Amat mini memang. Di sanalah sejak 3 tahun silam produsen jam dinding eksklusif itu menangkarkan 17 pasang murai batu yang di alam hampir punah. Pendapatan tambahan minimal Rp21-juta hasil penjualan piyik-piyik burung berkicau itu diraup Abun—begitu sapaannya—setiap bulan.
Piyik murai batu dijual ketika berumur 1 bulan dengan harga Rp1,5-juta per pasang. Padahal dari 17 pasang indukan, setidaknya Budi Hartanto mengangkat 20 ekor piyik setiap bulan. Itu ketika sebagian induk rontok bulu sehingga tak bertelur. Namun, bila semua indukan dalam kondisi prima kelahiran Medan 52 tahun silam itu memasarkan hingga 40—50 ekor.
Pundi-pundi ayah 2 anak yang kini menimba ilmu di Australia itu tentu kian menebal. Toh dengan lonjakan produksi pun, penangkar di Tomang, Jakarta Barat, itu belum dapat memenuhi tingginya permintaan. Peminat Copsycus malabaricus itu umumnya hobiis dari berbagai kota termasuk Medan. Para mania memburu murai batu untuk diadu merdu-merduan di kontes yang belakangan ini kian marak.
Jejak Meteor
Kontes burung berkicau tak ubahnya pemilihan putri kecantikan. Keduanya dapat mengubah nasib bagi sang pemenang. Pada kontes adu merdu, kampiun biasanya langsung meroket harganya. Contoh, Kertajaya hasil tangkaran Drs Djumadi MKes. Meski cuma meraih jawara ke-4, murai batu itu langsung ditukar cek senilai Rp20-juta ketika kontes belum usai. Harga belinya hanya Rp3-juta (baca: Kicauan Jutaan Rupiah, halaman 18-19)
Atau ingin mengikuti jejak Meteor? Setahun lampau murai batu legendaris milik Hugeng Sudiyono itu ditawar R p 1 0 0 – j u t a . M a k l u m , prestasinya memang mencorong. Beberapa di antaranya jawara pertama: 2 kali masing-masing di Piala Kapolri dan Piala Gamako serta 3 kali di Piala Raja Hamengkubuwono. Ketiga kontes itu merupakan ajang nasional terbesar.
Hobiis di Puri Indah, Jakarta Barat, itu menolak walau ketika dibeli harga Meteror hanya Rp9-juta. “Sulit mencari lagi burung seperti itu. Saya mau menangkarkannya,” kata Hugeng. Ia berharap keturunan Meteor juga k i n c l o n g s e h i n g g a harganya pun melambung. Tak hanya murai batu yang diburu hobiis untuk diikutkan kontes merdu-merduan.
Cucak rawa dan jalak suren juga tetap dicari mania kicauan. Mereka acap dimanfaatkan sebagai master untuk mengisi suara murai batu atau sekadar d i d e n g a r k a n kicauannya. Di kontes kelas cucak rawa termasuk yang diminati hobiis.
Kontes rutin
Bergairahnya para mania memelihara burung berkicau tak terlepas dari maraknya kontes akhirakhir ini. “Kalau tak ada lomba, tak akan ada yang tertarik. Sebab, kepuasan terbesar jika burungnya menang di kontes,” kata Sekretaris Umum Pelestari Burung Indonesia (PBI), Ir Endang Budi Utami.
Order penyelenggaraan kontes kerap diterima Mr King, ketua Penggemar Burung Seluruh Indonesia. “Kota-kota di Kalimantan dan Jawa seperti Jember, Tulungagung, dan Surabaya minta rutin diadakan lomba di kotanya,” kata alumnus Universitas Lambungmangkurat.
Di berbagai kota di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan hampir setiap akhir pekan memang berlangsung kontes. “Di Lampung minimal sekali setiap bulan ada kontes,” kata Ming Tju, hobiis dari Bandarlampung. Beberapa hobiis di Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan yang dihubungi Trubus juga mengatakan hal serupa. Kerap kali panitia menyediakan mobil sebagai hadiah.
Para hobiis yang mengikuti kontes berharap burung yang dibawa meraih jawara dan ditawar mahal. Koleksi seorang hobiis di Surabaya langsung laku Rp2,5-juta setelah menjadi jawara. Padahal ia baru membelinya sehari sebelum kontes seharga Rp400.000. Ketika mengikuti lomba berikutnya burung kembali menang dan dibeli Rp7,5-juta. Wajar perhelatan adu merdu disesaki hobiis.
Ring meningkat
PBI mensyaratkan lomba berskala nasional dan koalisi minimal ada 3 kelas hasil penangkaran. Sedangkan megalomba diwajibkan seluruh peserta hasil tangkaran. Peraturan itu disosialisasikan lantaran banyak jenis burung hampir punah. Penyebabnya penangkapan, rusaknya hutan sebagai habitat, dan pemanfaatan pestisida yang jor-joran.
Seperti dikemukakan oleh Tomie Dono dari BirdLife Indonesia, beberapa burung berkicau di alam yang terancam punah adalah anis merah, anis kembang, cucak rawa, dan jalak. “Indonesia negara ke-5 setelah Brazil, Finlandia, Kolombia, dan Amerika Serikat yang burung-burungnya terancam punah,” ujar Dr drh Edi Boedi Santoso, dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada.
Untunglah himbauan PBI disambut positif oleh kalangan mania burung berkicau. Buktinya burung hasil tangkaran peserta kontes kian banyak. Sebagai gambaran pada 2001 paling hanya 5—6 ekor di sebuah kontes; kini, 30-an ekor. Sebaliknya, burung hasil tangkapan alam menyusut jumlahnya hanya 120—170 ekor; 4 tahun lalu, 400 ekor.
Itu indikasi suksesnya penangkaran yang dilakukan oleh hobiis. Harap mafhum, sejatinya mutu burung tangkaran lebih baik ketimbang tangkapan alam. “Seperti anjing, dulu hidup liar di hutan. Setelah dibiakkan oleh manusia kan hasilnya lebih bagus karena sudah beradaptasi. Burung juga demikian sehingga tak liar lagi,” kata Edi Boedi Santoso, ahli burung alumnus Ludwig Maximilians Universitaet di Munich, Jerman.
Menurut Boedi, ketersediaan pakan di alam amat terbatas. Belum lagi gangguan hujan, badai. Masuk akal bila burung t a n g k a r a n berumur lebih panjang lantaran kesehatannya terpenuhi. Agung Wijonarko, hobiis di Jakarta Timur, pernah membuktikannya. Murai batu dan anis merah tangkapan alam miliknya akhirnya mati setelah beberapa hari dibeli di sebuah pasar burung. Apalagi burung hasil penangkaran mampu m e m p e c u n d a n g i rekannya yang ditangkap di alam.
Di halaman
Kondisi itulah yang memicu maraknya usaha penangkaran 3 tahun terakhir. Toh lahan yang diperlukan untuk penangkaran relatif kecil seperti dilakukan Andri Wibowo, di Kotagede, Yogyakarta. Anak ke-2 dari 4 bersaudara itu memanfaatkan halaman untuk menangkarkan 20 induk cucak rawa. Dari jumlah itu dihasilkan minimal 8 pasang piyik per bulan.
Sarjana Teknik Industri alumnus Universitas Islam Indonesia itu menjual Rp2,5-juta sepasang. Konsumen datang dari Samarinda, Balikpapan, Papua, dan kota-kota di Jawa. Listyanto, penangkar di Jatinom, Klaten, hanya membangun kandang kawat ram di dak rumahnya untuk menangkarkan 50 pasang jalak suren.
Sturnus contra itu setiap bulan menyumbangkan pendapatan Rp30-juta bagi mantan pengusaha garmen. Pria 40 tahun itu menjual 30 pasang anakan berumur 3 pekan seharga Rp1-juta per pasang. Yang juga mendayagunakan halaman untuk penangkaran adalah Slamet Santosa Limaran. Di antara kesibukannya memasarkan suku cadang alat berat, Slamet membiakkan cucak rawa, anis kembang, dan murai batu. Tambahan pendapatan jutaan rupiah masuk kocek ayah seorang anak.
Kerikil tajam
Tertarik mengikuti jejak mereka? Bersiap-siaplah merasakan kerikil tajam yang tersebar di segala lini. Lini pertama ketika mengetahui karakter burung sebagi salah satu kunci keberhasilan penangkaran. Listyanto membutuhkan waktu 3 tahun hanya untuk menyelami kebiasaan-kebiasaan jalak suren. Kapan burung birahi, kapan membutuhkan sarang, harus diketahui dengan pasti.
Ia beberapa kali mendapati betina di sangkar mati karena dipatuk si jantan saat penjodohan. Kemudian ia tahu, setiap 2 jam mereka harus dicek. Kematian betina pun acap terjadi saat mengerami telur. Musababnya hasrat pejantan untuk “berhubungan” muncul lagi. Karena ditolak, pejantan marah dan menyerang betina. Kasihan! “Tidak gampang menangkarkan jalak suren karena tipe burung kejam,” ujar ayah 3 anak itu.
Andri Wibowo acap menemukan cucak rawa yang mengeram tiba-tiba membuang telur-telurnya. Penyebabnya ada orang asing—yang tak terbiasa merawat—melintas di depan kandang. Kesabaran penangkar juga mesti teruji. Ketika telur 4 pasang induk menetas bersamaan, Supriyanto mesti rela meloloh dengan interval 1 jam hingga tengah malam.
“Ibaratnya seperti merawat bayi. Saya juga ngga bisa ke mana-mana,” kata asisten Megananda Daryono, penangkar di Bogor. Terlambat meloloh, piyik lemas dan akhirnya mati. Ketika besar dan siap dipasarkan, penangkar yang belum punya nama harus menenteng sendiri sangkarnya ke pasar burung. Itu yang ditempuh oleh Anda Priyono, penangkar di Solo, Jawa Tengah, di tahun pertama.
Ikut kontes
Cara yang ditempuh Anda sedikit lebih baik lantaran masih mengantongi jerih payahnya. Cuan Lie malahan merelakan burung-burung hasil tangkarannya dijadikan door prize saat kontes berlangsung. Sepuluh tahun silam, penangkar di Palembang, Sumatera Selatan itu belum begitu dikenal. Dengan cara itu mutu hasil biakkan Cuan Lie mulai diamati kicau mania.
Sebelum kebanjiran order seperti sekarang, Budi Hartanto rutin menyambangi arena kontes hampir setiap akhir pekan. Kontes di Jakarta, Bogor, Bandung, menjadi langganannya untuk disambangi. Sesekali ia bertandang ke Semarang, Surakarta, atau Yogyakarta. Tentu saja ia mesti mengalokasikan waktu dan biaya yang tak sedikit.
Letih karena mengikuti burungnya berkicau di lapangan terbuka hal biasa. Di ajang itu mutu hasil tangkarannya bakal teruji, sekaligus memperkenalkan nama kepada kicau mania. Berpartisipasi di kontes seperti itu ditekuni Abun lebih dari sewindu lamanya dan dilakoni hingga hari ini. Bila berhasrat terjun di dunia penangkaran, cobalah mengikuti adu merdu burung berkicau. Dari sana hoki bisa diraih.
Permintaan tinggi
Kata orang banyak jalan menuju Roma. Jalan lain untuk mencapai kesuksesan adalah bermitra. Itu dirintis oleh Anda Priyono, 4 tahun silam. Sekitar 15 plasmanya tersebar di Surakarta, Boyolali, Klaten, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Jenis burung yang ditangkarkan cucak rawa, murai batu, dan jalak suren. Anda menyediakan indukan dan menampung seluruh produksi plasma.
Menurut alumnus STIE YKPN peluang pasar burung berkicau amat besar. Permintaan jalak suren saja mencapai 500 ekor per bulan. Padahal, kemampuan Anda dan plasmanya belum sampai separuhnya. Kelahiran Surabaya 18 Juli 1970 itu membeli sepasang jalak suren umur 3—4 pekan Rp1-juta. Biaya yang dikeluarkan penangkar untuk menghasilkan sepasang asian pied starling cuma Rp90.000.
Menurut Anda Priyono, skala ekonomis penangkaran burung berkicau terdiri atas 2 pasang induk. Beberapa penangkar kini menyediakan indukan yang telah berjodoh sehingga menekan risiko kegagalan. Malahan Slamet Widyatmo, penangkar di Solo, menjamin burung akan bertelur dalam waktu sebulan usai pembelian. Jika meleset, indukan yang telah dibeli dapat ditukar lagi.
Harga indukan seperti itu Rp7-juta per pasang dan dapat berproduksi selama 10 tahun. Sekitar 21 hari penangkar sudah dapat memetik hasilnya. Penangkar biasanya mengangkat piyik 1—5 hari setelah menetas. Lalu 5 hari berselang, induk kembali bertelur. Jadi dalam setahun indukan minimal dapat berproduksi 17 kali. Biaya untuk menangkarkan cucak rawa dan murai batu juga kira-kira sama. Namun, harga jualnya sedikit lebih tinggi, Rp2,5-juta. Harganya terkatrol menjadi Rp3,5 juta per pasang ketika sudah bisa makan sendiri atau berumur 2 bulan. Untuk yang siap kontes Rp5-juta seekor. Khusus burung yang kicauannya rofel alias sambung-menyambung laku Rp6-juta.
Dengan harga jual relatif tinggi, wajar bila laba yang ditangguk penangkar lebih dari cukup. Apalagi harga jual selama ini tak pernah turun, malah cenderung naik. “Burung beranak tv, kulkas, mobil, atau rumah itu biasa,” ujar Anda ketika mempersilakan Trubus memasuki mobil barunya hasil penjualan cucak rawa dan jalak suren.
Rumah 3 lantai beserta isinya plus sebidang tanah di Surakarta juga dibeli berkat burung. Pantas banyak penangkar seperti Lisyanto menambah kandang hingga 50 buah. Delapan penangkar di berbagai kota yang dihubungi Trubus menuturkan, produksi belum mampu memenuhi tingginya permintaan.
Contoh, Listyanto baru mampu melayani 30 pasang dari permintaan 50 pasang jalak suren. Sedangkan Megananda cuma sanggup menyediakan 8 pasang murai batu dari 30-an pasang yang dipesan. Tak hanya penangkar yang kewalahan melayani permintaan. Pedagang di pasar burung sama saja. Burwanto, pedagang di pasar burung Depok, Surakarta, rata-rata menjual masing-masing 5 pasang jalak suren, cucak rawa, dan murai batu per bulan. Menurut anak ke-5 dari 7 bersaudara itu permintaan mencapai 2—3 kali lipat. “Sulit mencari burung,” katanya.
Ternyata banyak orang ingin mendengar merdunya kicauan burung. Lihatlah Vencencius Alexander Robert, siswa kelas tiga SMP di Bengkulu. Bocah kelahiran 15 Maret 1989 itu setiap hari gandrung mendengarkan 40 jenis burung berkicau di rumahnya. Orang-orang seperti Robert menyerap burung berkicau dan itu peluang bagi para penangkar. (Sardi Duryatmo/Peliput: Destika Cahyana, Fendy R Paimin, Nyuwan SB, Pupu Marfu’ah, & Rahmansyah Dermawan)
Rp15-Juta Diterkam Tikus
Torehan prestasi Sexy tak perlu diragukan. Tledekan jantan itu telah 20 kali meraih jawara pertama di berbagai kontes. Suaranya nan merdu kerap mengalun. Lampung, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang beberapa kota yang menjadi saksi kehebatannya. Pantas seorang hobiis di Suarabaya dibuatnya kepincut. Sayang, meski ditawar Rp30-juta Hananto Prasetyo, sang pemilik, menolaknya.
Padahal, mantan karateka terbaik nasional pada 1986 itu membeli Sexy “cuma” Rp15-juta. Ayah 2 anak itu masih ingin mendengarkan kicauan koleksinya. Ia ingat setiap kali Sexy turun gelanggang, hobiis lain dibuatnya ketar-ketir. Namun, tak ada yang menduga bila burung 3 tahun itu malah ditaklukkan oleh seekor tikus. Saat malam senyap, satwa mengerat itu merayapi sangkarnya yang diselimut kain.
Klintingan
Setelah berhasil menyingkap selubung, tikus mengerat jeruji sangkar yang terbuat dari bambu. Menurut hobiis di Purwokerto, Jawa Tengah, anggota famili Muridae itu sebetulnya tertarik aroma voer—pakan burung. “Karena di dalam ada burung, ya disikat sekalian,” ujar ketua Pelestari Burung Indonesia cabang Purwokerto. Tikus hanya memangsa kepala; tubuh, dibiarkan. Ketika hama itu memangsa tledekan, Hananto tak mendengar lantaran jarak kamar dan sangkar cukup jauh.
“Materi masih dapat dicari, tetapi klangenan seperti Sexy sulit tergantikan,” kata pria 43 tahun. Pengusaha studio foto itu tak mau mengalami hal serupa. Oleh karena itu ia menangkap seekor tikus. Lalu di lehernya diberi klintingan—bola-bola besi seukuran biji kedelai yang di dalamnya terdapat bulatan. Ketika berlari atau berjalan, kawanan tikus lain ketakutan. Atau minimal kedatangan pemangsa itu dapat terdeteksi. (Sardi Duryatmo)