Dibanding sawo lain, Achras zapota itu memang terlihat bongsor. Buah berkualitas kelas satu berbobot 160—200 g per buah atau 5—6 buah per kg. Kelas 2 dan 3 masing-masing berisi 7—9 buah dan 10—12 buah per kg. Bandingkan dengan sawo sumpur yang juga dikenal bersosok bongsor . Sawo asal Kenagarian Sumpu , Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah datar, Sumatera Barat, itu berbobot rata-rata 120—150 g per buah setara 6—7 buah per kg.
Di balik kulit cokelat tua mulus sawo plampang—begitu ia disebut—terdapat daging buah yang manis, pulen, dan padat berwarna cokelat muda. Bau harum pun tercium. Dengan kulit tipis ia relatif tahan simpan.
Varietas unggul
Penampilan sawo plampang terlihat lebih mentereng ketimbang sawo cokelat asal Kabupaten Dompu—berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa kala disandingkan di pameran Tropical Fruit Festival di Bali penghujung 2003. Keistimewaan-keistimewaannya mengantarkan sawo plampang menjadi varietas unggul nasional dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 522/ Kpts/PD.210/10/2003.
Sosok pohon sawo plampang menarik. Tajuk berbentuk seperti payung dengan mahkota bundar dan batang gilik. Tinggi tanaman mencapai 4—8 m. Percabangan banyak dan rimbun dengan cabang terendah kurang dari 1 m. Warna daun bagian atas hijau muda dan halus ; bawah, hijau tua . Bunga yang putih bergerombol 5—10 kuntum di ujung cabang. Tanaman toleran terhadap karat daun.
Sentra penanaman tersebar di 3 kecamatan, yaitu, Kecamatan Plampang, Labangka, dan Empang. “Sekarang ini penduduk sedang gandrung menanam sawo plampang,” tutur Ni Wayan Rusmawati, anggota staf Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa saat Trubus temui di acara Agrifood Expo. Pada 2003 tercatat penanaman baru sebanyak 2.000 pohon setara 30 ha. Penanaman dengan bibit bantuan dinas pertanian setempat itu tersebar di pekarangan-pekarangan rumah penduduk dan di kebun-kebun pribadi.
Sepanjang tahun
Perluasan penanaman itu beralasan. Tanaman berjuluk ciku di Malaysia itu memiliki daya adaptasi tinggi. Ia cocok ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 1.200 m dpl. Meski musim panen berlangsung pada Mei—September, hampir sepanjang tahun bunga, buah pentil, dan buah matang pohon ada.
Produksi sawo plampang mencapai 150—200 kg per pohon per tahun. Harga jual di tingkat pekebun mencapai Rp8.000 per kg. Sampai di pedagang pinggir jalan nilai jual melonjak hingga Rp10.000 per kg.
Toh, dengan harga tinggi, sawo tetap habis terserap di Sumbawa. Saat pameran di Agro Expo Mei 2003 di Jakarta, 300 kg yang dibawa Ni Wayan ludes dalam 2 hari. Padahal harga yang ditawarkan Rp15.000 per kg.
Biaya kuliah
Itu berarti bila seorang memiliki satu pohon di halaman rumah Rp1,2-juta mengalir ke kantongnya. Pekebun tak kesulitan memasarkan karena ada pengepul yang berkeliling ke desa-desa sentra setiap musim panen. Nun di Desa Sepakat, Kecamatan Plampang, M Thahir Baso, sanggup menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi dari hasil panen 3 pohon sawo plampang.
Ayah 5 anak itu pula yang menjadi pionir pengembangan anggota famili Sapotaceae itu di Plampang. Ia membawanya dari Kecamatan Taliwang.Dari pohon yang dimiliki, Thahir Baso memperbanyak dengan cara mencangkok, sambung pucuk, okulasi, dan susuan. Dengan bibit cangkokan buah dituai 1—2 tahun kemudian.
Lantaran istimewa, harga bibit sawo plampang mahal. Tanaman setinggi 1—1,5 m dibandrol Rp65.000—Rp75.000. Tak melulu bibit, Thahir Baso pun merintis pembuatan tabulampot. Tanaman berumur 2 tahun setinggi 1,5—2 m laris-manis dengan harga Rp100.000—Rp150.000 per pot. (Evy Syariefa)