Trubus.id — Banyak anak muda jika diminta memilih antara menjadi petani atau pekerja kantoran, sebagian dari mereka pasti akan memilih untuk tidak menjadi petani. Meskipun begitu, tidak sedikit juga anak muda yang memilih terjun di sektor pertanian karena melihat peluang yang menjanjikan.
Dewa Putu Arta Jaya, S.P., M.Si., M.Sc., salah seorang anak muda yang memilih bertani. Sehabis lulus kuliah, Arta memutuskan melanjutkan bertani di kebun orangtua. Ia mengelola dua kebun cengkih di Desa Banjar dan Desa Banyusari, keduanya di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.
Di Desa Banjar ada kebun cengkih seluas 5.000 m2 (50 are) dan Desa Banyusari 3.000 m2 (30 are). Total, Arta mengebunkan 115 pohon cengkih berumur 10–42 tahun di lahan 0,8 hektare.
Ia memanen cengkih setahun sekali pada Juli–September. “Kami memanen cengkih setiap hari selama dua bulan mulai Juli,” kata anak pertama dari empat bersaudara itu.
Ada lima pekerja yang membantu Arta menuai cengkih. Sementara itu, hanya dua pekerja yang bertanggung jawab melakukan perawatan harian.
Kebun cengkih kelolaan Arta menghasilkan 4,5 ton cengkih segar selama setahun. Sebenarnya, produksi masih bisa ditingkatkan lagi hingga 5 ton, tetapi pohon belum siap karena masih masa pemulihan setelah sakit.
Hal ini karena pohon cengkih di kebun Arta terserang penyakit cendawan akar putih pada 2016. Arta mengubah sistem budidaya cengkih dari konvensional menjadi semiorganik. Ia meyakini pohon cengkih yang tak sehat karena terlalu banyak “mengonsumsi” pupuk kimia daripada pupuk organik.
“Kami tambahkan kompos yang mengandung trichoderma dan bio urine sapi,” tutur Arta.
Selang dua tahun pascaperlakuan, produktivitas kebun cengkih itu meningkat dari 3 ton menjadi 4,5 ton. Arta optimis hasil panen berikutnya meningkat terus karena tanaman semakin sehat dan produktif.
Peningkatan produksi dan kesehatan cengkih di kebun itu juga mengubah persepsi tetangga Dewa. “Sejak saat itu tetangga malah banyak yang datang ke rumah untuk konsultasi cara pengendalian penyakit cendawan akar putih,” kata Arta.
Ia membuktikan bahwa mahasiswa pertanian tak hanya pandai soal teori, tetapi juga sanggup mempraktikannya di dunia nyata. Arta menjual cengkih segar kepada pengepul di Bali seharga Rp44.000 per kg.
Adapun harga cengkih kering lebih tinggi mencapai Rp120.000 per kg. Tiga kilogram cengkih segar menghasilkan satu kilogram cengkih kering atau perbandingan 3:1. Ia hanya menjual cengkih basah karena keterbatasan lahan pengeringan.
Menurut Arta, anak-anak muda saat ini tak banyak yang menjadi petani lantaran persepsi petani tidak mempunyai banyak uang. “Persepsi itu hingga hari ini masih banyak. Para petani juga jarang mau menyekolahkan anaknya di jurusan pertanian,” kata lelaki kelahiran 9 November 1993 itu.
Namun, semua itu ia patahkan dengan omzet Rp150 juta per tahun setara Rp12,5 juta/bulan dari hasil budidaya cengkih.
“Tinggal kita mau merawat tanaman dengan baik atau tidak. Kalau perawatan baik maka mendatangkan banyak uang,” kata magister pertanian alumnus Ibaraky University, Jepang, itu.