Trubus.id— Suhu ekstrem bukan lagi hambatan bagi commercial grower, Edi Sugianto, untuk membudidayakan sayuran. Contohnya saat musim panas di Kota Dubai, Uni Emirat Arab, suhu mencapai 41—45oC. tentu kondisi itu tidak ideal untuk budidaya pertanian.
Sayuran daun seperti selada dan letus lazimnya merana dengan suhu setinggi itu. Namun, di tangan commercial grower asal Indonesia yang kerap menjadi konsultan perusahaan hidroponik di Timur Tengah, Edi Sugiyanto, suhu tinggi dan panas terik bukan lagi menjadi momok.
Pasalnya, Edi mampu memanen 750 kg—800 kg sayuran (letus dan microgreen) setiap harinya. “Kapasitas produksi sebetulnya bisa 1 ton per hari,” kata praktikus hidroponik dan rumah tanam sejak 1996 itu.
Lantas apa rahasia Edi bisa memanen sayuran di negara berpadang pasir itu? Rahasianya menerapkan teknologi pertanian modern Indoor Vertical Farming atau budidaya pertanian bertingkat dalam ruangan.
Pengaturan suhu dan kelembapan sudah otomatis dan terkomputerisasi sehingga menjadikan lingkungan optimal bagi pertumbuhan tanaman. Edi menambahkan, “Produktivitas indoor vertical farming 86 kg—96 kg per meter persegi per tahun untuk sayuran daun,” katanya.
Hasil itu terbilang fantastis jika dibandingkan dengan budidaya konvensional di tanah yang hanya 10—12 kg per meter persegi per tahun untuk komoditas sama. Hidroponik itu terdiri atas 8 tingkat dengan jarak antar tingkat 45 cm—60 cm.
Adapun jumlah lubang tanam 25—35 unit per meter persegi per tingkat. “Amat memungkinkan memodifikasi luasan, tidak melulu mesti luas,” kata ahli Controlled Environtment Agriculture (CEA) itu.
Menurut Edi, luasan tanam bukan menjadi persoalan, terpenting petani mesti tahu spektrum pencahayaan pas untuk tanaman yang hendak dibudidayakan. “Kebutuhan spektrum pencahayaan tiap tanaman berbeda-beda, pemilihan lampu sebagai sumber cahaya amat berkaitan erat dengan investasi yang dikeluarkan,” katanya.
Artinya, jika hendak mengganti komoditas bisa jadi mesti mengganti lampu agar budidaya optimal. Belum lagi beda kapasitas lampu beda pula daya yang dibutuhkan, kaitannya dengan biaya listrik operasional kebun.
Edi mencontohkan, nilai photosyntetic photon flux density (PPFD) atau kerapatan rata-rata total output cahaya ideal bagi letus 175—300 µmol/m2/s dengan daily light integral (DLI) 9—17 mol per hari dan lama penyinaran 9—14 jam per hari.
Kebutuhannya berbeda dengan stroberi yang menghendaki PPFD 450—500 µmol/m2/s, DLI 8—20 mol per hari, dan lama penyinaran 9—16 jam per hari. “Penting bagi praktisi indoor vertical farming bisa menghitung kebutuhan cahaya agar hasilnya optimal dan ekonomis,” katanya.
Edi menyarankan, memasang lampu jangan terlalu tinggi atau rendah dari tanaman. Imbasnya cahaya terlalu melebar dan intensitasnya rendah jika posisi lampu terlalu tinggi, sementara terlalu rendah kurang menjangkau tanaman dan menyebabkan suhu sekitar tanaman meningkat. Jarak antartingkat 45—60 cm pada bagian atas terdapat lampu ideal bagi pertumbuhan tanaman. “Calon pekebun jangan ragu berkonsultasi terkait lampu dengan penyedia jasa perangkat atau konsultan,” kata Edi.