
Kedelai hitam baru yang produktif dan kaya gizi.
Asep Ruhaindi tersenyum puas saat memanen kedelai hitam pada Agustus 2014. Ia memperoleh 700 kg biji Glycine max dari lahan 3.000 m2 miliknya—setara 2,34 ton per ha. Panen-panen sebelumnya ia hanya memperoleh 545 kg per 3.000 m2 setara 1,8 ton per ha. Produktivitas meningkat 28% amat signifikan sebagai tambahan modal untuk penanaman selanjutnya.
Saat panen harga kedelai hitam di tingkat petani Rp12.500—Rp13.000 per kg. Laba bersih Asep Rp2,1-juta. Padahal pada panen-panen sebelumnya, keuntungan petani kedelai sejak 1997 itu hanya Rp1,6-juta lantaran produktivitas rendah. Menurut ayah 2 anak itu biaya produksi mencapai Rp9.500—Rp10.000 per kg. “Karena produksinya tinggi, saya meningkatkan luasan tanam musim berikutnya menjadi 0,8 ha,” ujar Asep bersemangat.

Turunan cikuray
Musabab lonjakan produksi kedelai di lahan Asep adalah varietas baru bernama mutiara 2 dan 3. Keduanya hasil pemuliaan tangan dingin para periset di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Pasarjumat, Jakarta Selatan. Para pemulia itu adalah Harry Is Mulyana, Masrizal, dan Tarmizi. Trio pemulia kedelai itu merakitnya sejak 2008. “Kedelai hitam banyak dibutuhkan masyarakat, tetapi ragam varietasnya sedikit,” ujar Masrizal.
Menurut peneliti kedelai dari Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Dr Ir Mochammad Muchlis Adie MS, produktivitas rata-rata kedelai nasional hanya 1,6 ton per hektar. “Untuk meningkatkan produktivitas kedelai, salah satu caranya adalah pemuliaan menghasilkan varietas kedelai baru yang produktif,” kata Muclish.
Para pemulia itu merakit mutiara 2 dan 3 dari tetua sojaboon—bahasa Belanda untuk kedelai hitam—varietas cikuray. “Cikuray tergolong kedelai hitam unggul dan toleran terhadap hama maupun penyakit, tetapi produktivitasnya belum maksimal,” ujar Harry Is Mulyana. Produktivitas kedelai cikuray rata-rata 1,7 ton per ha, biji kering, dan toleran karat daun dirilis pemerintah pada November 1992.
Kedelai yang namanya diambil dari nama gunung di Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu juga tinggi protein mencapai 35% dan kandungan lemaknya hanya 17%. Harry dan rekan-rekan memanfaatkan cikuray sebagai tetua dengan teknik mutasi. “Tujuannya memperoleh varietas baru yang lebih unggul,” ujar Harry. Mereka mengiradiasi inti sel cikuray menggunakan sinar gamma berdosis 200 gray.

Multilokasi
Setelah perlakuan itu, mereka menyeleksi, memurnikan, dan melakukan berbagai pengujian seperti uji daya hasil, uji adaptasi, dan uji ketahanan hama dan penyakit. Untuk melakukan rangkaian pengujian itu, Harry dan rekan menanam anak cikuray itu di 10 lokasi yang tersebar di berbagai daerah seperti Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Citayam (Bogor), Kadipaten (Majalengka), Playen (Gunung Kidul), Widasari (Indramayu), dan Plumbon (Cirebon).
“Agar daya adaptasi bagus, pengujian dilakukan di berbagai tingkat ketinggian dari 10 meter di atas permukaan laut hingga 700 meter di atas permukaan laut,” ujar Harry. Para pemulia juga menguji kedelai mutan itu pada musim kemarau dan musim hujan. Dari pengujian itu para pemulia mendapat dua galur unggul yaitu DT-17G1 dan DT-19G1-2. “Produksi tertinggi di Plumbon, Cirebon, mencapai 3,17 ton per hektar untuk DT-19G1-2 dan 3,04 ton per hektar (DT-17G1),” ujar Harry.
Padahal di tempat sama, produktivitas cikuray sebagai tetua hanya 1,92 ton per hektar. Hasil pengujian itu menunjukkan keduanya layak dilepas sebagai varietas baru dan menjadi andalan petani kedelai. Pada November 2014, Kementerian Pertanian melepas dua galur kedelai hitam unggul itu dengan nama mutiara. “Mutiara itu singkatan mutan unggul teknologi isotop dan radiasi,” ujar Tarmizi. DT-17G1 menjadi mutiara 2 dan DT-19G1-2 menjadi mutiara 3.
Mutiara 1 merupakan kedelai kuning superbesar dengan bobot 23,2 g per 100 biji. Produktivitasnya pun tinggi mencapai 2,43 ton per hektar. (Baca: Duo Kedelai Anyar: Ultragenjah dan Biji Jumbo, Trubus edisi Juli 2010). Selain produktivitas tinggi, keunggulan lain mutiara 2 dan 3 agak tahan terhadap penyakit karat daun. Menurut Muchlis Adie, jika tak dikendalikan, serangan cendawan Phakopsora pachirhyzi itu bisa menurunkan produksi hingga 80%.
“Maka varietas kedelai baru yang akan dilepas harus teruji penyakit karat daun, statusnya agak tahan hingga tahan,” ujar Muchlis. Kandungan protein mutiara 2 dan 3 juga unggul. Mutiara 2 mengandung protein sebanyak 38,4%, sementara protein mutiara 3 mencapai 38,5%. Bandingkan dengan kedelai varietas cikuray yang kandungan proteinnya hanya 35%. “Protein tinggi berarti gizi kedelai mutiara 2 dan mutiara 3 juga tinggi,” kata Harry.

Kerja sama
Harry juga memproduksi breeder seed (BS) atau benih penjenis. Benih penjenis merupakan benih sumber yang diproduksi dan dikendalikan langsung oleh pemulia yang menemukan atau diberi kewenangan untuk mengembangkan varietas itu. Benih penjenis bisa diperbanyak lagi menjadi benih dasar (BD), dari benih dasar menjadi benih pokok (BP). Dari benih pokok menjadi benih sebar atau benih komersial yang petani tanam untuk tujuan konsumsi.
Menurut alumnus Jurusan Biologi, Universitas Pakuan, itu, “Ketersediaan benih penjenis (BS) untuk masing-masing varietas lebih dari 100 kg,” ujar Harry. Rencananya dalam 5 tahun mendatang, benih akan diproduksi di sentra penanaman kedelai seperti Jember, Banyuwangi, Madiun, (ketiganya di Jawa Timur) dan Majalengka (Jawa Barat).
“Kami juga berencana menjalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti pemerintah daerah, penangkar benih binaan Batan, PT Unilever Indonesia selaku produsen kecap, berbagai perguruan tinggi, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), pesantren-pesantren, dan koperasi,” ujar Harry. (Bondan Setyawan)