Trubus.id-Minyak jelantah yang selama ini dianggap limbah rumah tangga, ternyata menyimpan potensi besar sebagai sumber energi terbarukan. Bila dikelola dengan baik, limbah ini dapat diolah menjadi Sustainable Aviation Fuel (SAF), bahan bakar ramah lingkungan untuk industri penerbangan.
Hal ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema Sustainable Used Cooking Oil Supply Chain for Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang digelar BRIN pada Rabu (16/4). Kegiatan ini menghadirkan para peneliti dari dalam dan luar BRIN, baik secara daring maupun luring.
Arif Rahman, peneliti postdoktoral BRIN, menekankan pentingnya produksi SAF yang berkelanjutan untuk menekan emisi gas rumah kaca. SAF juga berperan dalam mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan memperkuat ekonomi sirkular.
Menurutnya, industri penerbangan global telah menetapkan target emisi nol bersih pada 2050, yang menuntut transisi dari bahan bakar fosil ke alternatif ramah lingkungan. SAF yang berasal dari minyak jelantah menjadi salah satu solusi menjanjikan dalam pencapaian target tersebut.
Hasil analisis Life Cycle Assessment (LCA) menunjukkan bahwa pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku SAF dapat menjadi dasar ilmiah bagi kebijakan dan investasi masa depan. Teknologi ini tidak hanya mendukung pembangunan berkelanjutan, tetapi juga memperkuat daya saing energi hijau nasional.
Melansir pada laman BRIN Indonesia sebagai negara dengan populasi besar dan budaya konsumsi gorengan yang kuat, menghasilkan volume tinggi minyak jelantah dari rumah tangga dan sektor makanan. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan SAF berbasis limbah domestik.
Namun, untuk memaksimalkan potensi ini, dibutuhkan ekosistem yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, termasuk pengumpulan, pengolahan, dan distribusi minyak jelantah. Peran serta masyarakat sangat penting dalam memastikan pasokan bahan baku tetap berkelanjutan.
Matias Tumanggor dari Asosiasi Pengumpul Minyak Jelantah Indonesia (APJETI) menyoroti perlunya regulasi harga dari pemerintah. Tanpa regulasi, para pengumpul kerap menghadapi kendala di lapangan karena dianggap melakukan pelanggaran.
Sementara itu, Setiady Goenawan dari Asosiasi Eksportir Minyak Jelantah Indonesia (AEMJI) mengungkapkan bahwa minyak jelantah Indonesia telah diekspor ke berbagai negara selama 17 tahun terakhir. Kerja sama dengan lembaga internasional juga dilakukan untuk memastikan data ketertelusuran sesuai standar global.
Dengan langkah terintegrasi dan dukungan semua pihak, minyak jelantah bukan lagi sekadar limbah, tetapi energi masa depan yang bersih dan berkelanjutan. Pemanfaatannya bisa menjadi jawaban bagi tantangan transisi energi di era perubahan iklim.
Foto: Minyak memiliki potensi jika dimanfaatkan dengan baik. (Dok. Canva)