Harga tanaman hias air memang relatif murah. Permintaan yang menggunung menyebabkan omzet juga melambung.
Ketika mentari tenggelam, aktivitas di perusahaan Aquatic Plant Indonesia justru baru mulai. Para pekerja sibuk menyortir tanaman air yang datang dari petani mitra. Mereka lalu memotong pangkal tanaman agar berukuran seragam. Untuk jenis tanaman tertentu, para pekerja menyatukan beberapa batang tanaman, lalu membalut bagian pangkal batang dengan spons. Pekerja lantas mengikatnya dengan lempengan timah sebagai pemberat.
Pemilik perusahaan pemasok tanaman hias air, Insan Maulana, mengatakan bahwa pemberat itu agar tanaman tetap di dasar akuarium untuk aksesoris akuaskap. Ada juga tanaman yang dibalut spons dan timah, lalu ditempatkan dalam pot plastik kecil. Itulah kegiatan perusahaan ekspor di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Karyawan lain mencuci seluruh tanaman yang lolos sortir hingga benar-benar bersih dari lumpur.
Pasar ekspor
Menurut Insan jika lumpur melekat di akar, akan mengotori air saat tanaman dimasukkan ke dalam akuarium. “Lumpur juga bisa menjadi sarang bakteri dan telur siput yang menjadi hama tanaman hias air,” kata Insan Maulana. Tanaman yang sudah bersih lalu ditiriskan agar tanaman tidak terlalu basah ketika dikemas. Para karyawan lantas mengemas tanaman yang sudah tiris dalam kantong plastik transparan, lalu memasukkan ke dalam kotak stirofoam beralas es.
Jumlah tanaman dalam kemasan disesuaikan dengan permintaan para importir. Beberapa tanaman yang jumlah permintaannya banyak, seperti Cabomba sp langsung dikemas dalam kotak stirofoam. Insan lalu mengangkut tanaman itu ke bandara pada dinihari, 3—4 jam sebelum pesawat lepas landas. Insan rutin mengirim tanaman hias air untuk ekspor dua kali dalam sepekan, yaitu pada Ahad dan Selasa.
“Namun, terkadang pengiriman bisa sampai 4 kali sepekan jika permintaan sedang banyak,” tutur pemasok tanaman air sejak 1998 itu. Dalam sebulan Insan mengirim 3-juta—5-juta batang tanaman ke berbagai negara seperti negara-negara di Benua Eropa dan Jepang. Harga jual tanaman bervariasi, tergantung jenis dan pengemasan. “Untuk tanaman yang dikemas dalam pot harganya Rp2.900 per pot,” kata Insan.
Total jenderal, omzet Insan Rp100-juta per bulan. “Keuntungan bersih minimal Rp25-juta per bulan,” tutur pria yang juga perancang akuaskap itu. Nun di Karanglo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Matali juga mengekspor aneka jenis tanaman hias air ke berbagai negara seperti Jerman, Belanda, dan Jepang. “Jerman baru saja mulai. Saya juga mengekspor ke Kanada, Thailand, dan Korea, melalui eksportir ikan hias,” ujar Matali.
Menurut pemilik Golden Leaf Aquatic Farm itu Belanda tergolong paling rutin mengimpor. Mereka biasanya menyetor dana Rp20-juta—Rp70-juta per bulan. “Jumlah uang itu cukup untuk mengirimkan 4—9 kotak stirofoam tanaman, tergantung ukuran tanaman,” kata ayah 4 anak itu.
Kendala
Meski menggiurkan, sejatinya berbisnis tanaman hias air banyak aral. Menurut Insan jumlah pasokan dari perusahaannya yang mencapai 3-juta—5-juta tanaman per bulan sebetulnya masih kurang. Namun, ia sulit menambah pasokan karena budidaya tanaman air membutuhkan lahan khusus. “Air dari mata air mengandung karbondioksida tinggi,” ujar Insan. Zat asam arang itu diperlukan tanaman hias air untuk berfotosintesis.
Jumlah lahan yang berlokasi dekat dengan bandara dan di sekitarnya terdapat mataair sangat terbatas. “Kedekatan lokasi dengan bandara sangat penting karena tanaman hias air akan rusak jika pengangkutan terlalu lama,” ujarnya. Kendala pengiriman juga membuat Nurhaida Gunawan, produsen akuaskap, terpaksa menolak permintaan pasokan dari kota-kota di wilayah Indonesia bagian timur seperti di Pulau Sulawesi dan Papua.
“Kalau dikirim jarak jauh harus menyewa jasa pengiriman yang berpendingin ruang. Tapi biaya kirimnya mahal sekali,” katanya. Insan juga kesulitan memperoleh pasokan tanaman hias air yang berkualitas ekspor. Oleh sebab itu ia menyarankan agar pemerintah membentuk sentra pengembangan tanaman hias air. “Dengan adanya sentra, pemerintah bisa lebih fokus membina petani tentang teknik budidaya yang baik,” tuturnya.
Dengan begitu Indonesia bakal dikenal sebagai produsen tanaman hias air berkualitas di mancanegara. Jika beragam hambatan itu teratasi, pasar tanaman hias air terbentang. “Pasar masih luas,” ujar Matali di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Matali menuturkan permintaan untuk jenis Cabomba sp saja mencapai 1-juta batang per bulan. Jumlah itu belum terpenuhi. “Permintaan paling banyak dari Benua Eropa,” ujarnya. Harga cabomba Rp40—Rp50 per batang.
“Kalau permintaan mencapai 1-juta tanaman, omzet yang akan diperoleh bisa mencapai Rp40-juta—Rp50-juta,” kata Matali. Saat ini Insan kesulitan memperoleh pasokan karena jumlah petani mitra dan lahan yang tersedia untuk budidaya terbatas. Padahal, untuk memenuhi pasokan, selama ini Insan sudah bermitra dengan 15 petani tanaman air di seputaran Bogor. Ia juga membudidayakan aneka jenis tanaman air di lima tempat dengan luasan lahan bervariasi mulai 1.200—4.500 m2.
Tren akuaskap
Matali membudidayakan tanaman air di dalam 10.000 baskom. Menurut Insan, jenis tanaman hias air yang diminta pasar ekspor banyak sekali. “Bisa lebih dari seratus jenis,” katanya. Namun, yang paling banyak diminta adalah jenis Cabomba caroliniana, Egeria densa, Cryptocoryne sp, Echinodorus puriensis amzonicus, dan Vallisneria sp. “Pasar luar negeri juga memerlukan pasokan Anubias sp,” kata Matali.
Insan menuturkan sebetulnya ada jenis tanaman hias air endemik Pulau Kalimantan yang saat ini sangat diminati pasar mancanegara, yaitu Bucephalandra sp. Karena kelangkaannya harga tanaman hias air ini tergolong premium. “Saya pernah menjual Bucephalandra sp wave dengan harga US$500 (setara Rp5-juta jika kurs US$1 = Rp10.000, red) per tanaman,” kata Insan.
Mengapa pasar mancanegara begitu meminati tanaman hias air? Menurut Insan masyarakat di negara-negara subtropis hanya bisa menikmati keindahan tanaman pada musim semi dan panas. Pada musim gugur dan dingin tanaman biasanya meranggas dan tertutup salju. “Oleh sebab itu warga di sana memelihara tanaman dan hewan yang bisa dinikmati sepanjang masa di dalam rumah. Salah satunya akuaskap,” tuturnya.
Tanaman air salah satu aksesoris “wajib” dalam akuaskap. Kehadiran tanaman air menghadirkan suasana asri di dalam rumah meski berbalut dinding kaca akuarium. Di tanahair akuaskap sejatinya bukan hobi baru. “Hobi akuaskap cukup populer bahkan sebelum 1980-an,” kata Insan. Namun, ketika itu hobi itu kurang berkembang karena dianggap sulit perawatannya.
Menurut pemilik toko ikan hias dan tanaman hias air Aqua Zone, Lukas, tren akuaskap kembali populer pascaera 1980-an, ketika ditemukannya berbagai peralatan akuaskap, seperti gas karbondioksida dalam tabung oleh Takashi Amano, ahli akuaskap asal Jepang. “Inovasi peralatan itu mempermudah perawatan akuaskap,” ujar Lukas. Ia menuturkan tren akuaskap di tanahair kembali menggeliat pada 2010. “Pada 2014—2015 trennya makin meningkat,” tambahnya.
Petani
Kondisi itu membawa berkah bagi para pedagang aksesori akuaskap yang menjual tanaman hias air. Contohnya Amirul Mukminin di Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Sebelum menjual tanaman hias air, ia hanya meraup omzet Rp2-juta—Rp3-juta per bulan hasil penjualan akuarium dan aksesorisnya, serta ikan predator. Namun, sejak menjual tanaman hias air pada 2013, omzetnya terus naik menjadi Rp5-juta—Rp8-juta per bulan.
“Kini omzet toko saya rata-rata Rp8-juta—Rp10-juta,” tutur pemilik toko Gara-Gara Mirel Akuatik itu. Mirel—panggilan Amirul Mukminin—memperoleh pasokan tanaman air dari pembudidaya di Malang. Omzet Mirel terus meningkat seiring berkembangnya kebutuhan tanaman hias air. Mirel tidak hanya melayani pembelian dari para pehobi akuaskap, tapi juga dari para pemilik kolam koi.
Kolam koi biasanya menghendaki tanaman hias air yang dapat tumbuh rimbun, seperti Echinodorus sp. Ia membeli tanaman anggota famili Alismataceae itu, lalu merawatnya hingga terlihat rimbun, sekitar 2—4 bulan. Dengan perawatan itu harga echinodorus akan meningkat. “Saya pernah menjual E. opacus seharga Rp5-juta per tanaman yang sudah dirawat selama 2 tahun. Padahal, harga belinya hanya Rp20.000,” katanya.
Penjualan tanaman hias air turut mendongkrak omzet yang diperoleh Nurhaida Gunawan. Semula pemilik toko akuaskap dan ikan hias di Kecamatan Sawangan, Kota Depok, itu hanya menjadi grosir kura-kura brasil. Pada 2009 ia lalu beralih menjual akuaskap hasil rancangan sang suami, Edy Gunawan. “Namun, pada 2012—2013 para pehobi ternyata lebih suka merancang akuaskap sendiri daripada membeli yang sudah jadi,” kata Ida—panggilannya.
Sejak itulah ia mulai menjual tanaman hias air dan aksesoris akuaskap lain seperti akar dan ranting pohon, batu, pasir malang dan silika, karbondioksida dalam tabung, serta pupuk khusus akuaskap. Dalam sebulan Ida mampu meraup omzet hingga Rp30-juta. “Sebanyak 20—30% dari total omzet berasal dari hasil penjualan tanaman hias air,” ujarnya. Ida memperoleh pasokan tanaman hias air dari para petani di Bogor.
Beberapa jenis di antaranya ia perbanyak sendiri di dalam akuarium dan bak-bak berbahan serat kaca. Pada akhirnya pendapatan para petani tanaman hias air pun turut terdongkrak. Contohnya dialami Anen, petani tanaman hias air di Kampung Salada, Desa Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Dari kolam seluas 200 m2, ia memanen rata-rata 1.000 batang tanaman hias air seperti Cabomba sp, Egeria densa, Vallisneria spiralis torta, dan Rotala indica.
Ia menjualnya dengan harga sama, yaitu Rp100 per batang untuk harga eceran, dan Rp50—Rp75 jika membeli dalam partai besar. Menurut Anen, Kampung Salada sebetulnya sudah dikenal sebagai sentra tanaman hias air sejak 1970-an. Itu karena kondisi alam di sana sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman hias air. Di sana mengalir sungai-sungai berair jernih yang airnya bersumber dari mata air di Gunung Bunder.
Sebelumnya warga di sana memanfaatkan air berlimpah itu untuk membudidayakan selada air yang dikonsumsi sebagai lalapan segar. Itulah sebabnya kampung itu dijuluki Kampung Salada yang dalam bahasa Sunda salada berarti selada air. Ketika hobi akuaskap mulai dikenal, beberapa warga menanami sebagian kolam dengan tanaman hias air. Salah satunya Anen.
“Ketika itu ada beberapa pedagang akuarium di kawasan Jatinegara berdatangan mencari pasokan tanaman hias air,” ujarnya. Namun, saat itu tren akuaskap tidak terlalu berkembang pesat. “Mulai ramai lagi pada 2009—2010,” katanya. Kini banyak rumah warga di dekat aliran sungai membudidayakan tanaman hias air. Yusuf dan Edi Ocong, misalnya, membuat kolam-kolam kecil di halaman belakang rumah berukuran 20 m2.
Mereka menggunakan lahan itu untuk membudidayakan aneka jenis lumut. “Saya lebih memilih membudidayakan lumut karena harganya lebih mahal,” ujar Edi. Lumut itu ia ikat pada lempengan batu. Dalam dua bulan batu itu diselimuti lumut dan siap jual dengan harga Rp4.000 per lempeng. Mereka juga membudidayakan lumut yang ditempelkan pada ranting atau akar kayu. Mereka menjualnya dengan harga Rp40.000 per batang. Sepintas harga jual tanaman itu murah. Namun, karena permintaan dalam jumlah besar, maka laba pun menjulang. (Imam Wiguna/Peliput: Syah Angkasa)
Wajib Baca: Analisa Usaha Budidaya Tanaman Hias Air