Pada Januari saja dengan total produksi 44.356 ton, harga borongan untuk cabai besar di Pasar Induk Kramatjati bertengger di posisi Rpl3.024/kg. Februari 2004 harga sedikit turun karena terjadi peningkatan produksi hingga 55.134 ton.
Naik-turun harga cabai memang suatu yang lumrah. Cabai termasuk komoditas rempah yang tidak bersubstitusi. Ia tidak bisa digantikan oleh lada, misalnya, yang sama-sama memberikan rasa pedas. Kala produksi melampaui daya serap pasar, harga otomatis turun. Sebaliknya jika kekurangan pasokan, harga langsung membumbung. Data dari tahun ke tahun menunjukkan korelasi negatif antara harga dan produksi.
Berdasarkan volume pasokan dan permintaan itulah harga cabai dapat diprediksi. Produksi Maret 2004 rendah terkait dengan luas tanam Desember 2003. Si pedas itu mulai dipanen pada umur 3 bulan sejak tanam. Pada Desember 2003 luas penanaman cabai di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mengalami penurunan. Luas tambah tanam di ketiga provinsi sentra utama cabai itu—memasok 65% kebutuhan cabai nasional—hanya 3.041 ha.
Kebiasaan pekebun yang selalu menanam cabai atas dasar harga yang tengah berjalan, menjadi alasan untuk tidak memperluas lahan. Harga cabai pada November—Desember 2003 memang rendah. Selama November rata-rata di Pasar Induk Kramatjati Rp6.191, lalu Desember turun lagi hingga Rp5.880/kg.
Mingguan
Akibat pola pikir yang keliru dan sifat latah para pekebun, harga cabai selalu berayun-ayun, kadang tinggi, kadang rendah. Ketika harga naik mereka beramai-ramai menanam. Maka bisa diduga, 3 bulan kemudian harga turun. Begitu seterusnya. Seharusnya pekebun menanam cabai dengan pertimbangan luas tanam pada saat itu. Jika luas penanaman di sentra-sentra melebihi kebutuhan, ya, jangan menanam.
Pasalnya, serapan pasar cabai terbatas. Tingkat konsumsi cabai per kapita Indonesia dari tahun ke tahun tidak berubah, 4,0 kg/tahun atau 0,37 kg/bulan. Kalau pun ada penambahan permintaan lebih disebabkan perkembangan penduduk. Dengan asumsi 80% dari jumlah penduduk Indonesia—pada 2003 sekitar 215-juta jiwa—mengkonsumsi cabai, kebutuhan cabai nasional 763.680 ton/tahun atau 63.640 ton/bulan.
Artinya apa? Gejolak harga bisa diredam andai produksi mendekati angka kebutuhan—bisa lebih atau kurang, tapi tidak terlalu banyak. Namun, itu pun harus memperhatikan sebaran produksi. Anggota keluarga kentang-kentangan ini tidak seperti padi atau bawang yang bisa disimpan lama. Daya simpan cabai paling lama 1 minggu. Karena itu pertimbangan penanaman harus mengacu pada kebutuhan dan pasokan setiap minggu.
Harga tak bisa stabil bila penanaman terfokus pada bulan-bulan tertentu, sementara bulan lain kosong. Kebutuhan konsumsi cabai setiap minggu sekitar 15.000 ton. Jadi, kalau sekarang dibutuhkan luas tambah tanam sekitar 5.000 ha/bulan, setiap minggu sebaiknya hanya ditanam 1.250 ha. Toh, cabai tak mengenal musim, kapan pun bisa ditanam, kendati dengan cara penanganan budidaya sedikit berbeda.
Namun tentu saja, permintaan itu juga pasang surut. Menghadapi Lebaran, misalnya, permintaan cabai naik 10—20%. Begitu juga pada bulan-bulan yang banyak kenduri, kebutuhan akan cabai meningkat secara signifikan. Pada musim hujan agak sedikit berkurang, mungkin karena ada kekhawatiran sakit perut jika mengkonsumsi Capsicum annuum itu terlalu banyak.
Kuota tanam
Untuk mewujudkan keseimbangan harga, perlu kuota luas tambah tanam. Masing-masing daerah perlu mengatur jadwal penanaman dan luas tanam. Jangan sampai kejadian seperti 5 tahun lalu terulang. Karena dapat fasilitas kredit usahatani, pekebun beramai-ramai menanam cabai. Akibatnya harga jatuh ke titik terendah, Rp500/kg di tingkat pekebun. Kalau sudah begitu jangankan meraih untung, untuk biaya petik saja tidak cukup.
Di lapangan para petugas mungkin kesulitan mengatur waktu tanam dan kuota di masing-masing sentra atau pekebun. Namun, dengan informasi lengkap dan jelas, mereka pasti menyadari pentingnya pengaturan pola tanam. Data-data produksi, kebutuhan, dan pasar pada beberapa tahun lalu bisa dipelajari sebelum memutuskan untuk menanam.
Disentra, umumnya pekebun mempunyai jadwal tetap penanaman. Misanya di Rembang, pekebun memilih waktu tanam Agustus—September. Brebes penanaman besar-besaran pada Mei—Juni; Kediri, April—Mei; Tasikmalaya, Magelang, dan Lampung, sepanjang tahun. Sayangnya, luas penanaman di masing-masing sentra selalu berubah dari waktu ke waktu. Masalah ini perlu segera diatasi agar produksi cabai sesuai kebutuhan.
Itulah harapan semua insan yang terlibat dengan cabai. Termasuk konsumen yang menyenangi masakan pedas, mereka tidak ingin harga cabai mengalami gonjang-ganjing. Demikian pekebun berharap tanaman cabai yang dikelolanya bisa memberikan kepastian keuntungan. Toh ini tidaklah sulit, karena informasi mengenai cabai bisa dengan mudah didapat, baik dari pasar induk, penjual benih, Dinas Pertanian setempat, maupun Dirjen Bina Produksi Hortikultura. (Ir Sutrisno Soemodihardjo, direktur Direktorat Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman, Departemen Pertanian)