
Pertolongan pertama untuk mengatasi berbagai gangguan kesehatan dalam kondisi darurat seperti gempa bumi dan tsunami.
Trubus — Dua pekan setelah tsunami pada 28 September 2018, dr. Prapti Utami, M.Si mengunjungi Palu, Sulawesi Tengah. Dokter alumnus Universitas Diponegoro itu merawat para korban bencana yang menderita luka ringan hingga berat serta patah tulang akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Menurut Prapti tindakan medis untuk menangani perawatan luka para korban lebih penting.

Ia berusaha menyelipkan konsultasi sekaligus edukasi herbal di tengah kegiatannya. Seorang pria usia paruh baya mengalami luka di tangannya. Perban luka seharusnya rutin diganti, tetapi terhambat karena ketersediaan tenaga dan peralatan. Prapti penyarankan untuk menggunakan daun sirih dan daun jambu biji sebagai pengganti cairan antiseptik. Harap mafhum, antiseptik di Palu dan kota sekitarnya amat langka.
Penyakit kulit
Prapti mengatakan, “Daun sirih dan daun jambu biji sudah umum digunakan sebagai antiseptik alternatif.” Ia menyarankan pengolahan herbal itu dengan menumbuk masing-masing segenggam daun jambu biji dan daun sirih kemudian merebusnya hingga mendidih. Ramuan itu, “Dapat menggantikan cairan pengompres luka,” ujar Prapti yang meresepkan herbal kepada para pasien di Palu sejak 17 Oktober 2018.
Menurut Prapti penyakit yang paling krusial adalah Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Tidur di tenda bersama korban membuat dr. Prapti merasakan betapa terancamnya kesehatan para warga. Master Gizi dari Universitas Sebelas Maret itu menuturkan untuk mengatasi ISPA, masyarakat dapat memanfaatkan campuran herbal kembang sepatu atau bunga mawar.
Untuk mengolah herbal itu, cuci bersih dan tumbuk 3 kelopak herbal lalu campurkan dengan segelas air. Dosis konsumsi cukup 250 ml dengan frekuens 3 kali sehari. Dalam memberikan penyuluhan herbal, ibu 3 anak itu melayani tanya jawab secara personal. Ia juga menyarankan penggunaan tanaman yang jelas keberadaannya di sekitar masyarakat seperti pegagan Centela asiatica, mimba Azachdirata indica, dan daun jambu biji Psidium guajava.

Manfaatnya antara lain menjaga stamina, mengobati gatal-gatal, dan mengatasi diare. Adapun tanaman kelor berfaedah untuk mengatasi alergi. Selain ISPA, gangguan kesehatan lain adalah penyakit kulit berupa gatal-gatal. Ketika obat amat terbatas, Prapti menyarankan penggunaan herbal berupa daun mimba. Untuk mengolahnya, cuci bersih segenggam daun mimba, kemudian rebus dalam 1 liter air hingga mendidih.
Rebusan daun mimba dapat digunakan untuk merendam bagian tubuh yang gatal atau menjadikannya air bilasan setelah mandi. Penyakit lain yang dominan di lokasi tsunami terutama mendekati musim hujan adalah diare. Oleh karena itu, perlu proteksi tambahan untuk meningkatkan daya tahan tubuh masyarakat. Prapti menyarankan penderita untuk mengonsumsi herbal daun jambu biji. Cukup dengan mencuci dan makan langsung 5 lembar.
Belum lagi kondisi anak-anak sakit yang penanganannya lebih sulit. “Yang paling umum biasa anak-anak terserang batuk,” kata Prapti. Dokter yang menekuni herbal dalam 17 tahun terakhir itu mengatakan, tidur di udara terbuka, embusan angin malam, dan debu sangat mengganggu sehingga memicu batuk. Ia menyarankan obat batuk sederhana seperti seduhan jeruk nipis, perasan bawang merah, atau seduhan bunga mawar dan kembang sepatu. Konsumsi herbal itu secara rutin untuk mengatasi atau mencegah batuk.

Dampak herbal
Menurut dr. Prapti masyarakat Palu antusias mengenal herbal. Mereka menanyakan khasiat tanaman, dosis, dan dampak. “Semua yang masuk ke dalam tubuh pasti ada dampaknya,” kata Prapti. Ia mencontohkan dampak herbal berupa diuretik, yakni penambahan laju pembentukan urine. Akibatnya, intensitas buang air kecil akan lebih sering. “Kondisi itu juga bisa berbahaya. Sebab, kalium keluar dari dalam tubuh melalui urine,” ujar Prapti.
Dampaknya tubuh menjadi lemas dan tidak bertenaga. Meski bermanfaat, konsumsi herbal juga tidak boleh berlebihan. Menurut dr. Prapti durasi konsumsi herbal untuk penyembuhan adalah maksimal 5 hari konsumsi berturut-turut. Lebih dari itu disarankan untuk konsultasi selanjutnya. Lain halnya bila untuk menjaga kesehatan. Cukup 2 hari sekali sudah cukup, agar efek samping yang merugikan tidak jadi menyulitkan. (Hanna Tri Puspa Borneo Hutagaol)