Trubus.id — Muhammad Muhaimin kewalahan untuk memenuhi permintaan ubi jalar yang tinggi. Bahkan, Muhaimin sampai menolak permintaan rutin 59 ton ubi jalar per bulan karena sulit mencari pasokan.
Petani di Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu menyebutkan mencari ubi jalar bukan hal mudah. Untuk memenuhi permintaan pabrik di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan, yang keduanya di Provinsi Jawa Barat, Muhaimin mencari pasokan ubi jalar hingga ke Kabupaten Wonosobo.
Padahal, syaratnya relatif mudah, bobot minimal 2 kg, diameter 4 cm. Syarat lain, ubi jalar berkulit krem dan berdaging putih. Contohnya, ubi ace. Ia hanya sanggup memenuhi 8 ton per bulan.
Harga jual Rp5.500 per kg. Petani ubi jalar sejak 2017 itu meraih omzet rata-rata Rp44 juta per bulan. Muhaimin mengatakan, laba bersih perniagaan ubi jalar Rp16 juta per bulan. Biaya produksi rata-rata Rp3.500 per kg.
Muhaimin juga memasok ubi jalar madu ke eksportir di Magelang dan pasar swalayan. Pasokan ubi untuk ekspor relatif kecil, hanya 1 ton per bulan. Namun, harga jual Rp Rp9.500 per kg. Artinya, ia mendapat tambahan omzet Rp9,5 juta per bulan.
Harga jual lebih mahal lantaran standar mutu juga tinggi. Perusahaan eksportir menghendaki ubi madu berkulit mulus, bobot 250–300 gram per umbi. Jadi, tidak terlalu besar dan kecil. Selain itu, umbi memanjang 13–17 cm dan berdiameter 3–4 cm.
Muhaimin mengatakan, standar mutu itu untuk kelas A. Sumber pasokan ubi jalar dari para petani mitra. Selain memasok ubi jalar dengan mutu kelas A untuk ekspor, Muhaimin juga memasok pasar swalayan, pasar tradisional dengan mutu kelas B, C, dan D.
Ubi jalar yang kerap mendapat stigma makanan kampung itu justru menjadi sumber pendapatan Muhaimin. Laba bersihnya puluhan juta rupiah per bulan. Semua hasil penjualan ubi jalar ace (8 ton), ubi jalar kelas A untuk ekspor (1 ton), ubi jalar B (2,4 ton), kelas C (8 ton), dan kelas D (4,5 ton) per bulan.
