Wednesday, December 11, 2024

Laba Auricula di Depan Mata

Rekomendasi
- Advertisement -

Agoes Poernomo kedodoran melayani permintaan lantaran sebagian produksi dipasarkan sendiri oleh plasma. Menurut pekebun di Garum, Blitar, itu banyak mitra yang akhirnya menjual sebagian hasil panen di kotanya masing-masing akibat tingginya permintaan. Plasma tersebar di berbagai kota seperti Malang, Banyuwangi, Bondowoso, Bali, Batam, dan Banjarmasin.

Harap mafhum, ayah 2 anak itu memang tak mewajibkan para mitra menyerahkan seluruh produksi kepadanya. Jadi, hanya sebagian yang dijual kepada Agoes. Itu pun dilakukan terbatas oleh pekebun mitra yang berdomisili di sekitar Blitar. Sedangkan pekebun mitra di luar Jawa, sama sekali tak pernah menyetor jamur kuping kepadanya.

Kewalahan

Di Blitar harga sekilo jamur kering Rp28.500—Rp40.000, tergantung kualitas. Sedangkan di Yogyakarta, Rp32.000—Rp40.000. Satu kg jamur kering diperoleh dari 6—7 kg segar. Selain dari pekebun mitra, Agoes mendirikan 2 kumbung masing-masing berkapasitas 10.000 dan 8.000 baglog. Sebuah rumah di sisi kanan huniannya juga dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya jamur kuping.

Tingginya permintaan juga diakui Hengky Yondreas. Pengepul besar di Surakarta, Jawa Tengah, itu hanya sanggup memasok 2 ton kering per bulan. Padahal permintaan yang masuk mencapai 5 ton. “Siapa saja yang punya jamur kuping, saya siap menampung,” ujar pria ramah itu. Setiap bulan Hengky juga mengimpor 1 ton jamur kuping kering dari Cina.

Meski demikian itu bukan sebagai pengganti jamur kuping lokal. Katanya, “Pasarnya berbeda. Itu untuk restoran kelas atas.” Harga jamur impor relatif mahal, Rp90.000—Rp130.000 per kg. Hal serupa dialami Iwan Wiliyanto, yang mengibarkan bendera CV Wanandi Multikarya di Yogyakarta. Dari 6 ton kering kebutuhan per bulan, 30 plasmanya di Kaliurang, Yogyakarta, cuma sanggup melayani 2 ton. Menurutnya seluruh jenis dan kelas dapat diterima.

“Pasar jamur kuping memang sangat bagus, di samping tingginya harga jual,” kata Adi Yuwono. Praktikus di Bandung itu diminta memasok 500 kg per hari. Itu yang mendorong alumnus Universitas Islam Nusantara yang selama ini berkonsentrasi pada produksi baglog akhirnya juga tertarik menerjuni segmen produksi.

Pasar gemuk

Pendapat Adi Yuwono tak berlebihan. Setahun belakangan ini Auricularia sp (Latin, auricula = kuping, red) memang diminati konsumen. Kikurage—sebutannya di Jepang—itu kaya serat, protein, dan mineral. Semuanya menunjang kesehatan tubuh. Menurut Adi masyarakat kian menyadari pentingnya kesehatan dengan konsumsi pangan bergizi seperti jamur kuping.

Selain pertumbuhan pasar, melambungnya permintaan supa lember—nama jamur kuping dalam bahasa Sunda—juga dipicu oleh runtuhnya beberapa produsen raksasa. Sebut saja PT Betafarm yang gulung tikar 2 tahun silam. Perusahaan di Pangalengan, Kabupaten Bandung, itu mengelola 100 kumbung khusus jamur kuping. Setidaknya 1 ton jamur segar dituai saban hari.

Ada 2 raksasa produsen serupa yang akhirnya juga tumbang. “Pangsa pasar mereka kemudian diambil alih oleh para pelaku jamur kuping sekarang ini,” kata Adi Yuwono. Mengapa mereka—pabrikan besar—ambruk? Yang jelas bukan karena sulitnya memasarkan. Namun, “Karena salah pengelolaan. Perusahaan jamur yang besar hampir semuanya menggandeng tenaga ahli dari Taiwan. Dari situlah kemudian muncul perpecahan,” kata Adi Yuwono.

Perusahaan-perusahaan itu kolaps meninggalkan pasar yang gemuk. Itulah sebabnya pasokan saat ini dinilai Adi belum seberapa. Pantas jika harga terus membumbung akibat rendahnya pasokan. Di Bandung pada pertengahan September 2004, harga sekilo jamur kuping segar di tingkat pekebun menembus angka Rp12.000. Pantauan Trubus di berbagai kota di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat harga sekilo jamur kuping segar di tingkat pekebun setidaknya Rp8.000. Ketimbang komoditas sayuran lain, boleh dibilang harga jamur kuping relatif tinggi dan stabil.

Tanpa kumbung

Dengan harga jual setinggi itu laba yang ditangguk pekebun lumayan besar. Betapa tidak, biaya produksi untuk menghasilkan sekilo jamur kuping tak lebih dari Rp3.000. Dengan sederet fakta itu, jamur kuping menjadi komoditas yang menarik. Apalagi membudidayakan jews ear tak njlimet seperti diungkapkan Sutini yang melirik peluang itu sejak Juni 2004.

Warga Bendosari, Kecamatan Sanan Kulon, Blitar, itu mempunyai pendapatan tetap Rp2,1-juta per bulan dari penjualan 50 l susu sapi setiap hari. Namun, lahan kosong di sisi kiri rumahnya menggoda untuk dimanfaatkan. Di sanalah ia menumpuk antara lain 750 baglog jamur kuping. Sebuah baglog berbobot rata-rata 1,4 kg menghasilkan 6—8 ons segar. Sampai penghujung Agustus 2004, Sutini menuai 10 kg kering yang dijual Rp35.000 per kg.

Di Blitar, Jawa Timur dan Karanganyar, Jawa Tengah, memang banyak yang memanfaatkan ruang kosong seperti emper, ruang tamu, atau dapur sebagai lokasi budidaya jamur kuping. Jadi, mengembangkan jamur tak selamanya harus di dalam kumbung. Agoes Poernomo menumpuk baglog bersilangan di ruang tamu, dapur, dan kamar. Mahfud di Jiwut, Blitar, juga demikian.

Bahkan beberapa kantor Koramil di Karanganyar, memanfaatkan ruang kosong sebagai lokasi budidaya jamur kuping. “Waktu jamur mengembang, banyak anggota Koramil lain datang. Mereka ingin melihat dan mencontoh,” kata Sertu Kasno dari Koramil 06 Mojogedang, Karanganyar. Saat ini mereka baru belajar dan hasilnya dinikmati bersama. “Kalau dalam skala besar pasti menguntungkan. Pengalaman itu bekal untuk pensiun kelak,” kata Kasno.

Baglog

Imbas dari meningkatnya permintaan juga dirasakan oleh produsen baglog seperti PT Agro Makmur. Setiap bulan perusahaan itu memproduksi 100.000 baglog, separuhnya untuk jamur kuping. Padahal permintaan baglog jamur kuping mencapai 3 kali lipat. Sebuah baglog dijual Rp1.250. Lonjakan permintaan juga dialami Yatim Hadiyatmoko MPd yang menghasilkan 4.000—8.000 baglog sepekan.

Jika saat ini Anda tengah mencari-cari komoditas untuk diusahakan, jamur kuping salah satu yang mesti dipertimbangkan. Selain harga tinggi dan stabil, jamur kuping juga dapat diawetkan. Serangan hama dan penyakit relatif sedikit. Pasar terbentang luas. Itu berbeda jauh dengan kondisi 8 tahun silam. Pengalaman Agoes di Blitar, masyarakat saat itu khawatir keracunan jika mengkonsumsi jamur kuping.

Betapa sulitnya merintis pasar waktu itu. Agoes Poernomo mesti berkeliling ke kota-kota kecamatan di seantero Blitar. Gereja dan pondok pesantren di berbagai kota di Jawa Timur seperti Malang, Jember, dan Bondowoso juga disambangi untuk memperkenalkan produksinya. “Waktu itu saya jarang di rumah, terus berkeliling,” ujar pria kelahiran Blitar 5 Maret 1950 itu mengenang.

Sekarang kekhawatiran keracunan jamur kuping telah terkikis. Permintaan terus menjulang. Jika demikian cobalah pasang kuping, dengarkan gemerincing rupiah yang mengisi pundi-pundi pekebun. Tak tertarikkah Anda mengikuti jejak mereka? (Sardi Duryatmo/Peliput: Destika Cahyana)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Kementan Ungkap Strategi Komunikasi dan Promosi Produk Susu Organik

Trubus.id–Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan) menjalin kerja sama dengan  Pemerintah Denmark dalam program...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img