Bawang Merah
Penggunaan mulsa dan pupuk fermentasi meningkatkan produksi bawang merah hingga 10%.
Trubus — Kebun bawang merah seluas 2 hektare itu tampak istimewa. Di setiap bedengan selebar 1,2 meter tertutup mulsa berwarna hitam perak. Pemandangan di kebun milik Mudatsir itu kontras dengan kebun bawang merah kebanyakan di tanah air. Maklum kebanyakan petani menanam bawang merah tanpa mulsa. Bahkan di sentra Brebes, Provinsi Jawa Tengah, belum banyak yang menerapkannya.
Budidaya secara intensif itu menyebabkan bawang merah Allium cepa tumbuh optimal. Mudatsir memanen 15 ton per hektare atau total 30 ton. Jumlah itu meningkat 10% dari panen sebelumnya yang hanya 13,5 ton per hektare. Produktivitas bawang Mudatsir lebih besar dibandingkan dengan pekebun rata-rata yang hanya mampu memanen 10—12 ton per hektare. Data Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura menyebutkan produktivitas bawang merah nasional pada 2015 10,06 ton per hektare.
Masih untung
Mudatsir menerapkan mulsa untuk budidaya bawang merah sejak 2016. Pekebun di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, itu memperoleh ide pemakaian mulsa setelah berdiskusi dengan rekan-rekannya. Mereka ingin meminimalkan tenaga kerja. Penggunaan mulsa memangkas kebutuhan tenaga kerja karena pengendalian gulma berkurang. Kebanyakan petani tidak menggunakan mulsa karena tidak praktis dan memerlukan biaya tambahan. Padahal menurut Mudatsir penggunaan mulsa memiliki banyak keuntungan.
Kelebihan pertama, lahan tidak terkena erosi ketika musim hujan. Akibatnya unsur hara tidak banyak yang hilang. Selain itu pengendalian gulma pun lebih mudah. Sebab dengan adanya mulsa pertumbuhan gulma pun tertekan. “Kalaupun masih ada hanya sedikit dan penanganannya lebih mudah karena hanya ditarik,“ tutur alumnus Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, itu.
Selama ini petani konvensional mempekerjakan 15 orang untuk mengendalikan gulma pada budidaya bawang merah di lahan 1 hektare. Selama budidaya bawang merah hingga panen atau 60 hari, petani lazimnya 3 kali mengendalikan gulma. Di Brebes biaya tenaga kerja mencapai Rp40.000 per orang setiap hari. Dengan demikian petani menghabiskan Rp1,8 juta per ha untuk tiga kali mengontrol gulma.
Keberadaan gulma sangat menganggu pertumbuhan bawang merah. Maklum, tanaman liar itu menyerap hampir 50% unsur hara. Belum lagi kehadirannya yang dapat menjadi inang bagi hama maupun penyakit. Sebab itu pada budidaya bawang merah konvensional petani kerap melakukan pengendalian gulma hingga 3 kali selama musim tanam.
Adapun biaya pembelian mulsa mencapai Rp8 juta per hektare atau total Rp16 juta per 2 hektare. Meski ada biaya tambahan untuk pembelian dan pemasangan mulsa, tetapi perhitungan Mudatsir biaya itu masih ekonomis. Ia memanfaatkan mulsa hingga tiga kali musim tanam atau setiap musim tanam hanya memerlukan Rp2,6-juta.
Selisih antara penggunaan mulsa dan konvensional masih lebih mahal Rp800.000 per ha untuk penggunaan mulsa. Namun, ada keuntungan-keuntungan lain yang diperoleh dari penggunaan mulsa. Kenaikan produksi hingga 3 ton setara Rp42-juta, misalnya, mampu menutupi selisih biaya itu. Harga bawang merah di tingkat petani Rp14.000 per kilogram. Adapun biaya produksi Rp8.000 per kilogram sehingga petani masih untung.
Mulsa juga mencegah pupuk tercuci oleh air hujan sehingga penyerapan unsur hara oleh tanaman lebih optimal. Keuntungan lainnya, “Menjaga kelembapan tanah,” ujar Mudatsir. Karena unsur hara di dalam tanah tersedia maksimal, produksi pun meningkat. Ia menuturkan, “Dari sisi produktivitas lebih bagus, terjadi peningkatan produksi hingga 10%.”
Menurut Dr. Joko Pinilih, SP, MP, peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran, penggunaan mulsa untuk budidaya bawang merah tidak lazim. “Mulsa biasanya dipakai untuk budidaya bawang merah di dataran tinggi,” ujarnya. Joko menjelaskan budidaya bawang merah di dataran rendah tanpa mulsa hasilnya sudah cukup baik.
Namun, “Jika hasil produksi dan perhitungan ekonominya menguntungkan, kenapa tidak menggunakan mulsa?” tambah peneliti alumnus Universitas Gadjah Mada itu. Toh tidak ada aturan khusus dalam penggunaannya. Aplikasinya juga gampang, bisa di dataran rendah maupun dataran tinggi. Joko menjelaskan peran utama mulsa dalam budidaya bawang merah adalah menekan pertumbuhan gulma. Selain itu, “Mulsa juga dapat mengurangi serangan hama dan penyakit,” jelasnya.
Pupuk fermentasi
Selain memanfaatkan mulsa, Mudatsir juga memberikan pupuk organik terfermentasi pada budidaya bawang merah. “Pupuk fermentasi baik untuk pertumbuhan tanaman. Sebab mampu mengeluarkan enzim yang bermanfaat bagi tanaman,” ujarnya.
Mudatsir memfermentasikan sendiri pupuk itu. Ia menyiapkan 1 ton pupuk kandang kemudian menyemprotkan larutan mikroorganisme sebanyak 1 liter yang telah diencerkan. Kemudian ia menutup pupuk itu selama 3 pekan. Mudatsir menggunakan pupuk fermentasi itu sebagai pupuk dasar. Dosis pemberian 5 ton per hektare. Tiga hari pascapemberian pupuk ia menutup bedengan dengan mulsa plastik.
Dengan jarak antartanaman 15 cm x 15 cm terdapat 380.000 titik tanam per ha. Di setiap titik tanam ia menanam sebuah umbi bawang. Pemberian pupuk susulan berupa 200 kg NPK, 160 kg KCl, dan 150 kg Urea per hektare saat tanaman berumur 10 hari dan 25 hari. Penggunaan pupuk organik terfermentasi mampu meningkatkan produksi bawang merah.
Menurut Joko Pinilih kandungan unsur hara pada pupuk organik yang terfermentasi sudah siap diserap tanaman. Oleh karena itu, “Tidak ada proses dekomposisi lagi,” ujarnya. Bandingkan dengan pupuk tanpa terfermentasi yang masih ada proses dekomposisi sehingga penyerapan nutrisi lebih lama.
Penggunaan pupuk kandang dan larutan mikroorganisme mampu meningkatkan produksi bawang merah. Itu sejalan dengan riset Ashrafida Rahmah dari Program Studi Agroteknologi, Universitas Sumatera Utara. Ashrafida menggunakan pupuk kandang konsentrasi 0 gram, 40 gram, 80 gram, dan 120 gram per tanaman. Sementara larutan mikroorganisme 0 cc, 3,5 cc, dan 7 cc per liter.
Peneliti itu memberikan pupuk kandang sepekan sebelum tanam. Sementara pemberian larutan mikroorganisme 6 kali sejak awal penanaman sampai 6 pekan setelah tanam. Interval pemberian larutan mikroorganisme sepekan sekali. Pada akhir penelitian terbukti pemberian pupuk kandang dan larutan mikroorganisme meningkatkan produksi. Tanaman yang memperoleh 120 gram pupuk kandang dan 3,5 cc larutan mikroorganisme menghasilkan 51,72 gram umbi.
Begitu pula pada jumlah siung per sampel. Perlakuan pupuk kandang pada dosis yang sama menghasilkan 8,13 siung. Bandingkan dengan kontrol tanpa pemberikan pupuk dan larutan mikroorganisme hanya menghasilkan 14,06 gram. Jumlah siung hanya 3,27 siung.
Menurut Ashrafida larutan mikroorganisme mampu mendekomposisikan bahan organik. Hasilnya berupa asam amino, asam laktat, gula, alkohol, vitamin, protein, dan senyawa organik lain. Senyawa organik itu mampu mengikat ion-ion yang dibutuhkan tanaman. Kandungan hara di dalam tanah yang optimal menjadikan proses fisiologis dalam jaringan tanaman berjalan dengan baik. Akibatnya hasil fotosintesis ditranslokasikan ke dalam umbi. (Desi Sayyidati Rahimah)