Omzet berlimpah dari sayuran mini, pengusahaan singkat, harga fantastis.

Sebuah piring berisi beberapa potong sandwich—roti lapis—terhidang di meja. Lembaran keju kuning terselip di dalam roti putih. Di antara keju dan roti, mencuat potongan-potongan sayuran. Di piring lain, irisan telur rebus mengintip dari dalam sandwich yang berhias potongan sayuran. “Silakan mencoba,” ujar Belinda Mustika Wijaya, produsen dan peracik sayuran mikro (microfood) di Bandung, Jawa Barat.

Gigitan pertama, rasa roti segera diikuti tekstur sayuran yang renyah dan rasa khas sayuran segar. Berikutnya barulah gurih keju atau telur menyusul. Sayuran yang Belinda selipkan dalam roti itu bukan jenis yang biasa diperoleh di pasar. Sayuran itu jenis khusus, yang ia sebut microgreen. “Sayuran itu berasal dari biji yang sudah memunculkan daun pertama,” ungkap Belinda. Itu berbeda dengan kecambah alias sprout, biji yang baru bertunas tapi belum menumbuhkan daun.
Pasar terbuka
Microgreen panen 5—7 hari pascasemai. Kecambah panen lebih cepat, yaitu hari ke-2—ke-3 pascasemai. Belinda memanen dengan memotong tunas sepanjang 5—9 cm itu lalu mengemas berikut daunnya. Ia memasarkan sayuran belia itu kepada pelanggan di Jakarta, yang berasal dari kalangan juru masak atau chef, katering penyaji makanan sehat, dan konsumen rumahan. Perempuan 26 tahun itu mengemas sayuran buatannnya dalam wadah plastik transparan.
Untuk konsumen rumahan, ia membuat kombinasi berbagai macam microgreen “Racikan tidak hanya berisi microgreen, tapi ditambah sayuran biasa seperti tomat ceri atau irisan selada maupun mentimun. Jenis lain bisa ditambahkan, tergantung permintaan konsumen,” kata Belinda. Setiap wadah berisi 50—70 gram microgreen ia jual Rp17.000—Rp38.500, tergantung jenis. Harga termurah microgreen cepat tumbuh seperti mustard cress, Rp17.000 per wadah.

Sementara yang tumbuh lebih lambat atau lebih mahal harga benihnya ia jual lebih mahal. Jenis red amaranth yang benihnya paling mahal ia jual dengan harga tertinggi. Pembeli tidak keberatan dengan harga yang Belinda tetapkan. Buktinya, pesanan terus mengalir. Sejak memproduksi sayuran mikro dengan mengibarkan label Microfood Indonesia pada April—Mei 2016, Belinda langsung mendapatkan pelanggan.
Padahal bungsu dari 2 bersaudara itu tidak melakukan promosi besar-besaran. Ia hanya memperkenalkan produknya secara daring (online) dan dari mulut ke mulut. Cara itu efektif. Produksinya saat ini 28—30 baki semai (seedling tray) per pekan setara 112—120 baki per bulan. Setiap baki semai 40 cm x 80 cm bisa mengisi 6 wadah plastik transparan berukuran 25 cm x 25 cm setinggi 7 cm.
Belinda menjual setiap wadah dengan harga minimal Rp17.000 sehingga setiap bulan omzet yang ia raih paling sedikit Rp11,4-juta. Produksi sebanyak itu belum cukup. “Panen tidak setiap hari sehingga permintaan di luar masa panen tidak terlayani,” ujarnya. Itu belum termasuk permintaan dari gerai pasar modern eksklusif di Jakarta Selatan. Itu sebabnya Belinda membangun 2 rumah tanam di belakang kantornya di daerah Setiabudi, Bandung.
Sayuran eksotis

Setiap rumah tanam berkapasitas 600 baki sehingga kelak ia mampu memproduksi 1.200 baki setiap kali menyemai. Ia berencana melakukan penyemaian bergilir agar setiap hari bisa memanen 40 baki semai. Rencana itu ia targetkan terwujud tahun 2017. Microgreen yang Belinda produksi sebagian besar jenis sayuran eksotis seperti kale, bit merah, lobak merah dan ungu, amarantus merah, swisschard, peashoot, dan aragula.
Sementara jenis yang bisa diperoleh di tanahair adalah bunga matahari. Meski kebanyakan panen dalam 5—7 hari, ada jenis yang memerlukan waktu lebih lama. Contohnya peashoot dan bunga matahari memerlukan waktu 9—14 hari sejak semai hingga panen. Sementara bit merah lebih lama lagi, 3—4 minggu pascasemai. Belinda memilih jenis-jenis itu lantaran sudah lazim dibuat microfood di mancanegara.
Sejatinya ia ingin membuat microfood dari sayuran lokal seperti kangkung, peria, bawang merah, atau bayam. Masalahnya, “Karakter citarasanya belum ketahuan, apalagi mempertimbangkan selera pasar,” kata Belinda. Persoalan lain, khasiat maupun efek konsumsi jangka panjang sayuran-sayuran lokal kalau dibuat microgreen juga tidak diketahui. Belinda mencontohkan efek konsumsi kangkung yang dianggap memicu kambuhnya penderita asam urat.

Ia memang menerapkan standar tinggi dalam produksi microgreen. Benih sayuran ia datangkan dari Australia, yang ia yakini standar keamanan pangan dan kebersihannya terjamin.
Penyemaian pun secara organik, sayuran yang ia tambahkan untuk membuat racikan pun hasil budidaya organik. Belinda menyemai di media tanam serbuk sabut kelapa lalu pekerjanya menyiram dengan pengabutan 3 kali sehari, pukul 09.00, 12.00, dan 17.00. Ia menambahkan pupuk organik cair dalam air untuk penyiraman tengah hari. Menurut penggagas konsumsi microgreen, Eka Jusup, sayuran itu bisa dinikmati segar maupun ditumis.
Biasanya Eka menumis sejenak sayuran mini itu dengan sedikit minyak zaitun. Sebelum warnanya berubah, ia mematikan api, menuangkan microgreen ke piring, lalu menghidangkan. Jika menambahkan microgreen dalam roti lapis seperti yang Eka hidangkan kepada Trubus, ia menambahkan keju atau telur untuk memperhalus rasa sayurnya.
Citarasa khas

Sejatinya setiap jenis microfood produksi Belinda mempunyai rasa khas. Sebut saja mustard cress yang membangkitkan rasa agak pedas—mirip, tapi tidak sekuat lada—ketika digigit. Bit merah memberikan rasa manis khas dengan aroma segar mirip tanah kering tertimpa hujan. Sementara rasa microfood bunga matahari gurih mirip kuaci biji bunga matahari tapi plus sensasi sejuk dalam rongga mulut.
Itu sebabnya, “Microfood juga bisa menjadi penambah citarasa,” kata Belinda. Menurut alumnus program Master Business Science di Regent University, London, Inggris, itu microfood produksinya menjadi andalan Chandra Yudasswara, seorang juru masak yang kerap membawakan acara kuliner di stasiun televisi nasional. Kepada Belinda, sang selebritas mengaku kesulitan memperoleh microfood segar di tanahair yang bisa ia gunakan untuk kreasi kulinernya.
Belinda lantas menyodorkan microfood hasil semaiannya. Tidak perlu waktu lama, Chandra menjadi pembeli rutin microfood ala Kota Bandung itu. Produksi microfood menjadi pilihan Belinda setelah ayahnya, David Wijaya, terdiagnosis menderita gangguan fungsi jantung akibat gangguan kelenjar tiroid. Eka Jusup, istri David, menganjurkan sang suami mengonsumsi microfood. Beberapa bulan sejak rutin mengonsumsi microfood, wiraswastawan itu pulih. “Dokter sampai heran melihat kondisi suami saya, terutama pemulihannya yang terbilang cepat,” ungkap Eka.

Mengutip berbagai riset di mancanegara, Belinda menyatakan bahwa microfood kaya zat bermanfaat seperti betakaroten, lutein, dan berbagai jenis protein serta vitamin. Setelah melihat sendiri khasiat microfood, Eka lantas menganjurkan putri bungsunya itu menekuni komoditas yang langka di tanahair itu.
Menurut Soeparwan Soeleman, produsen kecambah dan microgreen famO dan FAM Organic di Bandung, tantangan utama pengembangan microgreen di tanahair ada 2. Pertama, ketersediaan benih. “Microgreen harus menggunakan benih tanpa coating atau untreated karena dikonsumsi di umur sangat muda,” kata pria 58 tahun itu. Padahal benih tanaman di toko-toko pertanian hampir seluruhnya terlindung lapisan antihama dan antifungi.
Sudah begitu, konsumennya terbatas lantaran tidak banyak orang tahu keberadaan microgreen. Akibatnya pasar sepertinya terbatas. Padahal kalau orang sudah tahu, mereka akan berebut mencari. “Dulu tidak ada orang makan selada atau brokoli sehingga di pasar tidak ada yang menjual. Begitu ada yang mencari, pasar pun mengikuti,” ungkap alumnus Institut Teknologi Bandung itu.

“Kuliahnya sudah di tempat jauh, sekarang dia harus menerapkan ilmunya di sini,” kata perempuan berusia 53 tahun itu. Belinda langsung membuktikan kalibernya. Sebelum memulai produksi, ia menjajaki pasar melalui media sosial dan dunia maya. Wajar saja begitu mulai produksi, ia sama sekali tidak kesulitan memasarkan dan langsung memperoleh pembeli.
Menurut Ir Kunto Herwibowo, praktikus sayuran dan herbal eksotis di Pondokcabe, Tangerang Selatan, peluang membudidayakan microfood terbuka lebar. Hanya saja, “Kendala utamanya tidak banyak orang yang kenal komoditas itu,” ungkap pelopor hidroponik tanpa atap itu. Ia merasakan sulitnya membuka jalan memasarkan selada-selada merah seperti lollo rossa, monday, atau batavia. Jika mampu membuka pasar seperti yang dilakukan Belinda, omzet belasan juta per bulan pun terbentang di depan mata. (Argohartono Arie Raharjo)