Bawang Merah
Tiga kunci produksi bawang merah, benih unggul, pemupukan tepat, dan pestisida ampuh.
Bawang merah tergolong tiga besar komoditas sayuran yang berkontribusi terhadap total produksi sayuran Indonesia. Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian menyebutkan, bawang merah berkontribusi terhadap 10,35% total produksi sayuran Indonesia. Peringkat itu di bawah kubis (12,05%) dan kentang (11,31%). Namun, produksi bawang merah fluktuatif.
Badan Pusat Statistik mencatat produksi pada 2012 sebesar 964.221 ton. Tahun berikutnya naik menjadi 1,01-juta ton dan 1,23-juta ton. Sayang, pada 2015 turun lagi menjadi 1.22-juta ton. Dari total produksi 2015 itu, Provinsi Jawa Tengah menjadi penyumbang terbesar, 471.169 ton atau setara 38%. Produsen kedua terbesar, Jawa Timur, menghasilkan 277.121 ton (22%). Nusa Tenggara Barat di posisi ketiga menyumbang produksi 160.201 ton (13%).
Pupuk tepat
Jika terjadi gangguan produksi di salah satu dari ke-3 produsen utama itu, pasar bawang merah segera bergejolak. Fluktuasi produksi berimbas kepada harga pasar. Menurut pakar agribisnis Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis, Insititut Pertanian Bogor, Ir Arief Daryanto MEc PhD, pemicu fluktuasi antara lain karena produksi bawang merah tidak merata sepanjang tahun.
Produksi juga sangat tergantung musim. Oleh sebab itu harus ada penataan sarana produksi untuk menyeimbangkan ketimpangan produksi antara musim kemarau dan hujan. Kelangkaan bawang merah biasa terjadi pada Maret—April. Musababnya, petani terbiasa menanam pada Juli hingga Agustus alias saat kemarau.
Pada musim hujan, tanaman bawang merah riskan terendam banjir atau terserang organisme pengganggu. Padahal, petani sejatinya bisa mengantisipasi risiko-risiko itu. Salah satunya dengan penggunaan sarana produksi yang baik. Misalnya, pemilihan benih berkualitas, penggunaan mekanisasi pertanian, aplikasi pestisida, ataupun pemupukan intensif. Pemupukan tepat dapat meningkatkan produksi umbi Allium cepa itu secara signifikan.
Riset peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Olvie G Tandi dan rekan, menunjukkan pemupukan dengan biourine meningkatkan produksi bawang merah. Tandi memupuk bawang merah dengan urine sapi terfermentasi oleh mikrob pengurai, rimpang lengkuas, jahe, kencur, dan temulawak. Mereka membagi sampel menjadi 6 perlakuan yaitu kontrol, konsentrasi pupuk 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%.
Jumlah pupuk yang diberikan 3,6 liter per plot—setara 7.000 liter per hektare. Di akhir penelitian selama 84 hari itu, pupuk biourine terbukti efektif meningkatkan produksi bawang merah. Jumlah umbi per tanaman kelompok kontrol, misalnya, hanya 3,47 per tanaman. Bandingkan dengan perlakuan pupuk 20% yang menghasilkan umbi 4,40 per tanaman.
Begitu pula bobot umbi segar. Bobot umbi segar kelompok kontrol 145,33 gram per tanaman; kelompok perlakuan 20%, 177,67 gram. Penyusutan bobot umbi pascapengeringan pun minim di kelompok perlakuan. Bobot umbi kering kelompok perlakuan 123,33 gram per tanaman, yang berarti menyusut 30,6%. Bandingkan dengan penyusutan bobot umbi kering kelompok kontrol yang mencapai 33,9% menjadi 96 gram.
Dalam pembahasan, periset menjelaskan kandungan kalium pupuk biourine memacu pertumbuhan, meningkatkan hasil, sekaligus memperbaiki kualitas umbi. Kandungan hormon auksin biourine meningkatkan kandungan zat organik dan anorganik dalam sel. Kemudian zat itu diubah menjadi protein, asam nukleat, polisakarida, dan molekul kompleks lain. Senyawa itu membentuk jaringan dan organ sehingga meningkatkan bobot basah dan bobot kering tanaman.
Benih
Selain pemupukan tepat, penanganan hama dan penyakit pun berkontribusi terhadap peningkatan produksi bawang merah. Menurut Dudy Kristyanto, manager marketing PT Bina Guna Kimia, pada fase persiapan lahan, petani dapat membenamkan insektisida berbahan aktif karbofuran atau karbosulfan. Pemberiannya setelah aplikasi pupuk dasar. Perlakuan pada benih dan persiapan lahan berlaku wajib karena seperti imunisasi agar benih sehat di lapang. Maklum tanaman anggota famili Liliaceae itu rentan serangan hama maupun penyakit.
Presiden Direktur PT Royal Agro Indonesia, Final Prajnanta, menjelaskan hama yang banyak menyerang bawang merah adalah ulat grayak Spodoptera exigua. Untuk mengatasinya, lakukan pergiliran tanaman dengan tanaman padi. Cara lain pasang perangkap lampu (light trap) untuk menangkap imago. Lakukan juga sanitasi lingkungan dari berbagai gulma. Selain secara mekanis, penanganan ulat grayak dapat dilakukan menggunakan insektisida Plethora SC dengan bahan aktif indoxacarb dan nuvaluron. “Dosis yang digunakan 1 liter per hektare,” jelasnya.
Adapun jenis penyakit yang mempunyai tingkat serangan merugikan adalah Fusarium atau lebih dikenal dengan sebutan moler. Gejalanya tanaman mendadak jadi layu dan menguning. “Ciri khas serangannya daun mengkerut dan melintir,” kata Final. Umbi membusuk dan lama-kelamaan tanaman mati. Untuk menanggulanginya Final menyarankan melakukan pergiliran tanaman dengan padi.
Penggunaan musuh alami seperti Trichoderma juga mampu menekan serangan moler. Penanganan secara kimia dengan menggunakan Remazole-P yang berbahan aktif prochloraz dan propiconazole. Dosis pemberian 400—500 ml per hektare. Penyemprotan pada awal serangan dan diulangi jika masih terjadi serangan. Pada umumnya petani menanam bawang merah dari umbi lapis. Agar lebih efisien, petani dapat menanam bawang merah dari benih.
Maklum, benih memiliki persentase biaya paling besar—mencapai 38,58% total biaya produksi bawang merah. Perbanyakan bawang merah dari biji dikembangkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jawa Timur bekerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang dan bermitra dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mitra Arjuna, Malang, Provinsi Jawa Timur.
Mereka memproduksi benih bawang merah true shallot seed (TSS). Menurut Dr Ir Chendy Tafakresnanto MP dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, produksi benih bawang merah salah satu inovasi untuk memperbaiki budidaya. Cara itu memiliki beragam keunggulan, seperti tanaman lebih sehat, nisbah perbanyakan tinggi yakni 1:200, dan tahan simpan (lebih dari 2 tahun).
Petani juga tidak memerlukan gudang penyimpanan serta transportasi khusus untuk mengangkut benih ke kebun. Penanaman sehektare lahan hanya membutuhkan 5—7 kg benih. Bandingkan dengan kebutuhan benih dari umbi yang mencapai 1—1,5 ton. Dengan beragam cara itu, swasembada bawang merah optimis tercapai segera. (Desi Sayyidati Rahimah/Peliput: Bondan Setyawan)