Trubus.id— Lazimnya daun nanas hanya berakhir sebagai limbah, sehingga sering tidak termanfaatkan. Pasalnya sehektare kebun nanas menghasilkan 10—15 ton limbah daun. Jumlah yang sangat banyak dan sayang sekali jika hanya berakhir sebagai limbah.
Alan Sahroni, pria asal Kampung Cijoged, Desa Cikadu, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, salah seorang yang melihat limbah daun nanas menjadi peluang. Alan memproduksi serat alami dari daun nanas.
Alan mengolah sekitar 150 kg daun nanas setiap hari. Dari jumlah itu menghasilkan 3—3,5 kg serat kering. Jadi, Sarjana Tekstil itu memproduksi 200—300 kg serat saban bulan. Alan menjual serat nanas yang belum disisir seharga Rp200.000 per kg.
Adapun harga serat yang sudah disisir mencapai Rp215.000 per kg. Alan menjual serat itu ke berbagai daerah di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jawa Barat, dan Surabaya (Jawa Timur). Bahkan, pasar serat nanas itu menjangkau mancanegara seperti Jepang, Malaysia, dan Jerman.
Ia mengirim 1,2 ton serat nanas ke Singapura pada Mei 2021— April 2022. Selain itu Alan juga menjual benang dalam bentuk gulungan kecil seharga Rp10.000— Rp15.000 per gulung. Benang itu terbuat dari serat daun nanas yang dipintal secara manual dan disambung menjadi benang.
Selain itu, Alan juga menjual kain seharga Rp200.000—Rp250.000 per meter. Di samping kain dan benang, ia juga membuat aneka kerajinan seperti tas, lampu hias, kertas, taplak meja, hiasan dinding, dan rompi— semua berbahan daun nanas.
Dengan berbagai produk itu, Alan meraup keuntungan Rp10 juta—Rp15 juta per bulan. Menurut Alan konsumen menyukai serat daun nanas karena bermutu lebih baik dibandingkan dengan serat lain. Pasalnya, bahan tekstil dari serat daun nanas terbilang lebih kuat.
“Serat daun nanas termasuk serat alam yang kekuatan daya tariknya pun berbeda. Apalagi pemintalan dengan mesin,” kata Alan.
Sayang, lebar daun nanas tidak merata sehingga saat pembuatan menjadi bahan tekstil pun tidak merata.