Memanfaatkan bebatuan sebagai rambatan cabai jamu.
Sebanyak 400 batang cabai jamu tumbuh di lahan seluas 0,5 ha milik warga Dusun Wedungan, Desa Gudangharjo, Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Sukidi. Piper retrofractum itu tumbuh di sela tanaman jagung berumur 14 hari. Toh, meskipun hanya tanaman sela, tanaman kerabat lada itu memberikan penghasilan lumayan bagi Sukidi. Pada September lalu, ia memanen 137 kg herba cabai segar. Itu adalah pertama kali ia memanen setelah menanam bibit asal setek 3 tahun silam.
Herba bahan jamu itu tidak tersimpan lama di kediamannya. Setelah panen, Sukidi langsung membawa cabai jamu itu ke pengepul di kecamatan Paranggupito. Itu sebabnya ketika berkunjung pada Oktober 2017 silam, Trubus tidak menjumpai tumpukan cabai jamu di rumahnya. “Pengepul membeli berapa pun yang saya bawa,” katanya. Pengepul membayar Rp22.000 per kg sehingga Sukidi membawa pulang uang sebanyak Rp3-juta. Minus biaya perawatan Rp700.000, ayah 2 anak itu memperoleh laba Rp2,3-juta.

Manfaatkan alam
Tanaman cabai jamu itu panen pada September—Oktober atau menjelang musim hujan. Lazimnya, penanaman cabai jawa memerlukan lanjaran atau tajar, seperti halnya sirih atau lada. Toh, pria 54 tahun itu memanfaatkan bebatuan yang tersebar secara alami di lahan miliknya. Maklum, tanah di kecamatan paling selatan Kabupaten Wonogiri itu berkarakter karst alias gamping. Batu-batu karang mencuat di atas lapisan tanah tipis yang petani gunakan untuk menanam tanaman pangan. Dengan cara itu, Sukidi dan petani lain menghemat biaya tajar.
Petani di Paranggupito hanya mengeluarkan biaya Rp1 juta untuk pupuk. Sukidi menanam cabai jawa lantaran perawatannya relatif mudah. Ia hanya membenamkan 3—5 kg pupuk organik. Pupuk ia benamkan sedalam sejengkal di sekeliling tanaman, berjarak sejengkal dari batang.
Usai memupuk, Sukidi menghamparkan jerami sebelum menimbun dengan tanah. Jerami berguna mempertahankan kelembapan sehingga kandungan air dalam lapisan tanah yang tipis itu tidak menguap. Pemupukan sekali setahun, yaitu pada akhir kemarau.
Pemangkasan biasanya dilakukan pada November—Desember atau menjelang puncak musim hujan. Saat itu curah hujan tinggi berpotensi merontokkan daun atau bakal buah. Sukidi juga menaburkan dolomit di sekitar batang untuk menaikkan keasaman tanah dan mengurangi potensi terserang cendawan patogen.

Petani Paranggupito memperbanyak cabai jamu secara setek. Menurut anggota Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) Gudangharjo yang juga menanam cabai jawa, Sriyono, bahan setek berasal dari 2 jenis sulur. Bibit setek dari sulur yang menjulur di atas tanah mempunyai kelebihan berupa akar yang tumbuh di setiap ruas sehingga tingkat kelulusan hidup di pembibitan tinggi. Kelemahannya, bibit itu justru lambat berbuah, mencapai 1,5 tahun pascatanam.
Pilihan lain, membuat bibit dari sulur yang tumbuh memanjat. Setekan asal sulur panjat lebih cepat berbunga, 3—4 bulan pascatanam. Hanya saja sulur panjat sulit berakar. Artinya, pembibitan memerlukan waktu lebih lama lantaran batang setek perlu ditanam di polibag selama 1—2 bulan sampai muncul akar. Di Paranggupito, petani biasanya akan menanam di samping batu agar ketika tumbuh langsung melekat dan merambat di batu. Batu atau karang yang digunakan biasanya berukuran tinggi 50—70 cm dengan lebar 80—100 cm. Untuk mencegah batang setek mengering akibat sengatan matahari, petani menanam di bawah cekungan batu.

Tegakan lebih produktif
Pemanfaatan batu sebagai pengganti tajar sejatinya mempunyai kekurangan, yaitu produksi lebih rendah. Itu sebabnya Sriyono menyarankan penanaman cabai jawa dengan tajar pohon hidup atau beton cor. Menurutnya, semakin tinggi rambatan akan semakin banyak cabang sehingga menghasilkan lebih banyak buah. Di umur sama-sama 5 tahun, cabai jawa yang menggunakan tajar tegak dapat menghasilkan 5 kg buah segar per pohon per tahun. Bandingkan dengan produksi tanaman yang tumbuh di batu, yang hanya 3,5 kg per pohon per tahun.
Selain itu, tanaman yang tumbuh di tajar tegak relatif lebih aman dari serangan hama dan penyakit. Musababnya, posisi percabangan tanaman jauh dari permukaan tanah sehingga mengurangi peluang terserang penyakit tular tanah atau tular air akibat percikan hujan. Pengalaman Sriyono, hama yang paling sering mengganggu adalah serangga yang membuat sarang di daun sehingga daun keriting. Meskipun demikian, hal itu tidak mempengaruhi produktivitas tanaman.
Tanaman mulai berbunga pada Agustus—September. Setelah itu terbentuk pentil buah yang matang 40—45 hari kemudian, tergantung intensitas sinar matahari. “Cabai jawa memerlukan penyinaran minimal 8 jam sehari untuk fotosintesis yang optimal,” kata Sriyono. Pada Oktober, pekebun mulai panen buah berwarna hijau kemerahan. Cabai jawa yang terlalu matang, yaitu berwarna merah, malah lebih mudah rusak saat proses pengeringan.
Menurut peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, Dr. Otih Rostiana M.Sc., cabai jawa yang dibudidayakan di daerah panas dan kering seperti Kecamatan Paranggupito dapat menghasilkan kadar piperin tinggi. Piperin adalah zat pedas dalam cabai jawa yang merupakan hasil metabolit sekunder yang muncul ketika tanaman stres. Stres tanaman dapat disebabkan karena kondisi lingkungan yang ekstrem seperti panas dan kering.
Setiap bulan, memerlukan pasokan cabai jamu hingga 3 ton, yang sebagian dipasok dari Paranggupito. Peluang itu yang coba ditangkap Sukidi, Sriyono, dan rekan-rekan mereka sesama petani dengan membudidayakan cabai jamu. (Muhammad Awaluddin)