Mobil merayapi jalan terjal berliku untuk mengangkut cabai. Dari 4 desa: Puspamukti, Pusparaja, Cigalontang, dan Jayapura puluhan ton cabai dikirim ke Jakarta dan Bandung.
Dari kota Tasikmalaya, jarak Cigalontang sekitar 30 km. Kondisi sebagian jalan yang buruk, menyebabkan waktu tempuh ke sentra cabai itu relatif lama—3 jam. Pekebun mengeluhkan rusaknya jalan di sentra itu. Kendaraan yang mengangkut cabai harus bersusah payah untuk keluar. Tentu saja hal itu menjadi kendala yang cukup berat dialami pekebun.
Hamparan cabai beragam umur senantiasa terlihat. Di daerah berbukitbukit itu ada yang baru ditanami, remaja, dan siap panen. Sebab daerah itu memang tidak pernah berhenti ditanami cabai. Seolah tak mengenal musim, setiap saat pekebun bisa menanamnya.
Digilir
Luas penanaman di Cigalontang ratarata 344 ha/tahun atau 25 % dari total seluruh Kabupaten Tasikmalaya yang seluas 941 ha/tahun. Angka itu masih jauh lebih kecil dibanding dengan sentra Brebes yang pada 2002 menanam seluas 3.327 ha. Atau dengan Nganjuk, Jawa Timur, yang pada 2003 seluas 1.431 ha.
Pekebun menanam cabai di lajur-lajur bedengan selebar 1 m dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm. Di sela-sela hamparan ada sebagian petak sawah yang ditumbuhi padi menguning. Begitulah, meskipun setiap musim mereka menanam cabai, bukan berarti suatu lahan ditanami cabai terus-menerus. “Paling 2 kali tanam cabai, selanjutnya ditanami padi atau sayuran,” kata Daday, pekebun yang memiliki ha lahan. Mereka menyadari jika terusmenerus ditanami cabai, pH tanah turun, sehingga produktivitas menukik tajam. “Selain itu untuk memutus siklus hama” tambahnya.
Agar produksi berkelanjutan, Daday mencari lokasi baru. “Kalau bisa sih membuka lahan baru, tanahnya masih bagus untuk menanam cabai hingga produksi mencapai 1,5 kg/tanaman” ujar pekebun berputra 2 itu. Tak heran jika kini kebun cabainya menyebar ke kecamatan sekitar, di antaranya Leuwisari dan Salawu. Sedang di lahan yang sudah diusahakan produktivitasnya rata-rata 0,9—1 kg/tanaman.
Tak jera
Bersama sang kakak, Apong, ia menanam 10 ha kebun cabai. Lahan mereka sewa Rp7—juta per hektar selama setahun. Dengan populasi 21.000 tanaman per ha, setiap 3 hari ia memanen 2 ton cabai hijau. Harga cabai hijau di tingkat pekebun saat ini Rp2.500—Rp3.000/kg. Setiap tanaman menghabiskan biaya produksi rata-rata Rp2.000. Dengan produktivitas 20 ton/ha, setidaknya ia bisa mengantongi untung Rp10-juta/ha.
Cabai memang menjanjikan, tapi bukan berarti mereka tak pernah mengalami kerugian. Tahun lalu dari 5 ha lahan, Apong menderita kerugian Rp80—juta. Saat itu harga cabai hanya Rp500—Rp1.000/kg karena kelebihan produksi. “Di Cigalontang saja hampir 2.000 orang menanam cabai. Mungkin karena itu harga anjlok” ujarnya. Namun pengalaman pahit itu tak membuatnya jera.
Musim tanam berikutnya, ketika orang lain kapok, mantan pekebun kentang di Dieng itu tetap menanam. Karena tak banyak orang menanam, harga membaik—mencapai Rp3.000/kg. Dengan volume produksi yang sama, setidaknya ia meraup untung Rp100-juta dari 5 ha. Kerugian masa tanam sebelumnya pun tertutupi.
Daday selain menanam sendiri juga menampung cabai dari pekebun. Minimal 100 pekebun menjadi anggota plasmanya. Setiap hari, kala panen raya, ia mengumpulkan 10—15 ton lalu dijual ke pasar induk Caringin, Kramatjati, dan Cibitung. Dari plasma ia mengambil laba Rp400/kg. “Itung-itung untuk mengganti ongkos kirim,” ujarnya. Dipotong ongkos kirim Rp100/kg, minimal laba Rp3-juta diraupnya setiap hari. Di Kecamatan Cigalontang setidaknya ada 13 bandar seperti Daday yang masing-masing mempunyai plasma.
Cabai hijau
Cigalontang sentra paling menonjol di antara 7 sentra cabai lain di Tasikmalaya. Menurut Ir Tatang Iskandar—kepala Seksi Produksi Sayuran dan Aneka Tanaman Dinas Pertanian Tasikmalaya, pada 2002 lahan cabai di Cigalontang 268 ha, dengan produksi 29.312 kuintal. Dengan volume itu Cigalontang menyumbang 38 % dari total produksi cabai Tasikmalaya yang mencapai 75.747 kuintal. Di kecamatan ini pula pertanaman cabai selalu ada, minimal 100 ha/tahun. Itulah sebabnya Cigalontang ditetapkan sebagai sentra.
Kondisi agroklimat di sini cocok untuk menanam cabai (pH tanah 6—6,5) ketinggian tempat 700—900 m dpl) makanya kualitas cabai pun bisa bersaing dengan cabai dari daerah lain. Varietas yang ditanam hot chili, arimbi, dan jetset. Ukuran buah besar dan daging buah tebal sehingga lebih disukai konsumen.
Maraknya pertanaman cabai di Cigalontang berawal ketika Mui mempelopori penanaman pada 1994. Ia menanam 10 bata atau 140 m2. Karena sukses akhirnya berkembang menjadi 1 ha. Melihat keberhasilan rekannya itu, Apong pun tertarik mengembangkan Capsicum annuum lebih luas. Pada 1997 ia mulai belajar menanam cabai.
Kebanyakan pekebun di sentra itu memproduksi cabai hijau, yang dipanen pada umur 75 hari setelah tanam. Untuk mencapai merah perlu menunggu 45 hari lagi. “Jika menunggu hingga merah, risiko serangan hama dan penyakit lebih tinggi dan kebetulan pasar cabai hijau cukup terbuka,” tutur Apong.
Penyakit antraknosa alias pathek sering menghantui pertanaman cabai saat musim hujan. Ancaman lain, serangan trips dan lalat buah. Namun, ketika awal 2003 virus kuning meluluh lantakkan pertanaman cabai di beberapa sentra di Kabupaten Magelang, Sleman, dan Kulonprogo,
Pekebun di Cigalontang tetap menuai untung. Pekebun di Cigalontang bisa menanam cabai sepanjang tahun tak lepas dari ketersediaan sumber air dari pegunungan. Tak perlu menunggu musim untuk mulai menanam. Ketika musim kemarau mereka menyiram tanamannya dengan menyedot air dari sumber itu.
Usai panen mereka mengolah lahan kembali. “Kalau berhenti, kasihan buruh tani,” ujar bos 50 pekerja itu. Ketika hawa pagi masih menusuk tulang, ayah seorang mahasiswa pascasarjana itu mengangkut para pekerja dengan truk menuju lahan. Lokasi cukup jauh sehingga tak mungkin ditempuh dengan jalan kaki. (Astutiningsih)