Pemiliknya, Icha, sejak 2 bulan lalu mempensiunkan greenhouse itu. Penyebabnya, larangan eksporpaprika yang dikeluarkan oleh Bureau of Animal and Plant Health Inspection and Quarantine (BAPHIQ) Taiwan.
Sejak Desember 2003 tak tampak lagi buah-buah lonceng merah, kuning, dan hijau, bergantungan dalam greenhouse seluas 800 m2 itu. “Mau ditanam baby kailan saja,” ujar Icha, pekebun di Kampung Panyairan Jompo, Desa Cigugurgirang, Lembang, itu.
Meski begitu, Icha masih mengelola greenhouse paprika lain seluas 950 m2 yang berisi tanaman paprika tengah berproduksi. “Di desa kami 5 orang yang berhenti. Mereka sudah membongkar greenhousenya,” tutur ayah 2 putra itu. Di Desa Cigugurgirang setiap pekebun paprika rata-rata memiliki 1—2 rumah tanam seluas masing-masing 1.000 m2 .
November 2003
Badai yang menghantam pekebun paprika itu datang pada minggu pertama November 2003. Saat itu harga paprika merah, kuning, dan hijau di tingkat pekebun melorot tajam hingga mencapai setengahnya. Paprika merah dan kuning semula Rp8.000—Rp9.000/kg turun menjadi Rp3.000—Rp4.000/kg. Yang hijau dari Rp7.000/kg menyentuh hargaRp2.000/kg. Padahal, untuk mencapai BEP, pekebun minimal harus menerima harga Rp5.000/kg.
Dampaknya banyak pekebun menghentikan produksi. Sentra paprika Parongpong, Bandung, misalnya, diperkirakan 40% luas tanam menyusut. Banyak pekebun yang beralih membudidayakan komoditas sayuran lain seperti baby kailan serta tanaman hias.
Pekebun memang kalang kabut. Di benak langsung terbayang kerugian. Contohnya Jajang Rahmat di Kampung Panyairan yang merugi hingga Rp8-juta. Modal waktu menanam di lahan seluas 1.050 m2 mencapai Rp35-juta. “Panen pertama dan kedua, harga masih normal sekitar Rp8.000—Rp9.000 kg. Menginjak panen ke 4 dan 5, harga jatuh,” ujar suami Astikah itu. Padahal, sebagian modal itu dipinjam dari sanakkerabat.
Petaka itu imbas dari larangan ekspor yang dikeluarkan BAPHIQ Taiwan, semacam Balai Karantina di sini. Larangan itu berlaku untuk 13 komoditas hortikultura seperti tomat, paprika, jeruk, mentimun, nanas, alpukat, mangga, manggis, anggur, melon, appel, rambutan, dan cabai. Minimal ada 40 negara di berbagai penjuru dunia yang masuk daftar penolakan itu.
Harap mafhum, lalat buah bersifat kosmopolit. Penyebarannya meluas ke berbagai penjuru dunia (lihat grafis Lilipu Kosmopolit hal 89). Kebijakan itu diambil BAPHIQ lantaran Indonesia dianggap mempunyai 3 spesies lalat buah yang belum ada di Taiwan: Bactrocera papayae, B. zonata, dan B. carambolae (baca: Lalat Buah Dikambinghitamkan, halaman 88). “Sebetulnya yang Bactrocera zonata tidak ada di sini. Yang ada B. carambolae,“ ujar Daryanto, direktur Perlindungan Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman.
Tidak terlalu besar
Taiwan memang salah satu negara tujuan ekspor paprika selain Hongkong. Balai Karantina pada 2001 mencatat, nilai ekspor paprika ke Taiwan mencapai Rp970-juta dengan total volume 105.124 kg. Jumlah itu meningkat terus dari tahun ke tahun. Pada 2002 total volume 190.055 kg, senilai Rp1,78-miliar. Hingga pertengahan Agustus 2003 nilainya Rp1,5- miliar (155.995 kg).
“Sebetulnya jumlah ekspor kita ke sana tidak terlalu besar jika dibandingkan ke Hongkong,” papar Dr Soemarno, Dirjen Bina Produksi Hortikultura. Meski demikian karena efek yang ditimbulkan luas, upaya mementahkan putusan BAPHIQ terus diupayakan.
Sebelum regulasi efektif berlaku per 1 November 2003, sejumlah delegasi dari Departemen Pertanian serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan sudah mengunjungi BAPHIQ. “Di sana kami menjelaskan prosedur penanaman paprika di sini. Termasuk tentang keberadaan lalat yang ditakutkan oleh Taiwan,” ucap Daryanto. Namun karena B. papayae dan B. zonata ada di sini, Indonesia pun tetap terkena peraturan.
Tanaman lain
Dari lacakan Trubus di berbagai daerah menunjukan pelarangan ekspor paprika cukup berpengaruh terhadap pekebun. Contoh, Mas’ud dari PT TunasAgrindo Nusantara. Sejak larangan berlaku, perusahaan agribisnis di Pasuruan itu secara bertahap mengurangi produksi. Semula 1 ton menjadi 500 kg/ h/bulan.
“Itu dampak turunnya harga yang mencapai 30% akibat larangan ekspor paprika,” tutur Mas’ud. Larangan ekspor berefek domino. Perusahaan di Desa Tlogosari, Kecamatan Tutur, itu kini mulai kesulitan menggaji karyawan. Untuk menyelamatkan periuk nasi pegawainya, beberapa tanaman lain mulai diusahakan. “Kita lagi mulai menanam peterseli dan bunga krisan,” ujar Mas’ud.
Importir benih ikut kena getahnya. “Besar kemungkinan penjualan benih turun hingga 20% pada 2004,” ujar Ir Edi Sugianto, dari PT Joro, salah satu produsen benih paprika. Itu imbas akibat berkurangnya pekebun yang membudidayakan paprika.
Masih bertahan
Bagi PT Saung Miran ulah Taiwan tak begitu berpengaruh. Sebab selain ke Taiwan, perusahaan di Bogor itu juga mengekspor paprika ke negara lain. “Masih ada pasar lain seperti Hongkong, Singapura, dan Kanada,” ujar Bambang Siswantoro dari Saung Mirwan. Volume ekspor ke Taiwan cuma 3—4 ton dari total volume 12 ton per bulan.
Untuk sementara karena produksi melorot tajam, harga paprika di pasar domestik merangkak naik. Itu antara lain dinikmati oleh Asep Tisna, pekebun di Kampung Sukamaju, Desa Cigugurgirang, Lembang. Ia mengelola 7 greenhouse di lahan 1 ha untuk beragam jenis seperti spartakus, manzanila, athena, edison, acadia, dan capino. “Harganya bahkan melebihi harga ekspor,” ucap ayah 2 putra yang setiap bulan melepas 4—6 ton paprika ke pasar lokal. Asep memprediksi kondisi paprika kembali normal sekitar Maret 2005.
“Kami juga tidak terlalu pusing kok,” ujar Roni Gunawan dari PT Geka Farmindo. Perusahaan di Cipanas, Bogor, itu tetap menanami greenhousenya dengan paprika. Total setiap 3 bulan 10ton paprika dilempar ke rekanan dan pasar lokal. “Yang penting jeli memilih jenis. Jangan asal ikut-ikutan,” ujarnya.
Dari lacakan Trubus di beberapa pasar swalayan sendiri menunjukkan harga paprika kini cukup tinggi. Sekilo paprika merah dan kuning dijajakan Rp20.125. Yang hijau mencapai Rp15.000. (Dian Adijaya S)