Lahir di air, dewasa di angkasa. Ia penerbang ulung
Itulah capung yang bukan sekadar terbang, tetapi juga membantu menekan serangan hama dan penyakit. “Pakan capung dewasa adalah serangga yang lebih kecil seperti nyamuk dan wereng,” kata dosen di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Prof Intan Ahmad PhD. Grace M Tarjoto tahu persis peran capung dalam budidaya padi organik di lahan total 27 ha. Petani padi organik di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, itu tak pernah menyemprotkan pestisida untuk melindungi padi-padinya.
Grace mengatakan capung memangsa larva wereng sehingga ia tak pernah perlu repot mengendalikan hama dan penyakit. Menurut Nyoman Sugito, rekan Grace, tanaman tumbuh sehat, tak ada penyakit yang menyerang. Hama terkendali karena keseimbangan populasi dalam rantai makanan terjaga. Oleh karena itu, capung dijadikan sebagai pengendali hama,” kata Intan Ahmad. Seekor capung menyantap hama hingga 20% dari bobot tubuhnya per hari. Itu berarti capung menekan populasi serangga hama dan serangga penyebab penyakit seperti nyamuk.
Capung yang mahir terbang itu lahir di perairan, 6-40 hari sejak induk betina meletakkan telur. Ibu capung bergerak naik-turun sembari menempelkan perut di permukaan air. Begitulah ketika ia tengah bertelur. Menurut periset di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Pudji Aswari, capung yang memiliki ovipositor atau alat untuk meletakkan telur, biasanya bertelur di dasar lumpur yang dangkal atau jaringan tanaman air. Sekali bertelur, capung anggota ordo Anisoptera meletakkan ribuan butir, ordo Zygoptera, 100-400 butir.
Ke mana si jantan ketika betina bertelur? Tabita Makitan, anggota Indonesia Dragonfly Society yang kerap mengamati perilaku capung mengatakan, capung jarum jantan bertengger di leher (prothorax) betina dengan abdomennya. Capung pejantan lain terbang di atas betina yang sedang bertelur. “Semua itu dilakukan agar jika ada predator yang mengincar, maka capung jantanlah yang dimakan, bukan capung betina. Ia rela berkorban demi betina agar telur-telurnya nanti bisa berkembang biak dan meneruskan keturunannya,” ujar Tabita.
Keruan saja, induk betina membiarkan begitu saja ribuan telur kuning pucat yang kedua ujungnya runcing itu hingga menetas. Kasihan, begitu lahir serangga itu menjadi yatim piatu. Mereka tak pernah melihat wajah ayah-ibu. Toh, naiad atau kini-kini-sebutan untuk larva capung-itu mampu bertahan hidup, antara lain karena mampu menjulurkan bibir bawah hingga sepertiga panjang tubuh. Panjang naiad rata-rata 10-60 mm, tergantung spesies. Artinya, bibir bawah itu terjulur sampai 3-20 mm.
Pudji Asawari menggambarkan bibir bawah itu bagai sendok. Di ujung sendok terdapat spinae yang tajam mirip gigi dan pengait untuk menangkap mangsa. Naiad biasanya bersembunyi di akar tanaman atau di bawah serasah saat mengintai mangsa. Begitu mangsa di depan mata, secara cepat bibir bawah itu menjulur hingga mangsa terkejut dan tak berkutik. Serangga yang hidup sejak 280-juta tahun silam itu lantas cekatan menarik “sendok” berpengait tajam dan mengunyah mangsa.
Mangsa yang kerap menjadi santapan kini-kini antara lain berudu, kepik, jentik-jentik nyamuk, dan larva kumbang. Itulah sebabnya naiad capung turut berjasa mencegah penyakit demam berdarah dengue atau malaria. “Seekor larva capung menyantap hingga 45 jentik nyamuk setiap hari,” kata Aswari. Jika di sebuah lokasi dari 1.000 butir menetas menjadi 100 larva saja, artinya menghabiskan 4.500 jentik nyamuk sehari. Ketika tak digunakan, larva capung menyimpan sendok pengait di bawah kepala.
Namun, tak selamanya naiad memanfaatkan organ sendok ketika berburu santapan. Untuk makan malam, misalnya, larva yang memiliki kaki panjang yang direntangkan itu berburu mangsa. Satwa nokturnal itu mengetahui keberadaan mangsa dengan indera penglihatan, sentuhan, dan getaran yang ia rasakan melalui sungut. Kemampuan mendeteksi organisme buruan melalui getaran itu ia manfaatkan ketika air keruh sehingga jarak pandang terbatas.
Selama hidup di perairan, naiad mengalami 6-15 kali ganti kulit. Interval pergantian kulit itu antara 3 hari hingga 6 bulan. Aswari mengatakan ketersediaan pakan dan suhu mempengaruhi frekuensi ganti kulit. “Makin cepat perkembangan larva, makin rendah frekuensi pergantian kulit,” kata alumnus Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada itu. Suhu rendah mengakibatkan metabolisme kini-kini juga lambat. Perkembangan larva pun lambat sehingga frekuensi pergantian kulit makin kerap.
Bisa dibayangkan, betapa lamanya larva yang bernapas dengan insang itu menghabiskan waktu di perairan. Jika ia harus 6 kali ganti kulit masing-masing dengan jeda 6 bulan, maka serangga air itu memerlukan 36 bulan. Itu jauh lebih lama ketimbang umur kedua orangtua saat menjadi capung dewasa. Pantas jika para naiad itu tak pernah bersua dengan orangtua. Apalagi jika di habitat naiad ketersediaan pakan terbatas dan bersuhu rendah, frekuensi berganti kulit makin tinggi. Oleh karena itu tak ada pilihan lain: larva kian lama bertahan di air.
Proses berganti kulit itu bermula dari kegiatan memompa atau mengalirkan cairan tubuh ke dada sehingga menggembung. Akibatnya terjadi sobekan pada permukaan dorsal hingga meluas ke permukaan mata. “Melalui sobekan itulah menyebabkan larva terdorong keluar. Larva yang baru saja berganti kulit tampak putih, seperti tak berpigmen, lunak, dan elastis. Tapi beberapa jam kemudian, berangsur-angsur kulitnya kembali gelap dan keras,” kata Aswari yang puluhan tahun meneliti capung.
Pada stadium akhir, tubuh capung secara keseluruhan telah terbentuk. Ketika itulah naiad berpuasa, sama sekali tak makan. Ia meninggalkan perairan dengan merangkak ke daratan sejauh 3-7 meter dan menempelkan tubuhnya tegak lurus di batang tanaman atau batu. Dan kini saatnya kini-kini berubah menjadi capung dewasa. Inilah pergantian kulit terakhir, sebelum ia berubah penampilan setelah berpuasa. Pergantian kulit bermula dari dada, kaki-kaki mengeras sehingga mampu berpegangan. Pada saat bersamaan, cairan tubuh terpompa ke vena-vena sayap.
Menurut Suputa SP MS, ahli serangga dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, saat itu terjadi sklerotisasi terdiri atas pelebaran sayap, pengerasan anggota tubuh, dan pewarnaan tubuh. “Hormon bursikon sangat berperan dalam proses sklerotisasi,” kata Suputa. Satu atau dua jam berselang, ia bukan lagi makhluk air, kini menjadi penerbang unggul. Namun, pada spesies tertentu yang berukuran kecil, hanya perlu 30 menit usai ganti kulit terakhir untuk terbang.
Ia menanti terbit matahari pada fase transisi itu. Sinar matahari pagi ia gunakan untuk mengeringkan sayap yang lunak, mengerut, karena belum berkembang sempurna. Saat pagi, predator seperti burung juga belum begitu banyak sehingga relatif aman. Yang repot adalah ketika proses ganti kulit itu terjadi saat cuaca buruk, yakni angin kencang atau hujan turun deras. Dua hari pertama, ia belum begitu aktif, hanya terbang vertikal ke tajuk tanaman atau dekat kolam.
Setelah menjadi capung dewasa, serangga itu mampu terbang berkecepatan paling tinggi di antara serangga-serangga lain. Capung jarum, misalnya, terbang 10 km per jam. Bahkan, capung-capung Anisoptera lebih fantastis: 50 km per jam. Serangga mana yang mampu menandingi kecepatan terbang capung? Capung jarum lebih lambat terbang karena susunan otot sayap depan tak seimbang dengan sayap belakang.
Menurut Suputa, capung hidup di darat untuk berkopulasi. ”Pada umumnya serangga dapat bertelur meski tak melakukan perkawinan. Namun, capung bersifat nonpartenogenesis sehingga bila tak kawin maka telur tak akan menetas,” kata Suputa. Capung betina siap kopulasi memberi sinyal dengan terbang naik-turun, hinggap di suatu tempat. Tubuh capung matang kelamin lebih cerah untuk memikat calon pasangan.
Jika berjodoh, si jantan bakal memindahkan sel sperma dari ruas ke-10 di perut ke alat bantu kelamin di ruas ke-2. Cara pemindahan itu dengan membengkokkan ujung perut ke arah depan. Usai bertelur, selesai sudah hidup capung betina, begitu juga dengan si jantan. Umur mereka menjadi capung dewasa begitu singkat, hanya 3 pekan, atau beberapa bulan, dibanding umur larva. Mereka meregang nyawa setelah mempersiapkan generasi baru yang akan melestarikan satwa purba itu.
Apa manfaat capung bagi kita? Selain sebagai pengendali hama dan penyakit, Aswari mengatakan juga menjadi indikator ekologi. “Sebagai pemangsa sejati, dapat digunakan sebagai ukuran pencemaran suatu perairan. Tubuh larva dapat menampung racun dari mangsa yang tercemar,” kata Aswari. Banyak orang menyimpulkan capung indikator biologis untuk kualitas air, karena habitat larva capung di air. Artinya, jika di sebuah wilayah banyak terdapat capung beterbangan, dapat disimpulkan bahwa mutu air di situ relatif bagus.
Namun, menurut Intan Ahmad, “Capung kurang akurat sebagai indikator perairan bersih karena kurang sensitif.” Alumnus University of Illinois, Amerika Serikat, itu pernah menemukan larva capung di sawah yang tercemar pestisida. Untuk menentukan kualitas air dengan biota air, naiad berperan sebagai salah satu bioindikator. Beberapa jenis naiad seperti anggota famili Chlorocyphidae, Agriidae, Calopterygidae, dan Euphaeidae sensitif terhadap pencemaran. Bahkan beberapa anggota famili Aeshnidae, Gomphidae, dan Cordulegastendae sangat sensitif terhadap pencemaran. Bagi sebagian masyarakat di tanahair, capung cumber protein hewani. Masyarakat Tabanan, Provinsi Bali, menyantap capung Crochotemis servilia, Orthetrum sabina, dan Pantala falavescens. Begitu juga masyarakat Blitar, Provinsi Jawa Timur, dan Manado, Provinsi Sulawesi Utara.
Dengan kelebihan seabrek, pantas jika banyak orang menaruh hati pada dragonfly (menurut Eden Emanuel Sarot dalam Folklore of the Dragonfly: A Linguistic Approach, istilah naga terbang itu berasal dari kisah rakyat Rumania). “Saya kagum karena ternyata capung itu banyak sekali ragamnya. Yang saya tahu selama ini capung itu ya yang berwarna hijau. Capung ternyata juga punya peran penting bagi lingkungan dan keseimbangan ekosistem,” kata Tabita Makitan. Sebagai gambaran Indonesia memiliki 1.200 spesies capung; sedangkan jumlah spesies di Bumi, mencapai 5.500 jenis.
Para penggemar capung seperi Wahyu Sigit dan Bernadeta Putri membentuk Indonesia Dragonfly Society (IDS). Menurut Sigit, IDS berdiri agar, “Tercipta kelangsungan keanekaragaman hayati capung sebagai pusaka alam kita.” Mereka melakukan beragam aktivitas berkaitan dengan konservasi capung seperti mendokumentasikan melalui pemotretan, identifikasi, dan edukasi ke masyarakat. Selain itu mereka juga mengenalkan capung Indonesia ke dunia internasional, antara lain melalui International Congress of Odonatology yang akan berlangsung pada 28 Juli-2 Agustus 2012 di Odawara, Jepang. (Sardi Duryatmo/Peliput: Andari Titisari, Bondan Setyawan, & Riefza Vebriansyah)
“Pakan capung dewasa adalah serangga yang lebih kecil seperti nyamuk dan wereng. Oleh karena itu, capung sebagai pengendali hama. Capung juga penyeimbang ekosistem dan salah satu serangga penyusun rantai makanan. Kehadirannya dalam rantai makanan ikut menstabilkan ekosistem,” kata Intan Ahmad.
> Capung Euphaea variegata, saat sayap bergerak warna berubah metalik
>> Agrionoptera insignis mempunyai sepasang tanduk atau verteks di puncak kepala
^ Wilayah perairan menjadi lokasi perkembangbiakan capung
> Tubuh capung berubah cerah saat birahi
< Setelah 3-4 hari berkopulasi, betina bertelur. Capung jantan menjaga di atasnya
Capung menekan populasi hama wereng di lahan padi organic
^ Heliocypha fenestrate, capung predator, naiad hidup di dalam air memangsa jentik-jentik nyamuk
> Orthetrum pruinosum kerap hinggap di dekat bebatuan
Bernadeta Putri (kiri) dan Wahyu Sigit aktif di Indonesia Dragonfly Society
> Trithemis festiva, terdapat garis jingga di abdomen
>> Orthetrum sabina sohor sebagai capung badak
^ Tholymis tillarga aktif ketika senja tiba
< Zycomma obtusum predator bagi serangga nokturnal
<< Pudji Aswari peneliti capung di Pusat Penelitian Biologi LIPI
Sayap Libellago lineate lebih panjang daripada abdomen