Hari itu halaman rumah dan lapangan parkir berubah wajah menjadi gudang paprika. Berkeranjang-keranjang paprika ditumpuk di dekat bak air. Satu per satu buah lonceng itu dibersihkan menggunakan kuas, dikeringkan dengan lap, lalu dikemas dalam dus berkapasitas 10 kg. Dalam hitungan 4 jam, 1—2,6 ton paprika siap dikirim ke Singapura.
Begitulah aktivitas penggemar balap motor itu sejak satu tahun silam. Dua kali dalam seminggu—setiap Senin dan Kamis—pemilik ABS Farm and Trading itu menuai paprika dari kebun seluas 1 ha. Buah dipanen pada pukul 07.00, lantas dibawa ke gudang penyimpanan yang terletak sekitar 200 m dari kebun. Di sana sudah menunggu 6 pekerja yang memilah Capsicum annum itu menjadi 3 kelas (kelas A, B, dan C).
“Konsumen Singapura menginginkan paprika yang ukuran medium,” kata Asep. Dari 175 ton yang dipetik, 0,015% lolos untuk ekspor ke negeri Singa itu. Total jenderal 1—2,6 ton paprika diterbangkan ke sana setiap minggu. Asep melepas dengan harga Rp9.000—Rp11.500 per kg. Buah lonceng yang tidak lolos ekspor dijual di pasar lokal Rp7.000—Rp12.000 per kg. Dari perniagaan itulah ayah 2 anak perempuan meraup pendapatan Rp30-juta per bulan.
Menanjak
Kesibukan serupa terlihat di Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Bandung. Di desa berketinggian 1.100 m dpl itu, setiap hari 40 anggota Koperasi Mitra Usaha Suka Maju menyetor paprika ke kantor koperasi. Mereka memboyong buah lonceng itu dari kebun-kebun di sekitar koperasi dengan dipanggul.
Sama seperti di tempat Asep Tisna, bell pepper itu lantas dipilah-pilah. Dari jumlah yang disetor masing-masing pekebun, 7—8 kg masuk kategori A. Buah yang berukuran besar dan warnanya mulus lantas dikemas rapi dalam kantong plastik besar. Kala hari merembang petang, buah tanaman anggota famili Solanaceae itu siap dikirim ke para pelanggan melalui pengumpul besar di Lembang, Cibitung, Cipanas, dan Jakarta.
Sejak setahun terakhir, bisnis paprika di tanahair memang tengah menggeliat. Kemarakan didukung kembalinya pasar ekspor. “Importir sih minta banyak untuk dikirim ke Singapura. Mereka minta 4 ton, tapi saya hanya sanggup memasok 1 ton. Itu juga kalau barangnya ada,” kata Atep Budiman, anggota PD Sampurna Jaya.
Pasar Taiwan sendiri tidak benar-benar tertutup bagi Indonesia. Itu terlihat dari Saung Mirwan yang tetap mengekspor ke sana sampai 2004. Ekspor terhenti karena biaya transportasi dan harga jual yang diterima tidak sesuai. Saingan dari Malaysia berani memberi harga lebih murah ketimbang harga yang ditawarkan Saung Mirwan.
Bulan madu paprika pun dirasakan di pasar lokal. Harga bell pepper merambat naik sejak akhir 2004. Kalau semula cabai manis grade A hanya Rp12.000 per kg, kini naik menjadi Rp25.000 per kg pada Juni dan Juli. Hal sama terjadi pada harga paprika kelas B dan C.
Meski harga meroket, para pekebun justru kewalahan memenuhi permintaan pelanggan. Misalnya, Saiful di Surabaya. Ia hanya sanggup memasok 80 kg per tiga ke masing-masing pasar swalayan, seperti Hero, Giant, Hypermarket, Makro, dan Carrefour. Padahal permintaan sebenarnya bisa lebih banyak daripada itu.
Awan gelap
Kondisi itu bak pil ajaib penyembuh luka hati para pemain yang sempat patah arang mengusahakan paprika. Dua tahun silam mendung seperti menggelayuti bisnis buah lonceng itu. Kala itu, sekitar awal 2003 banyak eksportir rontok. Musababnya negara-negara importir seperti Taiwan dan Hongkong menutup pintu untuk buah lonceng Indonesia. Pasokan paparika dari tanahair ditolak lantaran isu lalat buah. Padahal, faktor itu prasyarat paprika lolos masuk ke Taiwan dan Hongkong.
Pantas bila Asep menghentikan pengiriman paprika ke Taiwan sejak awal 2003. Ia pun terpaksa melirik pasar lokal. Maklum dari total ekspor yang semula mencapai 16 ton, hanya 2,6 ton yang diterima importir setelah isu lalat buah mencuat.
Padahal kondisi pasar lokal pun setali tiga uang. Sekitar 2003, belum banyak orang Indonesia yang mengenal. Konsumen terbatas hanya untuk restoran, pasar swalayan, hotel. “Untuk menjual paprika ke pasar lokal agak sulit. Untung ada permintaan yang besar dari Taiwan dan Hongkong,” kata Hendi. Lebih-lebih, jika musim cabai, maka jumlah paprika berlebih. Hal itu menyebabkan harga paprika jatuh. “Tidak ada cara lain, paprika yang sudah dipanen terpaksa dijual daripada busuk,” ujar Atep. Berdasarkan hitungan kasar, harga jual akan seimbang dengan biaya yang dikeluarkan bila harga di kisaran Rp3.000—Rp6.000 per kilogram.
Pekebun marak
“Kalau kini pasar terbentang, itu lantaran masyarakat Indonesia di berbagai kalangan sudah banyak mengenal komoditas itu. Pasar lokal mulai marak,” ujar Hugo, bagian pemasaran dari Saung Mirwan. Menurutnya, sekarang permintaan pasar lokal naik 50%.
Itu tercermin dari pasokan Saung Mirwan yang biasanya 1 ton kini menjadi 2 ton per hari. Putri Segar juga mengalami hal yang sama. Total penjualan per hari bisa mencapai 150 kg yang tersebar di tiap Carrefour. Perusahaan sayuran berlokasi di Lembang itu memasok paprika hijau, merah, dan kuning. Carrefour menghendaki paprika kelas A berdiameter 8—12 cm dan bobot 300 g. Harga masing-masing di salah satu swalayan di Depok Rp21.800 untuk merah, Rp29-ribu kuning, dan hijau Rp11.500/kg.
Pantas jika para pekebun pun kembali bergairah menanam kerabat kentang itu. Kini muncul banyak pekebun yang sebelumnya sebagai petani labu dan profesi di luar tani. Mereka tertarik karena pasar parika yang terbuka dan keuntungan yang menggiurkan.
Contoh Agus, anggota koperasi Mitra Suka Maju, Bandung. Awalnya ia hanya anggota koperasi. Tertarik dengan keuntungan paprika, ia bergabung menanam paprika di 2 green house ukuran 3.500 m2 dan 4.500 m2 pada 1999. Buatnya pemasaran paprika tidak sulit. “Di sini ada pengumpul yang langsung membawa paprika ke pasar swalayan,” katanya. Salah satu pengumpul paprika terbesar dari koperasi itu yaitu Rene dari Bogor. Seminggu 3 kali ia mengambil sebanyak 700 kg yang akan di pasarkan ke Jakarta, Lembang, Cibitung, dan Cipanas. (Lastioro Anmi Tambunan)