Trubus — Slamet Arifin yang lahir pada 1956 mengenal kelenteng (semua huruf e dibaca lemah seperti pada kata kesemek) sejak kecil. Biji buah randu hanyalah limbah pengolahan kapuk di desanya, Desa Martopuro, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Di wilayah itu banyak tumbuh randu Ceiba pentandra. Warga membuang biji ketika mengambil kapuk. Kini kelenteng malah menjadi sumber pendapatan utama Slamet.
Ia menjual 18 ton minyak kelenteng seharga Rp18.000 per kg pada Juli 2019. Omzet Slamet Rp324 juta. Sayang ia enggan mengatakan keuntungan bersih. Harga minyak kelenteng fantastis lantaran Slamet menjualnya ke pembeli asal Amerika Serikat. Dengan kata lain ia mengekspor minyak kelenteng sejak 2017. Slamet mengatakan konsumen itu memasarkan minyak kelenteng ke salah satu pabrik pakan besar di Negeri Abang Sam.
“Minyak kelenteng digunakan untuk meningkatkan kadar protein pakan ternak. Mungkin ada pemanfaatan lain tapi rahasia,” kata pria berumur 63 tahun itu. Sebelum diekspor, Slamet menjual minyak kelenteng kepada konsumen dalam negeri. Para pembeli menggunakan minyak kelenteng sebagai campuran minyak kelapa sawit agar mendapatkan keuntungan lebih banyak. Minyak kelenteng juga dipakai perusahaan cat.
Pendapatan Slamet bertambah dengan penjualan 200 ton ampas produksi minyak yang berupa padatan. Harga limbah itu sekitar Rp2.500 per kg sehingga penghasilan pria berumur 63 tahun itu bertambah Rp500 juta per bulan. Harga jual itu relatif tinggi karena bungkil yang sudah digiling berupa tepung mengandung protein 24%. Oleh karena itu, beberapa pengusaha pakan ternak memanfaatkan bungkil limbah kelenteng.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, dalam Pedoman Budidaya Kapuk, menyatakan bungkil hasil produksi minyak kelenteng juga mengandung 4—5% nitrogen dan 2% asam fosfat. Jadi bisa juga dimanfaatkan sebagai pupuk lantaran dapat memperbaiki struktur tanah. Slamet mengenal pengolahan biji randu dari teman. Ia menghitung laba memproses kelenteng relatif banyak sehingga tertarik memproduksi minyak pada 1997.
Saat itu Slamet masih menggunakan tempat milik orang tua. Lalu ia membuka pabrik pengolahan biji randu pada 2000. Semula ia hanya menghasilkan 10—12 ton minyak per 20 hari. Kini kapasitas produksi yang sama tercapai 14 hari. Ia mengolah kelenteng menggunakan mesin rakitan sendiri. Slamet mengandalkan pengepul untuk memasok kelenteng yang datang setiap hari.
Jadwal produksi Senin—Sabtu. Sekitar 11 pekerja membantu Slamet memproduksi minyak kelenteng. Menurut Slamet pabrik pengolah biji randu di Indonesia kali pertama berdiri pada 1970. Kini hanya ada 7 pabrik pengolah kelenteng yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lebih lanjut Slamet mengatakan Indonesia satu-satunya eksportir minyak kelenteng terbaik di dunia.
Hasil pemeriksaan laboratorium di Amerika Serikat dan Jepang menunjukkan, minyak kelenteng merupakan minyak nabati terbaik sejagat. Indonesia pun sohor sebagai eksportir minyak kelenteng sedunia. Sejatinya biji randu hanyalah limbah indutri pengolahan kapuk. Namun, dengan pengolahan yang tepat bisa menjadi barang ekspor. Produk utama randu yaitu serat kapuk yang menjadi bahan pengisi alas tidur seperti kasur, bantal, dan guling.
Jika Slamet bergantung pada biji randu, maka Suparno mengandalkan pengolahan buah randu sebagai sumber pendapatan utama. Warga Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, itu mengolah buah Ceiba pentandra sejak 1998. Sebelumnya ia membantu orang tua menjalankan usaha pengolahan kapuk. Desa tempat tinggal Suparno terkenal sebagai sentra pengolahan kapuk di Jawa Tengah sejak zaman dahulu. Mayoritas warga Desa Karaban berprofesi sebagai pengusaha pengolahan kapuk.
Ia menjual sekitar 5 ton kapuk siap pakai beragam mutu saban bulan. Suparno mengutip laba Rp500—Rp1.000 per kg sehingga rekening tabungannya meningkat Rp2,5 juta—Rp5 juta per bulan. Satu kuintal buah randu menghasilkan 20 kg kapuk siap pakai. Jadi ia mengolah 25 ton buah randu saban bulan. Bahan baku sebanyak itu tidak masalah. “Bahan baku tergantung modal. Jika punya modal, mudah mendapatkan pasokan buah randu,” kata pria berumur 40 tahun itu.
Pasokan buah randu Suparno berasal dari berbagai daerah seperti Jepara dan Kudus, keduanya di Jawa Tengah. Bahkan ia pernah mendapatkan buah randu dari Lampung. Selain kapuk siap pakai, Suparno pun menjual kasur lantai. Sekitar 500 kasur lantai terjual dalam 3 bulan. Pasar utama kasur lantai terutama ke Pulau Kalimantan meliputi Samarinda, Kalimantan Timur, Palangkaraya (Kalimantan Tengah), dan Pontianak (Kalimantan Barat). Permintaan kapuk fluktuatif.
Menurut Suparno permintaan kapuk meningkat sejak 2017. Ia meyakini prospek kapuk dan produk turunannya tetap bagus di masa depan. Buktinya ada permintaan memasok 1 kontainer berisi 600 kasur lantai per pekan ke Pakistan pada 2012. Yang paling anyar salah satu warga India mendatangi Suparno pada medio 2019. Tamu asing itu mengharapkan pasokan 15 ton kapuk siap pakai setiap pekan.
Suaprno tidak menyanggupi kedua permintaan itu karena tidak sepakat dengan cara pembayaran. Selain itu ia juga ia mesti mencari relasi untuk memenuhi permintaan fantastis itu. “Mencari teman baik untuk bisnis itu pun tidak mudah,” kata warga asli Desa Karaban itu. Modal besar pun menjadi pertimbangan Suparno mengekspor kapuk. Meski begitu pasar dalam negeri pun menggiurkan.
Kepala Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas), Dr. Ir. Mohammad Cholid, .M.Sc., mengatakan Indonesia merupakan negara eksportir kapuk sejak 1928. “Puncaknya Indonesia mengekspor 28.400 ton serat kapuk pada 1936—1937,” kata Cholid. Itu setara 85% kebutuhan serat kapuk dunia saat itu. Menurut peneliti kapuk di Balittas, Dr. Drs. Marjani, M.P., pada zaman pendudukan Belanda ada program penghijauan menggunakan beragam pohon seperti asem dan kapuk.
Penanaman randu di jalan pedesaan bertujuan sebagai sumber penghasilan tambahan masyarakat. Kini masih tersisa deretan pohon randu di tepi jalan di beberapa daerah di Indonesia. “Kualitas kapuk terbaik itu namanya java kapok. Terkenal sejak zaman Belanda hingga menjelang kedatangan Jepang. Cirinya berwarna putih dan halus,” kata Marjani. Java kapok termasuk kapuk yang berkualitas bagus dari Indonesia, bukan hanya yang berasal dari Pati.
Ekspor serat kapuk menurun menjadi 1.496 ton pada 2013. Beragam faktor seperti banyaknya randu tua yang tidak produktif dan penebangan tanpa peremajaan berperan menurunkan ekspor kapuk. Faktor penurun lainnya yakni meningkatnya penggunaan serat kapuk dalam negeri dan persaingan dengan bahan sintetis seperti karet busa. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, persaingan kapuk dengan bahan lain terjadi sejak 1850.
Saat itu kapuk berkompetisi dengan wol, limbah kapas, rumput laut, jerami, dan rambut kuda. Sejarah membuktikan kapuk tetap unggul dibandingan dengan semua bahan itu. Alasannya kapuk tidak disukai hama pengganggu karena bukan bahan makanan, kasur kapuk dapat disterilisasi tanpa kehilangan sifat baiknya, dan penjemuran di bawah sinar matahari mengembalikan bantal atau kapuk kepada kondisi semula.
Yang pasti penggunaan kapuk lebih hemat. Saat itu seorang pekerja memerlukan 9 kg kapuk untuk pengisian kasur ukuran satu orang. Sementara pekerja memakai 14 kg rambut kuda, 15 kg jerami, dan 13,5 kg ulat sutra untuk ukuran kasur sama. Kasur kapuk juga dapat bersaing dengan kasur yang memakai per (springbed) karena lebih murah dan mudah diperbaiki.
Perubahan fungsi lahan menjadi perumahan turut menurunkan populasi kapuk. Lebih lanjut Cholid menuturkan kini tren kembali ke alam muncul lagi terutama di Eropa dan Amerika Serikat termasuk pemanfaatan serat alami seperti kapuk. Artinya budidaya randu bisa berkembang. Apalagi jika budidaya tanaman anggota famili Malvaceae itu diintegrasikan dengan pemeliharaan lebah madu.
Lebih menguntungkan hasilnya. Cholid menghitung satu pohon randu memproduksi 40.000—50.000 bunga. Pemanfaatan biji kapuk menjadi minyak pun menjadi andalan. Selain itu abu sisa pembakaran kulit buah pun bisa menjadi soda kue. “Kurang kompetitif jika hanya menghasilkan satu produk dari randu,” kata Cholid. Menurut Marjani perusahaan perkebunan besar bisa lebih untung jika menanam randu. Jika perusahaan itu menanam buah seperti mangga bakal kesulitan.
Itu terjadi pada salah satu perusahaan perkebunan nasional yang menanam mangga di lahan 50 hektare. Ternyata menanam mangga skala luas kurang menguntungkan karena panen bersamaan. Pengelola hanya memiliki waktu 10 hari sebelum mangga membusuk. Jika ditanami kapuk, masih bisa panen tepat waktu. Penggunaan lahan lebih optimal jika menerapkan sistem tumpang sari dengan tanaman lain seperti singkong.
Slamet juga yakin randu masih terus berkembang. Ia tidak khawatir kehilangan pasokan bahan baku karena ada informasi PT Perkebunan Nusantara menanam randu di lahan ratusan hektare. Kepala Kebun Percobaan (KP) Muktiharjo, Moch. Rifa’i, S.P. mengatakan, penanaman randu juga berlangsung di Banyuwangi, Jawa Timur, sebanyak 2.000 bibit dan 1.000 bibit di Sragen, Jawa Tengah. Penanaman 3.000 bibit itu rangkaian pembelian 20.000 bibit oleh seorang pengusaha asal Semarang.
Saat ini Rifa’i masih menyimpan sekitar 17.000 bibit lagi yang bakal ditanam saat musim hujan. Menurut Rifa’i KP muktiharjo sentra plasma nutfah randu terbesar dan terlengkap se-Asia Tenggara. “Kami memiliki 152 aksesi randu,” kata Rifa’i. Balittas melepas varietas unggul kapuk yakni Muktiharjo 1 (MH 1), Muktiharjo 2 (MH 2), dan Togo B dari tipe karibia yang sesuai untuk usaha tani monokultur pada 2006.
Ada juga MH 3 dan MH4 yang cocok untuk penghijauan dan konservasi lahan yang dirilis pada 2007. Yang paling anyar Balittas melepas kapuk hibrida LC31 pada 2009. Kehadiran semua varietas unggul itu demi meningkatkan produktivitas dan mempertahankan kualitas serat kapuk yang baik. Harapannya semua pihak yang bergantung pada kapuk makin sejahtera. Indonesia pun tetap menjadi eksportir serat dan minyak kapuk dunia. Bagi Slamet dan Suparno menanam kapuk tak pernah merasa kapok atau jera. (Riefza Vebriansyah/Peliput: Bondan Setyawan)