Trubus.id— Untoro Hadi Suharto rutin mengekspor 2 ton salak ke beberapa negara di Asia Tenggara dan 200 kuintal salak ke Eropa setiap dua pekan sekali. Negara tujuan di Asia Tenggara meliputi Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Adapun tujuan ekspor ke Eropa yakni Belanda.
Menurut data International Trade Center (ITC) 98% kebutuhan salak di Kamboja terpenuhi dari Indonesia. Untoro mengekspor salak varietas nglumut yang dibudidayakan secara organik.
Salak nglumut banyak dibudidayakan oleh petani di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Ia memperoleh pasokan salak dari 5 kelompok tani mitra yang tersebar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Total luas lahan sekitar 50 hektare yang dikelola oleh 400 petani. Lahan itu sudah tersertifikasi organik oleh Control Union sejak 2010. Untoro mengekspor salak nglumut organik di bawah bendera PT Zalac Food Indonesia.
Saat panen raya Desember—Januari, 90% salak bermutu baik dan masuk kategori kelas ekspor. Namun, di luar panen raya— Februari hingga November—mutu salak sedikit menurun, yakni hanya 80% pasokan yang masuk kelas ekspor.
Kategori buah ekspor berbobot minimal 100 gram per buah. Tingkat kematangan 70%. Tiap buah minimal terdiri dari 3 biji dengan ukuran daging buah semuanya besar. Untuk mengetahuinya dilihat dari tampilan luar yang berbentuk bulat lonjong dan presisi.
Kulitnya mulus mengilap tanpa duri. Budidaya organik juga menjadi persyaratan untuk ekspor. Musababnya kesegaran buah lebih tahan lama. Salak organik mampu bertahan di suhu ruang hingga 7 hari.
Bandingkan dengan masa simpan salak budidaya nonorganik yang hanya 4 hari di suhu ruang. Menurut Untoro kualitas buah yang diminta oleh pasar Asia Tenggara dan Eropa sama saja. Perbedaannya dari segi pengemasan.
Permintaan dari pasar Eropa buah dikemas dalam kardus khusus pengemasan buah yang berisi informasi kadar pH, nama perusahaan yang mengirim, dan total bobot buah. Setiap kardus berisi 9,5 kg salak.
Ia menjual Rp30.000 per kg dengan catatan belum termasuk ongkos pengiriman. Pengiriman ke pasar Eropa masih menggunakan pesawat terbang lantaran jumlahnya belum terlalu banyak.
Sementara pengiriman ke Asia Tenggara menggunakan kapal dengan kemasan keranjang buah berbahan plastik. Bobot tiap keranjang sama seperti pengemasan ke Eropa, yakni 9,5 kg. Harga jual ke pasar Asia Tenggara lebih murah lantaran kuantitas lebih banyak, yakni Rp15.000 per kg.
Untoro mengatur suhu udara dalam kontainer pada 10—20°C. Ia rutin mengekspor salak sejak 2020 dan cara itu terbukti aman. Untoro menjual salak tidak lolos sortir seharga Rp10.000— Rp15.000 per kg ke pasar swalayan di kota besar seperti Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya.
Untoro membeli dari pekebun dengan harga Rp5.000—Rp7.000 per kg. Menurut Untoro harga itu tergolong tinggi dibandingkan dengan harga yang dipatok oleh pengepul lain yang hanya Rp4.000— Rp5.000/kg. Untoro membeli dengan harga lebih tinggi lantaran mampu menaikkan nilai jual dengan melakukan penanganan buah sebelum dijual.