per ekor.
Hotot
Jenis hotot memiliki penampilan istimewa terutama di daerah mata. Jika diperhatikan seputar mata tampak bak gadis memakai eye shadow dan eye liner. Corak itu terlihat kontras dengan tubuh seputih kapas. “Banyak yang menyukainya karena matanya sangat elok,” ujar Gusti. Kelinci asal Uni Eropa berbobot rata-rata 0,9—2 kg per ekor itu dijual Rp150.000—Rp300.000per ekor umur 9 bulan.
Flamish giant
Seperti embel-embel namanya, giant, fl amish giant memiliki tubuh kekar dan besar. Bulunya indah, paduan putih, cokelat, dan hitam. Jenis yang sebetulnya termasuk kelinci konsumsi itu sangat manja dan mudah cemburu. Bila merasa tidak diperhatikan, ia berusaha meloncat-loncat minta dielus-elus. Flamish giant di atas umur setahun dijual Rp600.000— Rp700.000 per ekor.
Lyon
Penampilan lyon sedikit banyak mirip kucing. Kupingnya berdiri tegak nyaris tidak berbulu dengan moncong tidak terlalu panjang. Jenis yang namanya diambil dari sebuah kota di Perancis selatan itu memiliki sifat pendiam. “Agak sedikit malas bergerak,” ujar Yana Suryana. Di pasar, lyon dijual seharga Rp150.000— Rp300.000 per ekor. (Hermansyah)