Friday, May 2, 2025

Potensi dan Tantangan Lada

Rekomendasi

Trubus.id – Pada 2024, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara produsen lada terbesar di dunia dengan luas lahan mencapai 163 ribu hektare. Di tahun yang sama, nilai ekspor lada Indonesia mencapai lebih dari USD 311 juta, dengan volume ekspor melonjak hingga 105,80 persen dibanding 2023.

Capaian ini menunjukkan potensi besar industri lada nasional di pasar global. Namun, di balik pencapaian tersebut, sektor ini masih menghadapi tantangan serius yang bisa menghambat pertumbuhan jangka panjang.

Sejumlah kendala utama yang dihadapi adalah penurunan produktivitas akibat tanaman tua, serangan penyakit, serta terbatasnya fasilitas pengolahan pascapanen. Kendala ini tidak hanya mempengaruhi kualitas, tetapi juga menurunkan daya saing produk lada Indonesia di pasar internasional.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perdagangan, menegaskan komitmennya untuk memperkuat ketahanan dan daya saing industri lada nasional. Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono, menyatakan bahwa kolaborasi antara pemerintah, organisasi internasional, dan pelaku industri sangat penting untuk menghadapi tantangan global.

Menurut Djatmiko, tekanan yang dihadapi industri lada tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari dinamika global. Isu perdagangan, keberlanjutan, dan ekspektasi konsumen menjadi faktor yang harus segera direspons dengan strategi konkret.

Dalam sesi diskusi pada Hari Lada Internasional 2025 yang digelar di Jakarta, Direktur Perundingan Antar Kawasan dan Organisasi Internasional Kemendag, Natan Kambuno, mengungkapkan strategi pengembangan lada yang tengah didorong pemerintah. Strategi itu mencakup intensifikasi budidaya, pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas, peningkatan produk bernilai tambah, dan promosi internasional yang lebih agresif.

Ancaman eksternal juga mencuat, seperti rencana Amerika Serikat menerapkan tarif impor baru terhadap lada hitam. Direktur Eksekutif IPC periode 2021–2025, Firna Azura Ekaputri, menyampaikan bahwa kebijakan ini dikhawatirkan merugikan petani lada karena AS sendiri tidak memproduksi lada dan mengimpor sekitar 100 ribu ton per tahun—setara 25 persen dari perdagangan global.

“Lada tidak mengambil alih lapangan kerja petani di AS karena tanaman ini memang tidak tumbuh di wilayah mereka,” tegas Firna pada siaran pers.

Untuk itu, IPC telah menyampaikan catatan resmi agar Pemerintah AS mempertimbangkan penghapusan lada dari daftar produk yang dikenai tarif resiprokal.

Direktur Eksekutif IPC periode 2025–2028 yang baru, Marina Novira Anggraini, mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk duduk bersama mencari solusi atas tantangan yang ada. Menurutnya, keterlibatan aktif dari pemerintah, asosiasi, dan petani sangat diperlukan untuk menjaga keberlangsungan industri lada.

Sebagai tuan rumah Sekretariat IPC, Indonesia memiliki posisi strategis dalam memperkuat kerja sama antarnegara penghasil lada. Dengan tujuh negara anggota yang menyumbang 70 persen produksi lada dunia, IPC berperan penting dalam menjaga kestabilan pasokan dan permintaan global.

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

HR CPO Mei 2025 Turun, HPE Kakao Naik

Harga Referensi (HR) komoditas minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif Badan Layanan...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img