Panen 7.200 kg sungiku di lahan 3.000 m2. Produksi meningkat signifikan hingga 17 kali lipat dengan budidaya organik.
Lahan 3.000 m2 sebetulnya tergolong sempit untuk budidaya sayuran. Namun, dari lahan sesempit itu Fariadi dan kawan-kawan menangguk omzet Rp86-juta per paen. Angka itu hasil penjualan 7.200 kg sungiku dengan harga jual minimal Rp12.000 per kg. Dalam satu musim tanam selama 4 bulan Fariadi bisa 10 kali panen. Omzet itu bakal melonjak jika panen akhir pekan dan hari besar. “Pada Jumat, Sabtu, dan Ahad permintaan naik dua kali lipat, sedangkan saat Imlek harga mencapai Rp40.000 per kg,” ujar Fariadi.
Sungiku sayuran daun introduksi dari Jepang. Tanaman anggota famili Asteraceae itu masuk ke Indonesia pada 1992. Para petani di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah, dan Cianjur, Jawa Barat, menanam sayuran kerabat krisan itu. Meski terbilang komoditas pendatang, tetapi pasar menyerap sayuran itu dengan harga menawan. Petani di kawasan Agropolitan Gunung Putri, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, itu memperoleh harga tinggi, antara lain karena menghasilkan sungiku organik.

Cegah gulma
Produktivitas sungiku di lahan Fariadi memang fantastis, rata-rata 2,4 kg per m2. Bandingkan dengan produksi rata-rata petani lain yang hanya 0,14 per m2. Produksi tinggi itu karena penanaman secara organik. Fariadi menggunakan sekilogram kotoran ayam pedaging per m2 lahan sebagai pupuk dasar dan campuran media semai.
Menurut Ir Rohman Abdurohman, Manajer Umum Kampung Organik, Desa Gasol, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, kotoran ayam tidak memunculkan gulma karena ayam makan biji-bijian dan pelet yang tercerna. Adapun kambing, domba, dan sapi makan rumput-rumputan. “Biji rumput tidak lumat sehingga mampu tumbuh saat jatuh ke tanah,” kata Rohman.
Menurut Prof Dr Ir Iswandi Anas Chaniago, ahli tanah di Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor, bahan organik seperti kotoran ayam menggemburkan tanah sehingga tanaman mudah menyerap unsur hara. Sebaliknya pupuk kimia menyebabkan tanah jenuh dan keras, akibatnya produktivitas kian berkurang. Penggunaan bahan-bahan alami juga mempertahankan kehidupan pendukung kesuburan tanah.
Sepuluh kali panen
Fariadi menyiapkan benih hasil produksi sendiri dengan cara membungakan 10 dari 1.000 tanaman. Jika membeli benih sungiku, ia mesti mengeluarkan biaya Rp1-juta per 100 g. Biji itulah yang lantas ia semai di bedengan berukuran 100 m x 1,5 m. Ia menyiram bedengan persemaian setiap tiga hari saat kemarau. Jika penyemaian pada musim hujan cukup seminggu sekali.
Untuk menanam sungiku di lahan 3.000 m2, Fariadi memerlukan 100 g benih sungiku. Menurut Fariadi tingkat perkecambahan benih bikinan sendiri mencapai 80%. Ketika bibit berumur 2 pekan, tingginya kira-kira 15—20 cm, ia memindahkannya ke lahan pada pagi hari atau pada pukul 07.00—10.00. Saat itu intensitas matahari relatif rendah. Ayah 2 anak itu membenamkan bibit itu sedalam 3 cm di media campuran tanah dan kotoran ayam dengan perbandingan 1 : 1.
Pria 50 tahun itu menanam sungiku berselang-seling dengan bawang daun. Penanaman tumpang sari itu bertujuan menghalau trip Thrips parvispinus yang kerap menyambangi sungiku. Serangga hama itu tidak menyukai aroma daun Allium fistulosum sehingga menyingkir.
Pada 21 hari pascasemai, ia panen perdana. Padahal, pekebun lain, pada umumnya baru panen perdana 30 hari pascapindah bibit ke lahan. Percepatan panen itu antara lain karena Fariadi memberikan pupuk berupa urine kelinci yang mengandung hormon pertumbuhan sekaligus tinggi nitrogen sehingga dapat mempersingkat masa tanam hingga 30%. Ia memberikan pupuk itu setiap 6 hari sejak tanaman berumur 2 pekan. Caranya dengan melarutkan 100 ml urine dalam 1 liter air bersih dan menyemprotkannya ke tanaman.
Pada panen pertama ia hanya memperoleh 20 kg sungiku. Panen berikutnya dengan interval 2 pekan hingga total frekuensi panen 10 kali. Pada panen kedua hingga kedelapan, ia menuai 60 kg per bedengan. Pada dua panen terakhir, produktivitas kembali turun menjadi 20 kg per bedengan.

Bekerja sama
Setiap kali usai panen, Fariadi memberikan tambahan 1 kg kotoran ayam dan 1 liter urine kelinci per bedengan. Setelah 10 kali panen, ia membongkar tanaman dan menggantinya dengan bibit baru. Usai panen ia menyortir sayuran untuk memenuhi permintaan pasar. Fariadi memasok 8 restoran dan 10 pasar swalayan modern di Jakarta
Kriteria sungiku sesuai permintaan pasar adalah daun berwarna hijau, panjang 25 cm, dan sehat. Sungiku siap kirim pada pukul 03.00 dini hari untuk menghindari macet dan panas di perjalanan yang memicu kerusakan. Selang 3 jam, sayuran yang lazim menjadi bahan chanko nabe dan shabu-shabu itu sampai di dapur pelanggan. Volume pasokan setiap hari mencapai 140 kg.
“Kadang pasar modern menolak 10% pasokan karena kondisinya kurang baik,” kata alumnus Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu. Serangan trip, busuk daun Phytophthora infestans, dan bercak daun Cercospora capsici meningkat saat pancaroba. Fariadi melakukan penanggulangan dengan menyemprotkan seliter campuran air yang berisi 10 ml urine kelinci dan 1 gram tumbukan halus biji sirsak setiap pekan. “Dua kali menyemprot hama mati,” kata pria kelahiran 50 tahun lalu itu. Dengan sungiku organik Fariadi meraup laba (Lutfi Kurniawan)