Bisnis tin tengah marak, mampu bertahan hingga 2—5 tahun ke depan. Cocok untuk pemilik lahan sempit.
Pohon tin red turkey setinggi 1 meter itu tumbuh di halaman belakang rumah Wayan Sudiasa di Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Balutan 3—4 plastik yang menggembung terdapat di 3 cabang berdiameter 1 cm. Wayan mencangkok tanaman anggota famili Moraceae itu. Tiga–empat pekan kemudian ia memotong calon individu baru dan menjualnya kepada para pehobi.
Pada akhir November 2015, ia memasarkan 70 cangkokan berbagai varian, seperti lebanon, green jordan, brown turkey, red turkey, italian dark, dan purple jordan. Ia menjual sebuah bibit Rp20.000—Rp225.000, tergantung jenis. Setiap bulan ia menjual 300—500 bibit berbagai jenis per pekan. Bila harga tin rata-rata Rp75.000, omzetnya Rp5.250.000 sepekan atau Rp20-juta per bulan.
Permintaan tinggi
Wayan mengelola bisnis tin di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa keperawatan di Malang, Provinsi Jawa Timur. Saat akhir pekan ia pulang ke rumah di Mojosari. Itulah waktunya Wayan mengurus dan memasarkan tin miliknya. Pekebun tin di Mampangprapatan, Jakarta Selatan, Fauzi Effendi, melakukan hal serupa. Ia memanfaatkan halaman samping rumahnya seluas 400 m2 untuk menanam anggota famili Moraceae itu.
Setiap Jumat malam ia mengunggah foto 60—80 bibit tin seperti red turkey, taiwan golden fig, dan panache hasil panen hari itu. Fauzi mengoleksi 150-an varietas tin. Ia menjualnya Rp150.000—Rp400.000 per bibit. Jenis-jenis itu termasuk tin kelas menengah. Padahal, ia juga memiliki tin kelas atas minimal berharga Rp1-juta. Namun, Fauzi menghentikan penjualannya lantaran kewalahan melayani permintaan, sementara produksinya belum siap.
Pada Senin pagi ia menutup penjualan dan mengirim pesanan. “Kadang tersisa 3 bibit. Tapi kemudian ditanam dan dibesarkan sendiri,” kata mantan bankir selama 22 tahun itu. Bila dalam waktu 6 bulan tidak terjual, tanaman itu siap menjadi indukan dan harganya pun naik berlipat-lipat. Dari perniagaan bibit cangkok itu omzet Fauzi Rp50-juta—Rp60-juta per bulan.
Sementara biaya operasional kebun mencapai Rp10-juta per bulan, termasuk untuk menggaji 4 pekerja. Permintaan tin memang melonjak pesat 2 tahun terakhir. Para pekebun lain seperti Sulistyo Wahono di Surabaya, Hartawan Soesanto dan Ujud Rofianto (Kota Batu), Tamam Muslih dan rekan-rekan yang tergabung di Komunitas Tin dan Zaitu Jawa Timur, Wenna Avianto (Tulungagung), dan Sukardi (Nganjuk) mengalami hal serupa.
Di Yogyakarta ada Priyo Catur Pamungkas dan Khulub Satria Hadi (Yogyakarta), Ismanto dan Timotius Jongkie Gunawan (Jawa Tengah), dan Rizqy Florist, Wiyono, Wawan Item (Jawa Barat), Iqbal Fadillah dan Hadi Prayitno di Jakarta setali tiga uang. Begitu derasnya permintaan bibit tin, sehingga saat cangkokan masih di pohon pun sudah banyak yang inden. Para pemburu tin mengincar jenis panache dan rimada—buah keduanya belang putih.
Fauzi bahkan kemudian menutup pemesanan rimada hingga Maret 2016 untuk memberi kesempatan tanamannya tumbuh sehat. Namun, pehobi juga mengijon jenis lawas seperti green jordan dan purple jordan. Ujud Rofianto dan Rizqy kewalahan melayani permintaan pedagang, bahkan konsumen mereka di luar kota, yang tersebar hingga kota kecil di Papua dan Maros, Sulawesi Selatan.
Pasar mancanegara
Permintaannya pasar mancanegara seperti Malaysia dan Thailand juga gencar. Menurut Wayan pekebun di kedua negara itu meminta jenis green jordan dan purple jordan. “Di sana harga green jordan bisa 4—5 kali dari Indonesia,” kata mantan pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa di Lebanon itu. Volume permintaan mereka cukup besar. Wayan 4 kali mengirim ke Malaysia—masing-masing 300—500 setek.
Fauzi Effendi juga belasan kali mengirim setek tin ke negeri jiran itu. Sekali pengiriman mencapai 200 setek seharga Rp40.000 per bibit. Dari perniagaan dengan pekebun negeri jiran itu, omzet Fauzi Rp8-juta per pekan. Padahal ia mengirim lebih dari 10 kali, sehingga pundi-pundinya minimal terisi Rp80-juta. Yang menggembirakan berbisnis tin tidak harus di kebun.
Khulub Satria Hadi dan Wawan Item, misalnya, semula melakukannya di halaman rumah seluas 40 m2. Dari usaha yang dirintis pada 2012 itu, Khulub mampu memasok bibit tin ke 2—3 nurseri di Yogyakarta. Setiap nurseri mendapat 30—50 bibit per bulan. Kini ia memasok 50 bibit tin aneka varietas, seperti green jordan, purple jordan, brunswick, alma, dan panache ke ketiga nurseri langganannya setiap bulan.
Selain itu ia pun melakukan pemasaran secara daring atau online. Konsumen dari kalangan pehobi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, di antaranya Jambi, Banjarbaru (Kalimantan Selatan), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Setiap pekan ia melego sekitar 6 bibit seharga Rp200.000—Rp300.000 per tanaman. Total jenderal ia menjual minimal 24—30 bibit tin yang memberikan omzet minimal Rp4,8-juta. Bila dipotong ongkos produksi 20%, laba bersih minimal pemuda itu Rp3,84-juta per bulan.
Daun dan buah
Kini bisnis bibit tin memang tengah tren. Menurut Hartawan Soesanto pemain baru sangat banyak bermunculan. Namun, Wenna Avianto dan Tamam Muslih, serta anggota Komunitas Tin dan Zaitun Jawa Timur tidak terlalu merisaukan. Menurut mereka kini permintaan green jordan dan purple jordan sangat tinggi. Pada masa mendatang peminat baru menambah koleksi dengan membeli jenis baru, apalagi bila harganya sudah terjangkau.
Taman dan Wenna memperkirakan bisnis tin masih bisa bertahan 2—5 tahun ke depan. Setelah euforia mengoleksi varietas sebanyak-banyaknya mulai surut, orang akan mengarah ke penyediaan buah. Mereka pun siap menghadapinya sehingga tetap mempersiapkan diri untuk buka kebun buah. Tamam, misalnya, menanam 1.500 pohon berjarak tanam rapat 1 m x 1 m di lahan 2.000 m2. Pohon tin tumbuh subur dan mulai berbuah.
Beberapa pekebun malah lebih dahulu melirik potensi lain tin yaitu mengolah daunnya menjadi herbal. Agung Harjanto, di Kediri, Jawa Timur, mengolah daun kering dan buah. Ia memetik daun tua, menjemur selama 2 hari, kemudian mengolah menjadi produk siap celup mirip teh. Ia menjual 15 kemasan kecil itu Rp35.000. Selain teh daun tin, Agung juga mengolah buah tin menjadi selai, kismis, dan sari buah.
Agung memasarkan produknya secara daring dan menjadikan kebunnya sebagai agrowisata gratis. Namun, setiap pengunjung wajib membeli produk bikinannya. Sementara itu Wayan Sudiasa memperoleh penghasilan tambahan dengan memproduksi teh tin. Ia memanfaatkan daun cangkokan. Ia membuang daun-daun di cangkokan untuk mengurangi penguapan.
Pekebun itu mengumpulkan, mengeringannginkan selama 2 hari. Setiap bulan ia mendapat 2—5 kg daun kering. Setelah terkumpul 5—10 kg, ia menyewa jasa pabrik pengolahan teh untuk mengemas daun tin menjadi teh tin celup. Satu kg daun kering berasal dari 7 kg daun segar. Dari daun tin, Wayan mendapat pemasukan tambahan Rp350.000 per kg. Padahal setiap bulan ia mendapat 5 kg daun kering sehingga mendapat tambahan Rp1.500.000 per bulan.
Para pekebun menyadari bahwa bisnis manis bibit tin akan tiba masa surutnya. Untuk itu mereka membidik variatas-varietas yang berpotensi dikebunkan. Wayan menyebut blue giant yang prospek dikebunkan. Buahnya besar dan rasanya enak. Bila jenis baru yang ditanam, harganya tinggi yakni mencapai Rp300.000 per bibit. Harga blue giant Rp100.000 jika pembelian minimal 500 bibit.
Artinya pekebun memerlukan Rp75-juta untuk pengadaan 500 bibit. Bahkan bila dana terbatas, bisa membeli beberapa pohon induk untuk kemudian diperbanyak sendiri. Dapat pula mengikuti cara Tamam Muslih. Semula ia menanam green jordan dan purple Jordan langsung di lahan. Setelah tumbuh sehat, ia menempel tanaman itu dengan jenis istimewa yang lebih baru. Green jordan memang cocok dimanfaatkan sebagai batang bawah lantaran beradaptasi baik dengan alam Indonesia. (Syah Angkasa/Peliput: Riefza Vebriansyah).
Kendala Berniaga Ara
Sebelum mencapai kondisi laba besar, berbisnis tin penuh aral. Pekebun tin di Mampangprapatan,
Jakarta Selatan, Fauzi Effendi, pernah kehilangan 70 bibit. Pada pergantian musim kemarau ke musim hujan pada 2015 pekerja menyiram tanaman berlebihan. Akibatnya bibit-bibit tin eksklusif itu mengalami busuk akar lantaran kelebihan air.
Total kerugian Fauzi lebih dari Rp20-juta. Belum lagi kerugian akibat bibit mati akibat pengemasan kurang baik dan waktu pengiriman lama. Belum lagi pembelian bibit yang sama tetapi dengan nama berbeda. Selain itu ia pernah memesan bibit-bibit eksklusif seperti dauphine, pastiliere, dan madeleine des deux saisons. Setelah pesanan itu sampai di tangannya ia pun menanamnya.
Ternyata varietas itu tidak cocok dengan iklim Indonesia. Tiga buah varietas yang dibeli dengan harga mahal, yakni lebih dari Rp1-juta, ternyata gagal berproduksi. Buah selalu rontok sebelum matang. Fauzi menduga kerontokan buah akibat tanaman kerabat nangka itu gagal beradaptasi. Namun, bila berhasil melewati berbagai aral itu, keuntungan berniaga tin bakal semanis rasanya. (Syah Angkasa).
Wajib Baca: Analisis Usaha Pembibitan Tin