Monday, February 10, 2025

Berkebun Mengikuti Irama Alam

Rekomendasi
- Advertisement -

Anugerah dewi Amaterasu Omikami itu sama sekali tak tersentuh bajak, pestisida, dan pupuk kimia. Hanya mengikuti irama alam.

Selama bercocok tanam tak pernah sekalipun Masanobu Fukuoka memakai kompos. Saluran irigasi pun tidak dijumpai. Tanah ladangnya bahkan sudah dibiarkan tidak dibajak selama 25 tahun. Saat tiba bertanam, bulir-bulir padi langsung ditebar di antara mulsa jerami. Bulir itu lalu dibiarkan jatuh sendiri menyentuh tanah. Untuk mengatasi gulma ditanam semanggi putih. Sederhana tapi terbukti hasil panen lebih baik daripada ladang sejenis yang paling modern di Jepang.

Pelopor pertanian organik di Jepang itu menerapkan metode bertani alami untuk mencegah kerusakan alam. Cara itu ditempuh semata-mata karena pakar mikrobiologi itu nelangsa melihat kualitas tanah menurun. Apalagi ada kecenderungan masyarakat Jepang mulai melupakan pertanian. Padahal, di masa lalu Jepang terkenal sebagai toyoashihara no mizuho no kuni, negeri untaian makmur padi.

Kompos

Tidak sia-sia 40 tahun merentas pertanian alami, konsep Masanobu mulai dipakai oleh banyak pekebun di negeri Sakura. Pekebun-pekebun sayuran sudah menerapkannya mesti tidak seketat sang pelopor. Contoh Shinji Hashimoto pekebun sayuran di Kobe. Setelah berguru selama 2 tahun pada Yoshinori Kaneko, salah satu perintis teikei—sistem penjualan sayuran organik di Jepang—ia mengembangkan beragam sayuran di ladang seluas 2 ha.

Di sana, beragam sayuran seperti kacang-kacangan, mizuna, komatsuna, wortel, bawang hijau, dan kembang kol ditanam di petak-petak berukuran 2 m x 20 m. Semua diberi kompos gabah yang telah dikeringkan, pangkasan tanaman, dan kotoran ayam sebanyak 5%. Semua bahan dicampur dan diberikan 4—5 kali dalam 10 minggu. Hama cukup dikendalikan dengan pergiliran tanam.

Hal serupa dilakukan pekebun di Kobe, Shiganori. Mereka bertanam aneka sayuran mirip Shinji. Penanamannya wajib dilaporkan kepada Nippon Yuki Nogyo Kenkyukai, semacam perkumpulan pekebun organik. Pengurus perkumpulan setahun 2 kali saat musim semi dan gugur akan mengunjungi lahan.

Wartawan Trubus, Utami Kartika Putri, yang berkunjung ke Jepang Desember 2003, menyaksikan betapa kini pertanian organik sudah membumi di Jepang. Di Chiba salah satu sentra sayuran, beragam sayuran daun dan umbi seperti daikon tampak tumbuh subur di atas tanah gembur berwarna cokelat. Semua tertata rapi. Sama sekali tidak terlihat saluran irigasi dan bedengan seperti di tanah air, kecuali rumah semai.

Lahan pertanian di Jepang hanya 15% atau sekitar 5,6-juta ha. Dari lahan itu hampir 70% merupakan pertanian organik. Semua itu dipenuhi oleh 1.000—3.000 pekebun organik yang tersebar di seluruh Jepang. Tidak seperti masa perang dunia ke-2, Jepang mendewakan bahan kimia. Walau organik, produktivitas pertanian per hektar sangat tinggi—konon salah satu tertinggi di dunia—mampu memenuhi 50% kebutuhan dalam negeri.

Antar langsung

Konsumen organik di Jepang paling banyak di dunia. Menurut data Japanese Organic Agriculture Association (JOAA) di ibukota negara, Tokyo, saja tercatat 150.000—200.000 orang. Artinya 3—5% penduduk Jepang mengkonsumsi sayuran organik.

Agar semua konsumen terlayani, Yoshinori Kaneko memperkenalkan sistem tei kei, yakni penjualan produk organik secara langsung. Sistem ini memungkinkan produsen dan konsumen bertatap muka sehingga bisa saling mengungkapkan keinginannya. Kelebihan produksi pun dapat dihindari. Cara yang dipakai sejak 1971 itu berfungsi mencegah permainan harga oleh tengkulak.

Sistem lain yang dipakai adalah post delivery alias kirim langsung. Setiap konsumen terikat kontrak. Salah satu perusahan penyedia jasa kirim itu, Seikatsu Club memiliki 214.000 pelanggan di seluruh Jepang. Agar pesanan terpenuhi Seikatsu bekerjasama dengan sekitar 1.500 pekebun organik.

Sayuran organik pun dapat dijumpai di pasar-pasar swalayan khusus organik. Di Tokyo tercatat 150 retail penjual sayuran organik. Yang terbesar Mother’s Shop, memiliki 7 cabang.

Di sana 25 jenis sayuran setiap hari diperjualbelikan. Setiap hari tak kurang 30 ton sayuran terdiri dari 25 jenis disebar ke seluruh outletnya. Meski berharga mahal 4—5 kali lipat produk biasa, tapi tetap laku.

Standar ketat

Di Jepang, standar organik diberlakukan ketat melebihi standar buatan FAO—Codex Alimentrius Commission (CAC)—dan International Federation Organic Agriculture Movement (IFOAM). Di sana, feses manusia tidak boleh digunakan sebagai pupuk.

Peraturan itu kian ketat semenjak Japanese Agricultural Standard (JAS) menerapkan aturan baru yang berlaku sejak 2001. Saking tegasnya hampir sebagian produk organik segar tidak lagi memenuhi status pangan organik.

Sayuran yang tidak bisa menembus standar JAS dilabeli green food. Ia hasil dari budidaya sistem organik, tapi masih mengunakan pestisida dan pupuk kimia dosis rendah. Sayang label itu kurang diminati pembeli karena dianggap memiliki residu.

Yang unik produksi-produksi organik menampilkan foto pekebunnya. Kepercayaannya tidak hanya melekat pada label, tapi termasuk pekebunnya. Maklum setiap pekebun memiliki sayuran dengan cita rasa tersendiri. (Dian dijaya Susanto/Peliput : Bertha Hapsari).

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Pesona Hutan di Kota Metropolitan

Trubus.id–Warga Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tak perlu bepergian jauh untuk sekadar menikmati atmosfer khas hutan hujan tropis....
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img