Trubus — Waktu hampir tengah malam ketika telepon Emily Sutanto berdering. Petani di Kota Salatiga, Jawa Tengah, mengabarkan kemungkinan melesetnya pengiriman wortel esok pagi. Jumlah panen sedikit, sudah begitu banyak yang rusak sehingga tidak layak untuk pasar mancanegara. Emily mencoba tenang meskipun agak panik. “Pembeli mancanegara sangat ketat. Sekali saja kami gagal memenuhi target, mereka tidak akan membeli lagi,” katanya.
Ia lantas menghubungi karyawan bagian pengadaan untuk mengunjungi lahan. “Malam-malam mereka memeriksa kebun petani mitra yang membudidayakan wortel organik,” tuturnya. Dalam gelap malam, pegawai Emily dan petani mitra mencabut wortel satu per satu dari tanah dan memastikan ukuran dan kualitasnya layak untuk ekspor. Akhirnya jumlah yang ditargetkan tercapai lalu meluncur dengan kargo udara sesuai jadwal.
Emily memang menjaga komunikasi intens dengan petani sehingga mereka tidak segan menghubungi langsung begitu ada masalah. Namun, tantangan terbesarnya adalah menghadapi pesaing yang menggunakan cara kotor. Petani mitra Emily kerap didekati pembeli yang berani menawarkan harga lebih tinggi. Bahkan beberapa pembeli itu menggandeng oknum dari instansi berwenang di sana.
Untungnya, komunikasi akrab itu jugalah yang membuat petani enggan berpaling. Memperlakukan petani sebagai keluarga menjadi cara Emily mempertahankan bisnis yang ia rintis dengan jatuh bangun. (Argohartono Arie Raharjo)