Saturday, December 9, 2023

Penyapu Cantik Panjang Umurnya

Rekomendasi
- Advertisement -

Seminggu lamanya kolektor sapu-sapu di Cinere, Jakarta Selatan, itu mencari tahusebab musabab kematian klangenan itu. Rupanya sapu-sapu bertubuh biru dengan guratan hitammemanjang itu menderita karena tertular Corydoras yang tidak dibersihkan sebelum masuk akuarium.

Bencana 2 tahun silam itu begitu membekas di hati pilot sebuah maskapai penerbangan nasional hingga kini. Maklum pencabut nyawa itu hadir dalam hitungan jam. “Paginya Corydoras masuk, sorenya sapu-sapu mati,” kenang penerbang rute Bali- Lombok-Kupang itu.

Memilih Corydoras sebagai kawan sapu-sapu di akuarium sebetulnya sudah tepat. “Sapu-sapu itu hidup di bawah. Biar di tengah-tengah akuarium tidak kosong biasanya dicemplungkan ikan lain. Corydoras paling umum dihadirkan oleh hobiis di mancanegara.

“Selain cantik dan sekerabat, ia tidak berkompetisi dengan sapu-sapu,” ujar Herman Oei, importir sapu-sapu hias di Tangerang. Sayang, Rusli tidak mengarantina Corydoras terlebih dahulu. Akibatnya bibit penyakit yang terbawa membuat penyapu cantik itu meregang nyawa.

Kesadahan bervariasi

Asalkan rambu-rambu pemeliharaan dipatuhi, umur panjang jadi jaminan. Semua jenis sapu-sapu menginginkan suhu air pada kisaran 220C—250C. Suhu terlalu dingin atau kelewat panas berakibat terganggunya proses metabolisme tubuh. Pertumbuhan pun terhambat. Sementara pH air rata-rata berkisar 6,5—7,2.

Faktor penting lain, kesadahan, sangat bervariasi tergantung jenis ikan.Hypancitrus zebra, Baryancitrus sp,  dan Rineloricaria sp menyukai kondisi air yang soft, sekitar 2—4. Jenis scarlet, Pseudacanthicus sp dan leopard Pseudacanthicus leopardus nyaman pada kesadahan medium, sekitar 4—8. “Khusus keluarga pleco, Panaque sp suka kesadahan tinggi sekitar 8—16,” ujar Herman.

Inilah yang kerap diabaikan hobiis. Sapu-sapu yang seharusnya hidup pada kesadahan rendah dimasukkan ke air berkesadahan sedang. Memang ikan tetap hidup, tapi pertumbuhan tubuh mandek. Baryancitrus sp misalnya pada kondisi yang pas bisa bertambah panjang 2—3 cm selama 4—5 bulan. Namun, saat dipindah ke kesadahan lebih tinggi, untuk bertambah 0,5 cm saja sulit sekali.

Suka bersembunyi

Sapu-sapu menyukai suasana agak gelap dan tersembunyi. Untuk itu perlu akuarium yang sesuai, tak perlu besar cukup berukuran 120 cm x 60 cm x 50 cm dengan ketebalan kaca 5—8 mm. Kurang dari ukuran itu bisa dipakai asalkan disesuaikan dengan ukuran dan populasi. Setidaknya untuk ukuran 120 cm x 60 cm x 50 cm cukup menampung 5—6 tiger pleco. Peckoltia sp, dengan panjang tubuh 10—15 cm.

Akuarium perlu diberi batu gravel berukuran 3—5 mm setinggi 5 cm sebagai tempat berdiam diri. Usahakan supaya gravel porous. Tujuannya agar ia bisa menyedot sisa pakan dan kotoran ke dasar yang terhubung dengan filter penyaring. “Yang paling bagus sebetulnya pasir malang hitam,” ujar Herman.

Namun sebaiknya penggunaan gravel mempertimbangkan corak sang klangenan. Hindari pemakaian gravel yang warnanya senada dengan sapu-sapu. Kayu dan tanaman air dapat melengkapi isi akuarium.

Kayu berguna sebagai tempat bersembunyi dan rumah tinggal. Fungsi kayu dapat digantikan dengan genteng segitiga. Bahkan dengan genteng populasi ikan bisa lebih banyak lantaran dapat dibuat bersusun ke atas mirip kondominium. Tanaman air lebih bermanfaat sebagai pakan karena sebagian besar keluarga sapu-sapu bersifat herbivora.

Anggota keluarga Loricariidaeitu tidak neko-neko soal pakan. Yang cukup baik diberikan adalah bloodworm. Yang lain pakan kaya protein berbentuk tablet yang diproduksi khusus untuk perkembangan sapu-sapu. Jenis pakan seperti ini biasanya perlu diimpor. Dosis diberikan sesuai ukuran ikan, biasanya 2 kali sehari. Maklum sapu-sapu rakus, sehingga ia perlu menjalani diet. Pakan berlebih mengakibatkan perut buncit dan kulit pecah-pecah.

Beruntung keluarga sapu-sapu dikaruniai sedikit penyakit. Paling-paling hanya cendawan yang menyerang kulit lantaran kondisi air jelek. Jika terjadi, karantina ikan sakit dan kuras akuarium memakai bayklin dosis 1 tutup botol untuk 10—20 liter air. “Diamkan selama 2—3 jam setelah itu akuarium dibilas lagi dengan air bersih,” tutur Herman. (Dian Adijaya S)

Rumah Udang untuk 8.000 Lou Han

Belasan bak semen 5 m x 3 m berkedalaman 1—2 m itu tidak lagi menampung benih udang windu. Sejak 2002 Nanang Nugroho memanfaatkannya sebagai kolam lou han. Di sanalah ia mencampakan keletihan di tengah kesibukan sebagai pengusaha benih udang. Gerakan menawan lou han berenang sebuah keindahan yang mengenyahkan stresnya.

Senja semakin tenggelam di ufuk barat. Seusai menjamu relasi bisnis, Nanang Nugroho melemparkan segenggam bloodworm dari ember ke dalam sebuah bak. Bunyi kecipak sayup-sayup terdengar saat puluhan lou han rainbow saling berebut pakan. Puas memberi pakan, kakinya melangkah lebih jauh ke dalam. Disinari lampu neon yang menyala terang, Nanang memberi masing-masing 3—4 genggam tangan bloodworm ke bak lain.

“Senang rasanya melihat mereka berebut pakan. Lumayan bisa menghilangkan stres,” ujar alumnus Teknik Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya itu. Selesai memberi pakan, Nanang biasanya mengitari kembali bak-bak itu 2—3 kali lagi. Tujuannya mengecek aerasi sekaligus melihat kondisi lou han.

Acara itu dapat berlangsung sampai larut malam. Sebelum mobil kijang keluaran terbaru menemani pulang, ia selalu menyempatkan diri duduk sambil bermain-main dengan belasan lou han koleksi di ruang tengah kantor. Ikan-ikan itu ditaruh di akuarium 80 cm x 60 cm x 50 cm. Kegiatan itu sebagai hiburan disela-sela kesibukannya sebagai produsen  benur vannamei. Produksi benih windu dihentikan dan ia beralih ke vannamei.

Ikan koleksi itu pilihan dari sekian ribu lou han yang dipelihara. Beberapa dari ikan itu menraih gelar terbaik di berbagai kontes lokal. Sebut saja cinhua peraih juara ke-1 di Kontes Lou Han Probolinggo pada Agustus 2003. Meski nongnongnya tak terlalu besar, ia memiliki corak menawan dan tubuh proporsional. Ada juga cencu peraih juara di The First Lou Han Contest di Jember pada Juni 2003.

8.000 ekor

Kelahiran Banjarmasin 45 tahun silam itu jatuh cinta pada lou han gara-gara relasi bisnis di Medan memberinya 50 coronation link berukuran 5 cm pada Febuari 2001. “Sampai dibawa ke Situbondo, saya belum begitu tertarik pada lou han. Mereka hanya disatukan di satu akuarium,” ujarnya. Memang saat kecil keindahan coronation link belum tampak jelas. Namun, 3 bulan kemudian, saat ikan hoki itu memunculkan kecantikannya, ia menempatkannya di akuarium secara soliter.

Saking senangnya , setiap relasi bisnis yang datang selalu diajaknya melihat. Beberapa teman tertarik ingin memiliki. “Biasanya saya berikan saja, toh yang lain masih banyak,” tutur ayah 3 putra itu. Namun, karena keseringan memberi, jumlah koleksi terus menyusut hingga tersisa 5 ekor.

Kecintaan yang tumbuh itu membuat Nanang—panggilan akrabnya—berani membeli lou han. Seorang kawan di Batam dikontak untuk mencari lou han di negeri moyangnya, Malaysia. Untuk keperluan itu Rp500-juta keluar dari kantongnya. “Saya beli cencu yang kecil sampai 7.000 ekor,” ucap Nanang. Ia memilih yang berukuran kecil lantaran senang mengamati lou han dari waktu ke waktu.

Untuk menampung seluruh ikan-ikan itu, belasan bak penetasan udang bekas benur windu dikosongkan. Total ada 15 bak yang dipakai. Ketika ikan-ikan beranjak besar, pria yang juga hobi maskoki itu mulai menyeleksinya. “Lou han berkualitas bagus ditempatkan dalam akuarium khusus, tapi jumlahnya tak sampai 5%,” ujarnya.

Tren lou han yang bergerak cepat memaksa sulung dari 3 bersaudara mengucurkan fulus lagi. Saat tren cinhua, setidaknya Rp400-juta digelontorkan. Dengan uang sebanyak itu sekitar 1.000 cinhua berukuran 5—10 cm kembali menambah isi bakbaknya. Total jenderal sampai Desember 2003, Nanang memiliki 8.000 lou han.

Bermutu

Untuk membiayai hidup ribuan lou han itu, Nanang bekerjasama dengan beberapa pencari cacing di sekitar Situbondo. Untuk biaya pakan setiap hari ayah 2 putra itu menyediakan dana Rp350.000. “Sekarang pemberian pakan mulai agak dikurangi,” ucap penggemar sepak bola itu. Maklum selain harga bloodworm semakin mahal, bila dituruti ikan yang kini menginjak dewasa itu maunya makan terus.

Sekarang ia mengerem pembelian lou han bukan karena sudah bosan. Nanang kini lebih mengutamakan kualitas, yang ternyata sulit didapat sekarang.

“Kemarin dapat yang jenis rainbow, tapi masih kecil,” ujar pria murah senyum itu yang masih setia memelihara sang ikan hoki itu. (Dian Adijaya S)

 

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Berkah dari Gunung Berapi

Trubus.id— Letusan gunung merapi kerap dianggap sebagai bencana bagi sebagian orang karena meninggalkan kerusakan fisik maupun korban jiwa. Namun,...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img