Trubus.id — Tumpang sari menjadi alternatif untuk meningkatkan omzet. Itu dilakukan oleh Ir. Fikri Amir, pekebun kakao di Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.
Fikri menanam dengan sistem tumpang sari, tanaman kakao dengan pinang. Alasan Fikri memilih pinang karena bisa berbuah sepanjang tahun. Sementara itu, kakao hanya bisa dipanen setahun sekali.
Harga buah pinang juga cenderung stabil meski tidak terlalu tinggi. Panen perdana tercapai pada tahun ke-5 hingga ke-6 penanaman.
Ada 3 tingkat kematangan buah pinang di pasar. Pertama, muda (kulit hijau agak pucat, petik di umur kurang dari 6 bulan) untuk jus, manisan, atau permen. Kedua, umur sedang (kulit hijau tua, petik di umur 6–7 bulan) untuk pinang kunyah. Ketiga, matang (kulit kuning/merah) untuk pinang belah yang diekspor ke India, Pakistan, RRT, atau negara-negara Arab.
Dengan populasi yang tepat, tajuk pinang menyediakan cukup naungan bagi kakao. Soal perawatan, pinang tidak rewel. “Perawatannya juga tidak lebih repot daripada kakao,” kata Fikri.
Perawatan itu sekadar membersihkan gulma dan tajuk serta memastikan perakaran tidak terendam. Pinang tidak perlu dipupuk khusus. Setelah dibelah dan dikeringkan minimal 3 hari, pinang yang bobotnya susut dari 4 kg menjadi 1,5 kg itu bisa dijual langsung atau disimpan menunggu pembeli.
Ia menanam pinang sebagai tanaman sela dan pagar kebun. Jarak tanam sebagai tanaman sela 6 m × 6 m atau populasi 270 batang, sedangkan untuk pagar 3 m × 3 m atau populasi 130 batang. Total terdapat 400 pohon per hektare dengan produksi per pohon minimal 1,5 kg buah kering, setara 7.200 kg per tahun.
Dengan harga minimal Rp12.000 per kg, pinang memberikan penghasilan Rp86,4 juta per tahun. Kakao ditanam dengan jarak 3 m × 3 m sehingga populasinya minimal 1.000 pohon.
Kakao sejumlah itu menghasilkan sedikitnya 4.000 kg biji kering per hektare per tahun. Fikri mendapatkan harga Rp30.000 per kg atau total Rp120 juta per hektare per tahun. Luas kebunnya di Nagari Piobang, Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota 2 hektare sehingga dalam setahun ia memperoleh Rp512, 8 juta dari penjualan kakao dan pinang.
Biji kakao rusak atau tidak sempurna misalnya berbentuk gepeng, kecil, keras, atau cacat bekas serangan hama maksimal 10% dari total produksi biasa ia jual Rp10.000 per kg. Berarti ada “bonus” Rp4 juta dari biji afkir.
Dr. Ir. Agung Wahyu Susilo, Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember, Jawa Timur, menyatakan, kakao memerlukan naungan 30–40% sehingga tanaman sela idealnya bisa menyediakan teduhan.
Beberapa pohon kacang-kacangan menghasilkan buah berharga seperti petai, jengkol, atau asam menyediakan teduhan bagi kakao. Kelemahannya, daun mereka kecil sehingga serasah berpotensi menyelip di sela ranting atau cabang.
Pohon kayu seperti akasia, sengon, atau jati juga tidak dianjurkan karena saat dipanen pasti menimpa dan merusak sebagian pohon kakao.