
Teknologi baru untuk meningkatkan produksi lele.
Jumlah produksi lele di tanahair paling tinggi dibandingkan produksi ikan air tawar lain. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan jumlah produksi lele pada 2012 mencapai 433.312 ton. Sementara peringkat kedua dan ketiga adalah nila dan patin dengan jumlah produksi masing-masing 360.496 ton dan 212.519 ton. Tingginya produksi seiring dengan tingginya tingkat konsumsi.
Itu berarti lele juga menjadi ikan air tawar yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Ketua umum Jaringan Komunitas Masyarakat Peduli Perikanan (JKMPP), Sumadi SP, mengatakan perkembangan lele di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, “Pada 2004 tak satu pun warga di sana tertarik membudidayakan lele.” Mereka khawatir memelihara lele akan menimbulkan bau tak sedap sehingga mengganggu warga sekitar.

Inovasi
Kekhawatiran masyarakat berubah ketika Sumadi gencar memberi pelatihan gratis budidaya lele dengan ramuan organik pada 2010. Setelah membuat kolam percontohan di berbagai daerah, masyarakat mafhum ada bakteri pengurai sehingga bau tak sedap dari kotoran lele dan sisa pakan yang tidak termakan tak lagi tercium.
“Sejak itu jumlah peternak lele terus bertambah. Kini di setiap kecamatan di Kabupaten Kuningan pasti ada peternak lele,” ujar pria 49 tahun itu. Dari waktu ke waktu teknologi budidaya lele terus mengalami kemajuan. Kini berkembang pemanfaatan mikroorganisme untuk mengoptimalkan pertumbuhan lele.
Peternak di Desa Sukamulya, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Ali Shidqi Fathan, menerapkan teknologi itu dengan membuat ramuan organik sendiri. Pakan alami itu untuk mengundang mikoorganisme pengurai bahan organik dan merangsang pertumbuhan pakan alami bagi lele (baca “Hemat Pakan Lele 50%” halaman 18). Inovasi baru lainnya yang spektakuler adalah padat tebar tinggi.

Para periset di Sekolah Tinggi Perikanan Serang, Provinsi Banten, mengembangkan budidaya lele dengan padat tebar hingga 2.500 ekor per meter kubik. Padahla, lazimnya peternak hanya menebar 300 bibit per m3. Lonjakan hingga 700% itu amat siginfikan. Peningkatan populasi yang luar biasa itu memungkinkan karena penggunaan teknologi resirkulasi air dengan menggunakan sistem filtrasi secara biologi (baca; “Lele: Rahasia Panen Besar” halaman 12).
Menjanjikan
Menurut Sumadi perkembangan teknologi baru di dunia lele berkembang pesat seiring dengan peluang usaha yang menjanjikan. “Di Kuningan saat ini berapa pun hasil panen pasti habis dibeli pengepul,” ujar Sumadi. Ia bahkan terpaksa menolak permintaan importir dari Singapura yang meminta pasokan hingga 1-juta ekor per pekan. Para peternak baru juga kini terus bermunculan.
Abdi Halim dan Fiscer Ahmad Kaftaru di Desa Susukan, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, membudidayakan lele pada awal 2015. Di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan perusahaan swasta kedua pria itu bersama-sama membudidayakan lele di kolam 15 kolam terpal berbentuk tabung berdiameter 3 m dan tinggi 1 m.

Sebuah kolam mampu menampung 2.000 ekor lele. Mereka mengembangkan lele dengan memanfaatkan lahan kosong di area perumahan. Di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Anantha Zakaria, membudidayakan lele di 25 kolam terpal berbentuk tabung berdiameter 3 m dan tinggi 1 m. Dosen wirausaha di sebuah perguruan tinggi swasta itu mengisi setiap kolam dengan 5.000 ekor lele.
“Saya menerapkan teknik budidaya padat tebar menggunakan sistem bioflok yang ramah lingkungan,” ujarnya. Dari setiap kolam itu ia memanen 500—600 kg lele. Dengan teknologi itu tak sedikit pun kesan jorok terlihat di area kolam. Jadi, tak perlu khawatir terkena penyakit jika lele dibudidayakan dengan teknologi yang ramah lingkungan. (Imam Wiguna)