
Tepat memilih metode budidaya, kunci sukses berakuaponik.
Sholeh Zakaria meletakkan 150 ember berdiameter 20 cm untuk menanam sayuran seperti cabai dan kangkung. Ember-ember itu berderet mengelilingi kolam terpal—lokasi budidaya lele. Petani Cijeruk, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, itu mengelola empat kolam terpal. Zakaria memompa air kolam yang kaya nutrisi itu lebih dari delapan jam. Air mengucur terus-menerus ke setiap ember melalui pipa.

Kemudian mengalir kembali ke kolam lele, begitu seterusnya. Sholeh Zakaria menerapkan sistem akuaponik sejak 2012. Petani 43 tahun itu mengadopsi model pot. Menurut periset di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Eri Setiadi SSi MSc, model akuaponik dapat berupa vertikultur, parit, model pot atau talang air.
Adapun sistem akuaponik terbagi menjadi empat, yakni aliran atas, aliran bawah, pasang surut, dan rakit apung. Menurut master Aquatic bioscience alumnus Kochi University, Jepang, itu calon petani dapat memilih sistem dan model sesuai kebutuhan, luas lahan yang tersedia, atau ketersediaan dana. Ia mencontohkan untuk rumah tangga, misalnya, bisa memilih sistem aliran atas dengan kolam bak berbahan terpal yang mudah dibongkar-pasang.

Dari beberapa model itu Eri menyarankan untuk menggunakan sistem pasang surut. Sebab, “Sistem pasang surut itu tidak mudah tersumbat,” ujar alumnus Fakultas Biologi Universitas Nasional itu. Dengan memilih teknik akuaponik yang tepat, hasil maksimal pun didapat. (Desi Sayyidati Rahimah/Peliput: Bondan Setyawan)
Enam Model Akuaponik