Peran ganda Agus Utomo, pagi berprofesi guru Matematika, siang menjadi petani.

Trubus — Pagi hingga pukul 13.00 profesi Agus Utomo S.Pd.Si guru Matematika di sebuah madrasah di Kabupaten Jombang. Setelah itu ia melepas atribut guru dan menjadi petani. Agus menjalani profesi ganda itu sejak 2010. Alumnus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI itu menyewa lahan dan bercocok tanam. Pada 2012, misalnya, Agus menanam padi di lahan 4 hektare. Ia lupa total bobot panen, yang jelas penebas menyerahkan lebih dari Rp50 juta dan 2 ton gabah kering panen kepadanya.
Agus menyimpan gabah di gudang rumahnya. Sebagian ia giling berkala untuk konsumsi keluarga, sebagian lainnya ia jual sebagai beras konsumsi. Keberhasilan itu membuat Agus terpilih sebagai salah satu petani kunci PT Petrokimia Gresik pada Juni 2012. Agus terpilih lantaran ia melakukan pemupukan seimbang. Pemupukan berimbang mengoptimalkan produksi padi, salah satu faktor yang saat itu membuat Agus untung besar, di luar minimnya serangan hama.
Komoditas hortikultura
Jika kekurangan pupuk, pertumbuhan dan produksi tanaman terganggu. Kelebihan pupuk pun merusak tanaman dan rentan serangan penyakit. Agus memberikan 5 kuintal pupuk organik, 3 kuintal Phonska 2 kuintal Urea per ha tanaman padi. Agus menginvestasikan sebagian laba itu untuk membuat warung kelontong di serambi depan kediamannya Desa Krajan, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Sisanya untuk menanam kembali pada musim tanam berikutnya.

kepada petani di daerah lain setiap hari Minggu.
Meskipun padi terbukti memberi pendapatan puluhan juta rupiah, Agus beralih menanam komoditas hortikultura. “Kalau pas mendapat harga tinggi keuntungannya jauh lebih banyak,” kata ayah satu anak itu. Untuk itu ia tidak segan belajar dan bertanya kepada siapa saja. Salah satu tempat Agus belajar adalah sentra hortikultura di Puncu, Kediri, yang berjarak 25 km—hampir 2 jam perjalanan sepeda motor—dari rumahnya.
Setiap hari Ahad, ia menimba ilmu dari petani cabai di sana. “Terutama cara perawatan dan mengatasi serangan hama atau penyakit,” kata guru matematika di Madrasah Aliyah Darul Ulum, Bareng, Jombang itu. Sampai sekarang pun, kunjungan ke lahan petani lain untuk belajar itu masih ia lakukan. Selain cabai, ia juga mempelajari teknik budidaya terung, mentimun, kacang panjang, semangka, bawang merah, dan berbagai komoditas hortikultura lain.
Agus Utomo belajar jauh-jauh ke Kediri lantaran petani di sana berani menggelontorkan banyak uang untuk merawat tanaman. Untuk mengatasi kekurangan air pada kemarau, misalnya, petani Kediri tidak ragu membeli air dengan truk tangki air. “Belanja berbagai merek dan jenis pestisida saja bisa habis Rp25-juta per musim tanam,” kata suami Afifatul Mutoharoh itu. Sementara itu biaya benih, pupuk, tenaga kerja, dan sewa lahan belum termasuk.
Totalnya, modal menanam cabai saat kemarau mencapai Rp50 juta per musim tanam. Musim tanam berikutnya, Agus membudidayakan cabai rawit kecil di lahan 100 banon—setara 1.400 m2. Saat itulah hal-hal yang ia pelajari sebelumnya menjadi bermanfaat. Kutu daun dan trips mengintai setiap saat sehingga Agus menyemprotkan insektisida setiap 5—7 hari sejak tanaman berumur sepekan pascatanam.
Untung besar
Pada 2014, hujan kerap turun pada pagi atau tengah hari lalu matahari kembali bersinar setelahnya. Kondisi itu ideal untuk pertumbuhan berbagai cendawan patogen. Agus mengantisipasinya dengan menyemprotkan fungisida setelah hujan. “Bisa sampai 3 kali sehari saya menyemprot karena hujan turun berkali-kali,” ujar Agus. Ia mulai panen ketika tanaman berumur 3 bulan. Ketelatenan Agus terbayar ketika Gunung Kelud meletus pada 2014.
Produksi seluruh sentra hortikultura di Kediri anjlok, menyebabkan harga cabai rawit melonjak hingga Rp80.000. Sayang, Agus lupa jumlah total panen. Ia ingat persis memperoleh pendapatan Rp15 juta dari penjualan cabai. Komoditas hortikultura ia jual langsung ke pasar di Kecamatan Bareng. Harga yang fantastis membuatnya semakin bersemangat. Musim tanam setelahnya, pada 2015, ia menanam 2.500 tanaman cabai merah besar, 2.500 tomat, dan kacang panjang—benih sebanyak 1 kg.
Lahan yang ia sewa kali itu—seluas 3.300 m²—dekat sungai sehingga Agus tidak menghadapi kesulitan air. Sekitar 5—6 bulan kemudian ia panen dan mendapat Rp50 juta. Minus modal Rp10 juta untuk operasional—terbanyak untuk cabai—dan Rp7 juta untuk menyewa tanah selama setahun, ia meraup untung Rp33 juta dalam waktu setengah tahun. “Serajin-rajinnya mengajar tidak mungkin mendapat sebanyak itu,” ungkapnya.

Agus mengulang sukses itu ketika menanam cabai merah, jagung manis, dan mentimun. Penghasilan Agus dari tanaman berkisar Rp15 juta—Rp50 juta per musim tanam, tergantung harga di pasar. Trubus menyambangi kediaman Agus pada akhir Agustus 2017, saat puncak kemarau. Air menjadi masalah lantaran kebanyakan lahan di Jombang hanya mengandalkan hujan. Ia menyewa 2 lahan seluas masing-masing 1.400 m².
“Kebetulan suatu hari parit di tepi salah satu lahan tiba-tiba terisi air. Saya langsung memutuskan untuk menanam jagung manis di sana,” kata Agus. Di lahan lain ia menanam kacang panjang, yang penyiramannya mengandalkan giliran air irigasi sepekan sekali. Tanaman-tanaman itu berumur sebulan. Pengalaman dan pengetahuan membuat Agus yakin akan kembali memperoleh panen berlimpah dari tanaman-tanaman itu.
Agus dan ke-3 saudaranya akrab dengan lingkungan pertanian. Apalagi kediaman mereka di Desa Krajan, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang adalah sentra pertanian. Latar belakang itu menjadikan Agus—nomor 2 dari 4 bersaudara—dan adik bungsunya memilih bertani sebagai sandaran hidup sejak 7 tahun terakhir. Keruan saja tak selamanya Agus menuai untung. Kadang-kadang ia juga merugi seperti pada pengalaman perdana menanam padi.
Ketika itu Agus menyewa lahan 2 ha untuk menanam padi wai apoboro. Setelah 95 hari, ia panen dengan sistem tebas dan hanya mendapat pemasukan total Rp8 juta—Rp9 juta. Padahal untuk membeli benih, mengolah lahan, sarana produksi, dan tenaga kerja, ia membelanjakan Rp12 juta—Rp13 juta, di luar sewa tanah. “Praktis saya rugi,” ungkapnya. Pemicunya wereng dan tikus yang menyerang sejak padi mulai bunting.
Namun, ia tidak kapok. Musim tanam berikutnya Agus Utomo justru memperluas penanaman, tetapi di lahan berbeda. Keputusan menyewa lahan di lokasi berbeda itu tepat. Lahan yang ia sewa sebelumnya itu memang menjadi sarang tikus. “Sampai sekarang sawah di sana gagal panen terus karena berbagai sebab, tapi paling sering gara-gara tikus dan wereng,” kata Agus. Dari kegagalan itu ia belajar beragribisnis dan bertahan hingga kini. (Argohartono Arie Raharjo)