Trubus.id–Kayu ringan super menjadi incaran pasar. Namun, Suparman masygul karena sulit menemukan kayu seperti sengon yang berkualitas kelas A.
Ia rutin menjual kayu sengon dalam bentuk gelondongan dan balok ke beberapa pabrik pengolahan kayu di Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali, keduanya ada di Provinsi Jawa Tengah.
“Sebagian besar pabrik menghendaki kayu sengon kelas A,” ujar pengepul kayu sengon di Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, itu.
Musababnya permintaan dari pasar mancanegara seperti negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Jepang menghendaki kualitas bahan yang istimewa. Makin bagus kualitas, harga pun semakin tinggi.
Pria yang akrab disapa Parman itu membeli kayu sengon gelondongan kelas A dari pekebun seharga Rp950.000—Rp1 juta per batang. Batang kayu yang dipanen mulus. Tidak ada mata kayu sama sekali. Diameter batang pohon 25 cm hingga lebih dari 30 cm.
Berkualitas
Pasar mancanegara menghendaki diameter batang minimal 19 cm. Harga kayu gelondongan sepanjang 130 cm dengan diameter 19—24 cm mencapai Rp850.000 per batang.
Parman menuturkan untuk mendapatkan kayu dengan ukuran itu minimal membutuhkan waktu budi daya selama 4 tahun. Dengan catatan kualitas tanah subur dan perawatan intensif.
Menurut Parman permintaan pasar mancanegara sejak 2020 menghendaki kualitas yang super. Misal Jepang menggunakan standar ketat sesuai dengan ketentuan negaranya.
Sebenarnya tren penggunaan kayu sengon sudah lama populer. Namun, sebelum 2020 permintaan ekspor dari Tiongkok dan India. Kedua negara itu menghendaki bahan dengan kualitas biasa.
Kontrol produk menggunakan standar nasional indonesia (SNI). Beberapa kayu gelondongan dengan diameter kurang dari 19 cm masih bisa diterima. Kini permintaan pasar semakin ketat.

Sebenarnya hal itu bisa menjadikan dorongan para pekebun untuk menghasilkan kayu kualitas super. Apabila produk berkualitas, pendapatan semakin tinggi.
Harap mafhum harga kayu sengon kelas bawah (reject) dari pekebun hanya Rp250.000—Rp300.000 per m3 . Biasanya Parman memproduksi menjadi kayu yang dijual dalam bentuk balok. Harga jual bisa sedikit lebih tinggi daripada kayu reject yakni Rp550.000 per m3 .
Selain sengon ada jenis kayu ringan lain yang masih tetap eksis. Parman juga mengepul dan menjual kayu jabon. Harga kayu sengon dan jabon saat ini sama. Namun, kebutuhan kayu jabon hanya untuk pabrik kayu.
Lazimnya kayu jabon digunakan sebagai bahan dasar barcore dan plywood. Berbeda dengan kayu sengon. Selain untuk kebutuhan pabrik, kayu sengon juga terserap untuk kebutuhan pasar lokal.
Beberapa pembangunan rumah memilih sengon sebagai material. Parman memperoleh pasokan sengon dan jabon dari beberapa pekebun yang tersebar di Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, dan Kabupaten Sukoharjo.
Setiap pekan Parman menjual 24 m3 kayu sengon gelondongan. Untuk kayu sengon dalam bentuk balok yang terjual sebesar 30 m3 . Sementara volume penjualan kayu jabon 50% dari volume penjualan kayu sengon.
Prospek bagus
Total jenderal dalam setahun penjualan kayu sengon mencapai 2.000 m3. Jumlah itu memang tidak sebanyak sebelum 2020, yakni 3.000—5.000 m3 per tahun.
Namun, persentase kualitas tentunya lebih baik. Meskipun demikian minat pekebun untuk menanam kayu sengon dan jabon tetap tinggi.
“Setiap musim hujan terdapat 10.000—20.000 bibit sengon yang terjual,” ujar Parman.
Sama seperti volume produksi kayu. Bibit jabon yang terjual juga sebanyak 50% dari bibit sengon yang terjual.
Alasannya pasar jabon memiliki segmen yang lebih khusus. Parman menjual kedua jenis bibit itu dengan harga sama.
Ia menjual bibit setinggi 50—60 cm dengan harga Rp1.500 per tanaman. Untuk ukuran yang lebih tinggi yakni 90—100 cm dijual dengan harga Rp2.500 per tanaman.
Parman mengatakan, kebutuhan kayu sengon dan jabon kualitas super juga belum terpenuhi semua. Saat ini ia baru memenuhi permintaan 50%. Artinya prospek pasar sengon dan jabon masih terbuka lebar di masa mendatang.
Menurut perwakilan lembaga nonprofit asal Jerman, Faiventures Worldwide, Charles Tanaka, prospek kayu sengon di Indonesia masih bagus. Dunia tidak menghendaki kayu lapis yang berbahan 100% kayu alam. Minimal terdapat kandungan 70% kayu tanaman seperti sengon.
Ia menuturkan negara yang sudah menerapkan aturan itu yakni Jepang. Terdapat juga negara lain yang tidak menghendaki penggunaan kayu hutan alam, yakni Eropa.
Kali pertama Trubus mengangkat sengon sebagai topik yakni pada edisi Agustus 2008. Saat itu sengon populer lantaran terjadi kerusakan hutan. Pemenuhan industri kayu sudah tidak bisa diperoleh dari hutan.
Selanjutnya terdapat inovasi jenis sengon baru dengan umur panen lebih cepat dan kualitas baik. Sajian itu dibahas pada artikel topik sengon Trubus edisi September 2011 dan Trubus edisi Agustus 2014.
Pada 2022 pasokan pasar ekspor memerlukan sengon dalam jumlah besar. Informasi itu terdapat pada topik majalah Trubus edisi April 2022.
Tren penggunaan kayu jabon tidak terpaut jauh dengan sengon. Majalah Trubus kali pertama mengangkat jabon sebagai topik pada Juli 2010.
Saat itu beberapa pekebun beralih menanam jabon, semula sengon. Jabon berpotensi dan memiliki nilai jual untuk menggantikan sengon. (Intan Dwi Novitasari/ Peliput: Riefza Vebriansyah)