Pasar luar negeri kini terbentang. Peluang bagi pehobi dan penangkar cupang.
Jarum jam menunjukkan pukul 22.00. Saat orang-orang terlelap, Toni Cubid justru baru memulai kesibukan. Pehobi cupang hias di Kelurahan Pekayon, Kecamatan Pasarrebo, Jakarta Timur, itu duduk di depan komputer jinjing, lalu mengunggah beberapa foto dan video cupang giant koleksinya di beberapa grup pehobi cupang hias di media sosial. Kesibukan itu berlangsung hingga dini hari.
Dari media sosial itulah Toni mendulang laba. Foto dan video unggahannya menarik pembeli dari berbagai negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia. Dalam tiga tahun terakhir Toni memang menyasar pasar pehobi cupang di luar negeri. Itulah sebabnya Toni aktif di media sosial pada malam hari karena menyesuaikan dengan aktivitas pengguna media sosial di negeri seberang yang berbeda waktu. “Kalau saya mengunggah foto atau video pada siang hari, para pehobi cupang di Amerika Serikat, misalnya, justru sedang tidur sehingga tidak akan merespons unggahan saya,” tutur alumnus Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, itu.
Kualitas kontes
Setelah selesai bertransaksi, Toni lalu mempersiapkan pengiriman. Ia mengemas cupang yang dibeli dalam kantong plastik ukuran setengah kilogram. Ukuran kantong plastik itu lebih besar daripada standar ukuran untuk mengemas cupang karena yang dikirim adalah cupang giant yang berukuran lebih besar daripada cupang jenis lain, seperti plakat, halfmoon, dan serit. “Cupang giant siap jual jika panjang tubuh minimal 5,5 cm,” tutur Toni. Ukuran wadah lebih besar agar cupang giant leluasa bergerak dan tidak stres selama pengiriman.
Toni lalu membungkus setiap kantong plastik dengan kertas agar cupang tidak agresif saat disusun dalam kotak stirofoam. Cupang tergolong hewan soliter alias penyendiri sehingga tampak agresif berhadapan atau melihat ikan cupang lain. Setelah itu ia menyusun kantong-kantong plastik berisi cupang dalam kotak stirofoam. Setelah selesai mengemas, Toni lalu mengirim cupang pesanan ke kediaman Hermanus J Haryanto di Tomang, Jakarta Barat.
Di kediaman Hermanus terkumpul cupang hias Betta splendens dari beberapa pedagang dan penangkar yang juga hendak dikirim ke pelanggan di luar negeri. Selanjutnya Hermanus mengirim Betta splendens ke pengusaha pengangkutan perantara di negara tujuan, lalu dikirim ke para pelanggan. Dalam sebulan Toni menjual rata-rata 40—60 ekor cupang giant ke luar negeri. Harga jual bervariasi. “Jika pembelian partai atau jumlah banyak harga jual biasanya US$25—US$65 (setara Rp325.000—Rp845.000 jika kurs US$1 = Rp13.000, red) per ekor. Kalau cupang kualitas kontes bisa mencapai US$125—US$200 (Rp1,6-juta—2,6-juta, red) per ekor,” ujar Toni.
Nun di Kota Semarang, Jawa Tengah, Lukas Tanuli, juga menjual cupang hias ke beberapa pelanggan di luar negeri. Lukas menjual rata-rata 1—2 cupang hias per hari dengan harga Rp800.000—Rp1-juta per ekor. Ia memasok para pehobi dan pedagang ikan hias di Filipina, Thailand, Singapura, dan Amerika Serikat. Menurut Lukas pelanggan dari luar negeri biasanya menghendaki cupang berkualitas grade A.
Lukas menuturkan untuk memenuhi kriteria grade A di luar negeri lebih mudah karena mereka lebih mementingkan warna yang indah dan “benar”. Maksud warna yang benar yaitu sebaran warnanya yang merata di tubuh ikan. Contohnya untuk cupang tipe warna koi. “Warna merah dan hitam harus ada di bagian sirip, tubuh, dan ekor,” tuturnya. Sementara syarat grade A untuk konsumen dalam negeri lebih sulit karena mereka menghendaki bentuk tubuh yang sempurna alias tidak cacat.
Lebih mudah
Pehobi di Kelurahan Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat, Syahidin, juga rutin menjual cupang hias ke luar negeri. Pengajar di Pondok Pesantren Modern Daarul Ulum Kota Bogor itu minimal menjual 10 cupang jenis giant per bulan. Ia menjual rata-rata US$40—US$50 atau Rp520.000—Rp650.000 per ekor.
Menurut Hermanus dalam dua tahun terakhir semakin banyak pehobi cupang yang menjual koleksinya atau hasil tangkarannya ke luar negeri. Mereka biasanya menggaet pelanggan melalui media sosial. Penangkar berani menyasar pasar mancanegara karena kini pengiriman ke luar negeri lebih mudah. Para penangkar atau pedagang cupang dapat menggunakan jasa transhipper, yakni jasa perantara pengiriman ke berbagai negara, seperti yang ditekuni Hermanus sejak 2014 (baca: Jembatan Perdagangan Cupang halaman 66—67).
Dalam sebulan Hermanus rata-rata mengirimkan 1.000 cupang dan jenis ikan hias lain seperti guppy. “Dari jumlah itu 80% di antaranya cupang jenis plakat,” tutur juri cupang internasional itu. Negara tujuannya antara lain Hongkong, Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan negara-negara di Benua Eropa.
Pehobi dan juga juri cupang internasional di Jakarta Utara, Joty Atmadjaja, juga melayani jasa serupa. Dalam sebulan ia mengirimkan rata-rata 500—600 cupang ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Hongkong, Singapura, Filipina, dan negara-negara di Eropa. Menurut Toni jasa transhipper itu sangat membantu para penangkar dan pedagang cupang untuk membuka pasar mancanegara. Apalagi yang menangani pengiriman adalah orang-orang yang berpengalaman mengekspor ikan hias ke berbagai negara. Oleh karena itu mereka paham betul cara pengemasan dan penanganan selama pengiriman agar ikan selamat sampai tujuan.
Toni menuturkan kini para pehobi cupang lebih mudah membuka pasar luar negeri. “Untuk pemasaran bisa menggunakan jasa media sosial seperti Facebook dan Instagram,” ujarnya. Cukup unggah foto dan video cupang yang akan dijual dan mengalirlah permintaan. Para pembeli biasanya membayar minimal 50% dari harga beli sebagai uang muka. “Pelunasan dilakukan 1—2 hari sebelum jadwal pengiriman,” tuturnya.
Bertransaksi pun kini lebih mudah. Saat ini tersedia perusahaan jasa transfer uang melalui surat elektronik seperti PayPal. Perusahaan itu ibarat rekening virtual yang melayani jasa transfer ke berbagai negara di dunia. Keamanannya juga terjamin dan lebih cepat. Dengan berbagai kemudahan itu pantas bila di tanahair semakin banyak pehobi yang melayani permintaan dari luar negeri.
Permintaan tinggi
Menurut Lukas permintaan cupang dari luar negeri sebetulnya sangat besar. Ia pernah mendapat permintaan dari sebuah perusahaan penjual ikan hias Australia sebanyak 200 ekor cupang per pekan. Namun, ia terpaksa menolak permintaan itu lantaran kurangnya pasokan. Apalagi yang diminta adalah cupang giant bercorak koi. “Untuk memperoleh cupang jenis koi berukuran besar sangat sulit,” kata pria yang mulai berbisnis ikan hias sejak 2007 itu.
Hermanus menuturkan kini jenis plakat mendominasi permintaan cupang dari luar negeri. Menurut Syahidin plakat asal Indonesia dianggap lebih unggul di pasar internasional. Sementara pasar untuk jenis halfmoon dikuasai Thailand. “Jenis giant juga kini makin diminati,” tutur sarjana hukum Islam alumnus Universitas Ibnu Khaldun, Kota Bogor, itu.
Terbukanya pasar luar negeri turut mendongkrak kembali tren cupang di tanahair. Para penangkar dan pehobi kini berlomba-lomba mencetak cupang berkualitas agar tak hanya laku di pasar lokal, tapi juga mancanegara. Sebagai ajang pembuktian kualitas cupang, kontes pun makin banyak diselenggarakan. Menurut pehobi cupang di Jakarta Barat, Hendry Sutrisno, selama 2016 berlangsung 7 kontes cupang internasional. “Belum lagi kontes nasional yang digelar hampir setiap pekan,” tutur pehobi yang koleksinya kerap menyabet juara pada kontes cupang di dalam dan luar negeri itu. Hampir setiap kontes ramai peserta. Beberapa kontes bahkan diikuti hingga 500 peserta.
Bagaimana dengan pasar cupang di tanahair? Hermanus menuturkan kini cupang kembali naik daun. Salah satu barometernya adalah frekuensi kontes yang diselenggarakan. Menurut Lukas banyaknya kontes di tanahair mendongkrak permintaan cupang. “Sebelum kontes banyak pehobi yang memesan cupang kualitas kontes,” ujar ayah satu anak itu. Dalam sebulan Lukas menjual rata-rata 50 ikan cupang kualitas kontes ke pasaran lokal dengan harga rata-rata Rp450.000 per ekor. “Pembelinya dari seluruh Indonesia, tapi mayoritas pehobi dari Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan,” tuturnya.
Hermanus menambahkan masyarakat awam pun kini mulai melirik cupang. “Rata-rata mereka tertarik lantaran sosok ikan yang cantik,” tutur alumnus Universitas Bina Nusantara itu. Itulah sebabnya cupang apkir pun masih laku dijual. Lukas menjual rata-rata 100 ikan cupang kualitas biasa atau apkir Rp 5.000 per ekor setiap bulan.
Baru
Menurut penangkar cupang di Jakarta, Edi Sudrajat, tren cupang di tanahair akan terus menanjak seiring maraknya penyelenggaraan kontes nasional dan internasional. “Yang paling banyak diminta tentu cupang untuk show,” kata pria yang juga kerap menjadi juri kontes cupang itu. Dalam sebulan Edi melepas rata-rata 75 cupang grade A dengan harga jual Rp150.000 per ekor untuk pasar lokal. “Stok selalu habis karena permintaan pun tinggi,” kata pria yang membudidayakan cupang di rumahnya dengan luas 40 m2 itu. Menurut Edi jumlah penjualan itu baru memenuhi 5% permintaan. Ia selalu kekurangan pasokan karena sulit untuk memperoleh cupang kualitas grade A dalam setiap periode pemijahan. “Dalam satu periode hanya 3—5% yang berkualitas bagus,” ujarnya.
Pemain baru pun terus bermunculan. Salah satunya Pitkha Rian di Semarang, Jawa Tengah, yang menekuni hobi cupang sejak 2014. Rian membudidayakan ikan anggota famili Osphronemidae itu di 7 akuarium, 6 ember, dan kolam-kolam kecil untuk penangkaran. Dalam sepekan Rian menjual hingga 6 pasang cupang jenis plakat kualitas kontes dengan harga Rp200.000—Rp300.000 per pasang. “Penjualan relatif stabil,” tuturnya. Meski tergolong pendatang baru, cupang koleksi Rian beberapa kali terjual ke luar negeri melalui Hermanus dan Joty. Salah satunya sepasang plakat warna terang ke Singapura dengan harga Rp750.000 per ekor dan 3 ekor cupang ke Portugal dengan total harga Rp2,4-juta.
Di beberapa kota juga bermunculan komunitas-komunitas baru pehobi cupang. Salah satunya komunitas Forum Cupang Bogor (FCB) yang dibentuk pada 2014. Menurut ketua FCB, Azis Fauzi, forum itu untuk mewadahi para pehobi cupang di Kota Bogor dan sekitarnya. Komunitas itu juga aktif melakukan kegiatan bersama. “Pada Maret 2017 FCB akan menyelenggarakan Latihan Bersama (Latber) Betta Contest khusus untuk jenis plakat,” tutur pemilik farm cupang Ozi Betta itu. Menurut Syahidin, saat ini marak pemain baru karena untuk membudidayakan cupang relatif gampang. “Tak perlu lahan luas untuk merawat cupang,” ujarnya. Contohnya Syahidin yang membudidayakan cupang di ruang bagian belakang rumah berukuran sekitar 3 m x 3 m. “Sebagian koleksi cupang saya simpan di kamar tidur,” tambahnya.
Menurut juri dari International Betta Congress (IBC) asal Swiss, Sabrina Dichne, perkembangan cupang di Asia tenggara khususnya di Indonesia sangat pesat. “Di benua Eropa dan Amerika cupang hanya sebagai hobi. Di Indonesia cupang sudah menjadi komoditas bisnis. Kualitas cupang di Indonesia juga salah satu yang terbaik di dunia,” ujarnya kepada Trubus saat menjadi juri pada kontes Tangerang International Betta Show 2016 di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. (Imam Wiguna/Peliput: Andari Titisari, Hernawan Nugroho, Muhamad Fajar Ramadhan, dan Riefza Vebriansyah)