Perawatan intensif demi produksi tinggi dan khasiat maksimal.
Sudi Wardoyo semringah menatap hamparan daun afrika yang tumbuh subur. Tanaman berumur 4 bulan itu setinggi 2—3 m dengan daun hijau gelap yang rimbun. Menurut pengamatan petani di Desa Wonokoyo, Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, ukuran daun lebih kecil dibanding panen sebelumnya. “Sebelumnya saya panen ukuran daun afrika besar-besar tetapi warnanya hijau muda,” ujar Sudi.
Itu hasil penanaman di Desa Kayumas, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Situbondo. Dengan bobot basah yang sama, daun kecil lebih berat saat diolah menjadi kering. “Daun berukuran kecil memiliki tulang daun lebih banyak sehingga bobot keringnya lebih besar,” kata Sudi. Benar saja dari 100 kg daun basah, Sudi memperoleh 18 kg daun kering. Padahal saat mengeringkan 100 kg daun yang lebih lebar, hasilnya hanya 16 kg daun kering.
Dataran rendah
Harga daun Vernonia amygdalina kering saat ini mencapai Rp160.000 per kg. Maka per 100 kg ia mendapat keuntungan Rp320.000 lebih banyak. Sudi mengungkapkan, Desa Kayumas berada di dataran tinggi dengan ketinggian 1.050 m di atas permukaan laut sementara Desa Wonokoyo di ketinggian 100 m di atas permukaan laut. “Perbedaan ketinggian lokasi itu membuat daun afrika berbeda,” ujarnya.
Ahli tanah dari Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Iswandi Anas, MSc menuturkan hal senada. Tanaman yang tumbuh di dataran rendah lebih banyak mengalami evaporasi, sehingga ia mengadaptasi diri dengan memperkecil ruang penguapan. “Suhu tinggi di dataran rendah membuat tingkat evaporasi lebih tinggi. Itu mempengaruhi tanaman secara fisiologis,” ujar Prof Iswandi.
Namun, selain faktor suhu yang mempengaruhi evaporasi tanaman, ia menduga karena tanaman daun afrika secara genetik lebih cocok dataran rendah atau sedang. Selain ukuran, daun afrika yang Sudi tanam di dataran rendah memiliki warna daun yang lebih pekat dibanding yang ia tanam di dataran tinggi. Menurut Prof Iswandi warna hijau daun lebih banyak dipengaruhi kandungan nutrisi pada media tanam terutama unsur nitrogen.
“Nitrogen berperan dalam mengatur zat hijau daun. Jika kadar nitrogen tinggi maka hijaunya sangat pekat, jika rendah hijau berkurang,” ujar pengampu mata kuliah Pupuk Biologi itu. Sudi Wardoyo membudidayakan daun afrika sejak September 2012. Ia mendapat bibit daun pahit itu dari seorang teman berupa 6 setek sepanjang 15 cm. Sudi menanam bibit daun afrika di dalam polibag dengan media tanam campuran tanah, pupuk kandang, dan pasir dengan perbandingan 3:2:1.
Sebelumnya ia hanya menggunakan tanah dan pupuk kandang, alias tanpa pasir. Namun, saat tanaman berumur 2—3 bulan, cengkeraman akar lemah dan akhirnya tanaman roboh. “Pasir meski jumlahnya paling sedikit efektif menjaga tanaman tidak roboh,” ujar lelaki kelahiran 23 April 1978 itu.
Organik
Untuk pemupukan, Sudi menggunakan pupuk kompos dengan dosis segenggam per 3 bulan per tanaman. Ia hanya menggunakan pupuk kandang dan kompos, tanpa pupuk kimia. Konsumen kekhawatiran akan residu pupuk kimia. “Dengan menggunakan murni pupuk organik, konsumen merasa lebih tenang saat mengonsumsi daun afrika produksi kami,” ujar Sudi.
Menurut Prof Iswandi Anas, penggunaan pupuk kimia pada tanaman herbal sejatinya tetap aman asal tidak berlebihan. “Tanaman menyerap nitrogen dari pupuk dalam bentuk NH4 atau amonium dan NO3 atau nitrat. Baik pupuk organik maupun kimia, khususnya Urea, sama-sama memberikan unsur nitrogen kepada tanaman dan tanaman menyerapnya untuk pertumbuhan,” ujarnya.
Namun, tanaman herbal yang menggunakan pupuk kimia tidak bisa disebut organik, sehingga kalah dalam pemasaran dibanding tanaman herbal yang menggunakan pupuk organik. Setelah 3 bulan pascatanam, daun afrika dapat pindah tanam ke lahan. Sementara panen perdana ia lakukan saat tanaman berumur 5—6 bulan atau setinggi 2—3 m. Sudi memperoleh 200 g daun afrika basah dan 8 bibit sepanjang 20—30 cm dari sebuah tanaman.
Ia menjual daun afrika basah seharga Rp70.000 per kg, sementara daun kering Rp160.000 per kg. Menurut Sudi secara hitung-hitungan lebih mahal dalam bentuk basah, karena setelah dibuat kering hanya tersisa 10—20% dari bobot basah. Namun, daun afrika basah hanya bertahan 2 hari pascapetik, lebih dari itu daun layu dan tak layak jual. Untuk setek, Sudi belum mengetahui harga pasar.
Pekebun lain, Bambang Andi Priana, di Kabupaten Bogor menjual sepaket bibit berisi 5 tanaman seharga Rp125.000. Ia membudidayakan daun afrika sebanyak 100 tanaman berumur 2 tahun di Mekarwangi, Tanahsareal, Kota Bogor, Jawa Barat. Dengan tanaman sebanyak itu Bambang rutin memanen 15—20 bibit saban hari. Bambang mengemasnya dengan cantik sehingga siap kirim ke seluruh pelosok negeri.
Permintaan bibit dari seluruh Indonesia, termasuk Aceh, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua,” ujarnya. Menurut Bambang, budidaya daun afrika relatif mudah, seperti halnya budidaya singkong. Meski mudah, budidaya daun afrika tetap butuh perawatan intensif agar khasiatnya lebih maksimal. Pada tanaman dengan perawatan intensif pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih optimal. “Sebab, fisiologis maksimal sehingga akar tanaman berkembang baik dan ujung-ujungnya tanaman bisa menghasilkan senyawa-senyawa berkhasiat yang juga maksimal,” ujar Prof Iswandi. (Bondan Setyawan)