Pada 1997, beberapa orang mencoba membuka tambak seadanya, tapi hasilnya tak pernah memuaskan. Kini sebutlah nama Teluk Selangir sekali lagi. “Di sana berjuta harapan kami gantungkan,” kata Adam Maggu, warga Bengalon. Bersama Community Development (COMDEV) Kaltim Prima Coal (KPC), 110 orang anggota Kelompok Tani Teluk Jaya bahu membahu merehabilitasi tambak.
Begitulah suasana di Teluk Selangir saat ini. Sejak 2 tahun silam, kegiatan merehabilitasi tambak tampak bergairah. “Dulu kami nelayan, tapi lama kelamaan hasil ikan dari laut menurun,” kata H Subair, petambak pelopor di kawasan itu. Karena alasan itulah, delapan tahun silam pria asal Sulawesi itu membangun tambak seluas 2 ha seorang diri. Pilihan Subair diikuti oleh sebagian besar warga Desa Muara Bengalon yang juga merasa kesulitan menangkap ikan.
Sayang, membangun tambak tak semudah membalikkan telapak tangan. Pengetahuan yang terbatas mengenai pertambakan membuat hasil panen windu dan bandeng sering luput dari genggaman. Musababnya sederhana, kedalaman air tambak kurang dari 70 cm. Windu pun dihantui kematian karena fl uktuasi kadar garam dan suhu tidak terkendali. Benih yang ditebar juga sering hilang karena air pasang masuk tambak sehingga menghanyutkan penghuninya.
Di saat itulah petambak menghadapi 2 pilihan, kembali melaut atau tetap bertambak. Beruntung pada awal 2000-an, PT Kaltim Prima Coal mengetahui keberadaan para petambak yang tengah mengalami kesulitan. Lewat sebuah divisi bernama Community Development alias comdev perusahaan penambangan batubara itu tergerak untuk membantu. Namun, sebuah syarat diajukan pada petambak. Perusahaan bukanlah sinterklas yang memberikan hadiah pada anak kecil.
Swadaya petambak
Para petambak yang tergabung dalam Kelompok Tani Teluk Jaya harus menyusun rencana perbaikan sendiri. Petambak jugalah yang harus menentukan kebutuhan yang diperlukan untuk rehabilitasi. Perusahaan hanya bertindak sebagai mediator antara petambak dan pihak terkait.
“Intinya, kita nggak mau rehabilitasi fi sik dan normalisasi tambak bersifat top down, tapi harus bottom up,” kata Agus Djaenal, staf offi cer COMDEV PT KPC. Berbagai pertemuan antara petambak dengan staf di lapangan pun dilakukan untuk menghasilkan kesepakatan. Bahkan terkadang mereka harus menginap di kawasan tambak.
Setelah melewati berbagai rangkaian pertemuan, disepakati perusahaan membantu petambak dengan menggandeng Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP), Jepara. Balai itu diharapkan dapat mentransfer teknologi pertambakan tradisional plus dan semiintensif yang ramah lingkungan. Sejak setahun silam, staf BBPBAP ditarik untuk memberi contoh cara bertambak yang benar. Saat Trubus berkunjung ke Teluk Selangir, tampak 4 ha tambak tradisional lus dan semiintensif menjadi contoh para petambak di sekitarnya.
Seiring dengan itu, dilakukan juga rehabilitasi fi sik dan normalisasi tambak. Total jenderal, dibutuhkan Rp3-miliar untuk mengubah struktur tambak seluas 80 ha. Yang menggembirakan, COMDEV PT KPC hanya menggelontorkan dana Rp420-juta yang meliputi biaya operasional alat berat berupa biaya operator dan bahan bakar. Selebihnya, pengerjaan dilakukan oleh para petambak sendiri secara bergotongroyong. “Kami hanya sebagai katalisator dan mediator. Artinya, petambak sendiri yang bergerak. Mereka telah mampu memecahkan masalah secara mandiri,” kata Agus.
Kembangkan jeruk
Peran COMDEV tak hanya membantu para petambak agar mandiri. Perusahaan juga membantu mengembangkan jeruk di Rantaupulung, Sangatta, sejak akhir 2003. Maklum, potensi jeruk di Rantaupulung luar biasa. “Di sana produksi jeruk bisa 50 kg per pohon. Padahal, produksi jeruk nasional hanya 25 kg per pohon,” kata Yustinus Setiawan, staf COMDEV PT KPC. Melihat kenyataan itu, bersama Bina Swadaya, yayasan yang bergerak di bidang pengembangan pertanian, perusahaan mendatangkan 20.000 bibit jeruk untuk dikembangkan.
Menurut Yustinus, pengembangan sentra jeruk turut menyangga program Gerdabangagri alias Gerakan Daerah Pen gembangan Agribisnis yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. “Pemerintah saat ini memang sedang menggenjot sektor agribisnis, perkebunan dan kehutanan,” kata Yusak panggilan akrab Yustinus. Karena itu COMDEV juga didukung dinas pertanian setempat untuk mengembangkan sentra jeruk di Rantaupulung.
Walau begitu, pengembangan sentra jeruk pernah menemui kendala. “Bibit jeruk yang didatangkan dianggap membawa CPVD. Itu menjadi isu besar di kabupaten ini,” katanya. Untuk mengatasinya perusahaan batubara terbesar di Indonesia itu mengundang peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Buah (Balitbu) Solok, dan Loka Penelitian Jeruk dan Hortikultura Subtropik (Lolitjeruk) Tlekung untuk mengatasinya. Ternyata, di beberapa tempat malah ketahuan CVPD telah menyerang jeruk lokal Rantaupulung sejak dulu kala. Maka dilakukanlah eradikasi sebagai antisipasi meluasnya CVPD.
Isu itu ternyata membawa berkah. Kedua peneliti yang didatangkan menemukan jeruk varietas lokal yang tak ditemukan di daerah lain. Rasa jeruk itu manis luar biasa dan tidak terserang CVPD. Mereka menyebutnya sebagai jeruk keprok borneo prima (baca: Spektakuler! Ada Keprok Kuning di Tempat Panas, Trubus hal. 42). “Memang di balik musibah ada berkah. Munculnya borneo prima bagai menemukan mutiara yang terpendam,” kata Yusak.
Pemberdayaan masyarakat
Begitulah beberapa aktivitas community development yang telah dilakukan oleh PT KPC. Menurut Harry Miarsono, general manager external aff airs and sustainable development PT KPC, kegiatan itu memang menjadi program perusahaan. Itu sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitar lokasi penambangan. “Pada prinsipnya, kita peduli pada masyarakat. Apalagi yang bersifat kemitraan dan meningkatkan keterlibatan masyakarat,” katanya.
Selain rehabilitasi tambak dan pengembangan jeruk, Soni—panggilan akrab Harry Miarsono—mencontohkan beberapa kegiatan lain untuk pemberdayaan masyarakat. Sebanyak 473 pekebun di Bengalon dan Rantaupulung difasilitasi bibit pisang dan durian. Di daerah Teluk Pandan, pekebun kakao diberi pelatihan untuk meningkatkan produksi dan mengolah pascapanen. Pun di Sangatta Selatan, koperasi yang bergerak di bidang agribisnis dibantu pompa air untuk pengairan lahan.
Kegiatan community depelopment juga merambah ke sektor lain. Sebut saja pelatihan mekanik roda dua yang memang dibutuhkan di kota baru itu. Begitu juga pelatihan menyablon bagi para pemuda di wilayah Bengalon. (Destika Cahyana)