Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Pertanian 2015, jumlah produksi daging sapi nasional mencapai 523.920 ton per tahun. Sementara tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia berdasarkan data Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2014 rata-rata 2,36 kg per kapita. Jika jumlah penduduk Indonesia mencapai 250-juta jiwa, maka kebutuhan daging sapi nasional mencapai 590.000 ton.
Artinya, jumlah pasokan untuk memenuhi kebutuhan daging nasional masih kurang 66.080 kg. Pantas bila harga daging sapi di tanahair cenderung meningkat. Pusdatin mencatat dalam kurun 2011—2015 harga daging sapi di pasaran naik dari Rp69.641 per kilogram pada 2011 menjadi Rp104.326 pada 2015.
Holistik
Untuk memenuhi kekurangan pasokan, pemerintah mengimpor daging sapi. Data Pusdatin menyebutkan jumlah impor daging sapi pada 2015 mencapai 82.300 ton setara US$230,286-juta. Pemerintah menggulirkan berbagai program untuk mencapai swasembada. Dalam program itu Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) merumuskan konsep untuk mewujudkan swasembada daging sapi, bernama swasembada holistik.
Konsep itu disebut holistik karena bermakna harus terhubung satu sama lain. Artinya, dalam berternak sapi lokasi ternak harus terhubung dengan sawah-sawah, kebun jagung, atau kebun kelapa sawit. Di sanalah pakan sapi tersedia melimpah.
Pakan sangat penting untuk menentukan tingkat efisiensi dan daya saing dalam berternak sapi. Budidaya sapi efisien jika biaya pakan kurang dari 50% total biaya produksi. Efisiensi itu sulit tercapai jika lokasi berternak sapi jauh dari sumber-sumber pakan.
Dalam konsep swasembada holistik, bidang peternakan tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, tapi juga memerlukan peran dari kementerian-kementerian lain. Contohnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, yang memiliki program pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
Melalui program itu 74.000 desa di tanahair dapat diakses untuk pengembangan sapi. Sektor peternakan seharusnya juga berintegrasi dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Koperasi dapat berperan menjadi penyalur kredit berbunga rendah untuk modal anggota beternak sapi. Begitu juga dengan perguruan tinggi dan lemba-lembaga penelitian yang nantinya menghasilkan berbagai teknologi dalam bidang peternakan.
Impor indukan
Untuk mewujudkan swasembada sapi, langkah paling utama adalah menambah populasi sapi. Di Brasil berpenduduk kurang dari 200-juta populasi sapi mencapai 200-juta ekor. Di Indonesia populasi sapi sekitar 13-juta, dimakan oleh 250-juta jiwa. Seandainya dari jumlah populasi itu separuhnya induk betina, kemudian diinseminasi, maka dalam setahun setiap induk hanya menghasilkan 1 ekor anakan.
Tentu perlu waktu lama untuk mencapai swasembada sapi. Oleh sebab itu untuk memacu penambahan populasi sapi, maka jumlah induk betina harus diperbanyak, salah satunya melalui impor. Untuk mencapai swasembada sapi, MAI sudah menghitung kebutuhan induk betina pada tahun pertama mencapai 2,6-juta ekor, tahun kedua 1,8-juta ekor, dan seterusnya (lihat tabel).
Untuk mendapatkan induk betina, MAI mencari sumber induk betina yang sehat, seperti bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Sumber induk sapi yang aman dari PMK, yaitu Nikaragua dan Meksiko. Selain menambah populasi induk betina, populasi bakalan juga harus diperbanyak agar tidak terjadi pemotongan induk untuk memenuhi permintaan daging.
Namun, dari bakalan hingga siap potong perlu waktu 4 bulan perawatan untuk penggemukkan. Agar penggemukkan selama 4 bulan bisa berjalan dan harga daging bisa ditekan hingga kurang dari Rp100.000 per kg, maka dilakukan juga impor daging sapi. Jadi, impor indukan, bakalan, dan daging sapi dilakukan secara serentak untuk menekan harga.
Namun, upaya mendatangkan sapi dari Meksiko sulit. Pasalnya, Indonesia bukan negara tujuan ekspor sapi Meksiko. Mereka juga harus memenuhi persyaratan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIA) jika ingin mengirimkan sapi ke Indonesia. Berkat negosiasi dan bantuan dari kedutaan Indonesia di Meksiko, meyakinkan pemerintah Meksiko mengurus persyaratan OIA agar bisa mengekspor sapi ke Indonesia. Baru pada 22 Mei 2016, OIA menyatakan bahwa Meksiko bebas PMK dan delapan penyakit utama lain, serta kualitas kesehatannya terbaik di dunia. Meksiko juga beriklim tropis sehingga diharapkan sapi dari sana lebih mudah berkembang di tanahair.
Negeri Sombrero itu juga melarang penggunaan hormon pemacu pertumbuhan sapi sehingga kadar lemaknya lebih rendah. Para peternak sapi di Meksiko menghindari penambahan bahan kimia pada pakan. MAI juga bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memastikan kehalalan daging sapi di sana dan pihak karantina.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, maka Menteri Pertanian menandatangani country approval pada Agustus 2016. Namun, pemerintah menghendaki harga yang lebih murah daripada harga impor sebelumnya dari Australia. Beruntung belum ada mafia yang bermain di pasar sapi Meksiko sehingga MAI dapat bertemu langsung dengan peternak.
Barter
MAI juga menjembatani keinginan pemerintah Meksiko mengimpor berbagai produk seperti minyak kelapa sawit mentah, ban, dan kakao, langsung dari Indonesia tanpa melalui perantara negara lain. Dengan penawaran barter itulah MAI akhirnya dapat memenuhi keinginan pemerintah untuk memperoleh sapi dengan harga lebih murah daripada harga impor dari Australia yang mencapai US$3,4 per kg bobot hidup.
Namun, dalam konsep swasembada holistik, impor diperbolehkan bila importir mengimpor 30% indukan dan sisanya bakalan. MAI juga bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan yang akan mengeluarkan izin impor bila importir mengimpor minimal 20% indukan. Persyaratan itu mendapatkan kritik dari perusahaan pembesaran karena mereka tidak memiliki kandang cukup bila harus menampung dan merawat induk.
Untuk mengatasi permasalahan itu, MAI menyarankan untuk memanfaatkan program Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang dicanangkan Kementerian Pertanian. Dengan program itu setiap kelompok akan menyerap induk impor dari para feedloter sehingga tidak membebani para feedloter. MAI juga bekerja sama dengan perbankan agar membantu permodalan kelompok peternak yang tergabung dalam SPR melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk menyerap indukan impor.
Dengan program itu, maka nantinya peternakan sapi akan menyebar di berbagai daerah, tidak hanya di sentra-sentra tertentu. Dengan pola seperti itu MAI berharap swasembada sapi dapat tercapai pada tahun ke-6 sejak berjalannya konsep swasembada holistik.***
*) Ir Maxdeyul Sola MM, Sekretaris Jenderal Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI).