Itulah tempani, camilan khas Pulau Sumbawa. Makanan ringan itu terbuat dari tepung kacang hijau halus yang diberi gula pasir. Lantas setelah diuleni dengan air secukupnya, dibentuk menggunakan cetakan berukuran 1,5 cm x 1,5 cm atau 2 cm x 2 cm. Adonan dianginanginkan hingga kering, baru dilepaskan dari cetakan. Setelah jadi, bentuk dan rasanya mengingatkan pada kue satu—camilan yang dikenal anak-anak kecil di Jawa.
Namun, tepung kacang hijau yang dipakai untuk membuat tempani bukan sembarang. Itu mestinya didapat dari bulir kacang hijau sampeong yang sudah ditumbuk halus. Tepung Phaseolus radiatus sampeong itu pula yang dipakai untuk membuat kue kering berbungkus daun lontar yang beraroma harum.
Di kesempatan lain, bulir sampeong berubah menjadi taoge. Ini sebenarnya yang paling banyak dilakukan. Setelah menjadi kecambah, sampeong menambah citarasa plecing kangkung menjadi lebih sedap. Pun soto babat, tahu isi, bakso, dan pecel. Maklum taoge sampeong bernas, padat, dan terasa renyah.
Genjah
Buat penduduk Pulau Sumbawa, kacang hijau sampeong memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Anggota famili Fabaceae itu bukan sekadar teman bersantap makan. Menanam kabu—bahasa Bima untuk kacang hijau—menjadi salah satu sumber mata pencarian mereka.
Saat ini luas panen di sana—terutama Kabupaten Sumbawa, sentra terbesar—selama 5 tahun terakhir rata-rata mencapai 28.831 ha. Total produksi 16.967 ton. Jumlah itu masih dapat ditingkatkan karena kabupaten beribukota Sumbawa Besar itu masih memiliki potensi lahan kering seluas 119.000 ha yang cocok ditanami kacang hijau.
Bukan tanpa alasan penduduk setempat membudidayakan antap ijo—bahasa Sasak—sampeong. Kerabat buncis itu punya sejumlah keunggulan. Ia cocok ditanam di lahan kering dan lahan basah. Itu sudah dibuktikan Ir Ahmad Sarjana, MM, kepala Balai Pengawasan dan Sertifi kasi Benih Nusa Temggara Barat, salah satu pengusul pelepasan varietas sampeong.
Kacang hijau sampeong ditanam di 16 kecamatan di Kabupaten Sumbawa pada 2 musim tanam: kemarau dan h u j a n . Dalam pengujian digunakan 3 v a r i e t a s pembanding. Hasilnya, sampeong relatif tahan kekeringan. Cukup mendapatkan 2 bulan basah, tanaman tumbuh subur dan berproduksi baik. Hama dan penyakit relatif tidak menjadi kendala.
Kacang wilis—sebutan di Bali—itu berumur genjah. Sampeong dipanen pada umur 35—55 hari setelah tanam. Varietas lain lazimnya 58—65 hari. Dengan perawatan intensif produksi mencapai 1 ton per ha. Polong masak serempak dan tahan simpan dengan kadar air 8—9%. Bila disimpan sebagai benih, hingga 1 tahun masih layak tanam.
750 ton/bulan
Ukuran biji relatif kecil dan bernas. Bila dibuat menjadi taoge, menghasilkan kecambah pendek-pendek dan padat. Ia pun tak cepat layu dan mengerut. Kecambah sampeong tahan simpan hingga 1 minggu. Jenis lain baru 1—2 hari sudah layu. Dengan kandungan tepung cukup banyak, ia cocok diolah menjadi bubur.
Pantas dengan berbagai kelebihan itu, permintaan pasar tak hanya datang dari pulau-pulau di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Menurut Ir H Agil Husein, MSc, kepala Dinas Pertanian NTB, sejak setahun silam, pengusaha di Jakarta meminta pasokan 750 ton per bulan. Konon, kualitas kacang hijau sampeong hanya kalah dibanding jenis asal impor yang banyak beredar di pasar. Sayang, sampai kini permintaan itu baru terpenuhi 200 ton. Itu belum termasuk untuk memenuhi permintaan pasar “lokal” Lombok dan Bali.
Untuk menggenjot produksi, kini sedang diupayakan penanaman ke lahanlahan tegalan dan sawah yang potensial. Di Sumbawa, penanaman kacang hijau sampeong memang dibagi menjadi 2 lokasi. Penanaman di tegalan berlangsung pada musim hujan selama Desember—Februari, di lahan sawah pada kemarau selama Juni—September.
Burung sampeong
Tanaman asal India itu sudah lama dibudidayakan di Sumbawa. Menurut cerita para sesepuh, konon pedagang-pedagang dari Tionghoa yang memperkenalkan mungbean itu pada penduduk setempat. Diperkirakan sejak 1939 kacang hijau mulai ditanam di sana. Penanaman tersebar di Kecamatan Sumbawa, Moyohulu, Moyohilir, Lapelompok, dan Plampang.
Semula ia dikenal dengan nama kacang hijau samsik. Menurut penduduk setempat nama itu merupakan akronim dari sam dan sik yang artinya tiga warna (sam=tiga, sik=warna, red). Itu merujuk warna bulu burung mungil khas Sumbawa—sampeong. Burung itu berpenampilan cantik dengan kombinasi bulu hitam kecokelatan dan hijau mengkilap. Kicauannya indah dan lincah bergerak. Belakangan nama kacang hijau sampeong-lah yang dipakai setelah resmi dilepas sebagai varietas unggul nasional pada 2003.
Kini si burung kecil itu tengah lincah bergerak menembus pasar-pasar baru hingga ke Jakarta. Nah, jika suatu saat Anda membeli bulir-bulir kacang hijau, ingat saja. Mungkin itu sampoeng andalan Sumbawa. (Wardi, SP, staf Balai Pengawasan dan Sertifi kasi Benih NTB)
Moyashi Khas Negeri Sakura
Bangkit selera begitu sepiring stir fried beansprout terhidang. Di atas piring oval itu moyashi alias tauge jepang mendominasi di antara irisan paprika dan daging ikan. Ketika dikunyah, …kres tauge raksasa itu amat renyah. Disebut raksasa lantaran sosoknya cukup besar—panjang minimal 5 cm. Diameter batang relatif besar ketimbang tauge lokal. Selain itu kelebihan lain adalah tahan simpan hingga 3 hari dalam lemari es.
Selama penyimpanan warna, tekstur, dan rasa tak berubah. Itulah moyashi produksi Krisnawan—yang bersangkutan enggan disebut namanya. Sayuran itu kini mudah ditemukan di berbagai pasar swalayan di Jakarta dan sekitarnya seperti Cosmo, Diamond, Giant, Hero, dan Matahari. Popularitasnya melonjak ketika banjir bandang melanda Jakarta 3 tahun lampau.
Saat itu praktis tak ada pemasok sayuran yang mampu mengirimkan dagangannya ke pasar swalayan karena banyak yang rusak di lahan. Namun, Krisnawan tetap mampu mengirimkan tauge nipon ke berbagai pasar swalayan.
Mataair
Setiap hari ayah 2 anak itu memproduksi ratusan kilo tauge. Bahan baku berupa kacang hijau impor dari Jepang. Kacang hijau lokal sebetulnya dapat dimanfaatkan, sayang mutunya kalah ketimbang Phaseolus radiatus dari negeri Matahari Terbit. ”Dari 100 kg kacang hijau lokal paling yang dapat digunakan 80 kg,” ujar Krisnawan. Ia tergerak berbisnis tauge lantaran tertarik kisah temannya di Singapura. Dengan penduduk 3-juta jiwa, negeri Tumasik itu menyerap 10 ton tauge moyashi per hari.
Agar kualitas seragam, kacang hijau disortir dengan mesin. Yang lolos sortir kemudian dimasukkan ke dalam tempayan yang permukaan bawahnya terdapat banyak lubang. Setiap 3 jam Krisnawan menyiram biji kacang hijau hingga 4 hari lamanya. Bandingkan dengan pembuatan tauge lokal yang hanya 2 hari. Setelah itu tudung alias kulit biji dipisahkan dari lembaga—bakal daun. Akar juga dibuang hingga konsumen tak perlu repot membersihkannya. Untuk menghasilkan tauge moyashi bermutu, Krisnawan membutuhkan waktu 6 bulan. Ia beberapa kali mengganti air dan sistem. Beberapa kali hasilnya malah busuk. Cara yang selama digunakan, alumnus sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta itu memanfaatkan air mataair. Air itu mengalami 4 perlakuan seperti pengendapan dan penyaringan hingga diperoleh
air yang betul-betul bersih dan jernih. Hasilnya pun memuaskan. (Sardi Duryatmo)