Kopi arabika kelas ningrat dari Kabupaten Bandung Barat.
Deru grinder bertenaga listrik berkumandang halus di sudut dapur. Harum khas biji kopi sangrai yang pecah pun menguar hingga ruang tamu rumah mungil di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, itu. Yosep Kusuniyanto, sang tuan rumah, menuangkan serbuk kopi ke dalam cangkir porselen lalu menyiramkan air panas. Asap yang mengepul dari dalam cangkir lagi-lagi membuat aroma kopi tercium.
Yosep menyajikan cangkir berisi kopi berbuih lembut yang masih mengepulkan uap hangat itu lalu menyilakan Trubus mencicipi. Udara Lembang yang sejuk meskipun mendekati pukul 09.00 itu membuat aroma harum semakin kuat menerjang penciuman. Rasa yang tercecap kali pertama adalah sedikit masam—ciri khas kopi arabika. Selanjutnya rasa mirip kacang, penggemar kopi menyebutnya rasa nutty, muncul dari sisi rongga mulut.
Percabangan rapat
Kopi itu terasa ringan, rongga mulut bebas dari sensasi “penuh”—lazim disebut body. “Itu kopi katura,” ujar Yosep menjelaskan jenis kopi yang ia sajikan. Menurut grader kopi di Bandung, Jawa Barat, Adi Taroepratjeka, katura tergolong jenis kopi langka, terutama di Indonesia. “Jenis itu muncul di Brasil dan dinyatakan sebagai mutasi dari arabika jenis bourbon,” kata Adi.
Bourbon salah satu kopi eksklusif yang tumbuh di Brasil dan negara-negara tropis lain di benua Amerika. Meskipun produktivitasnya rendah dan rentan serangan hama penyakit, masyarakat menggemari bourbon lantaran rasa aduhai. Rasanya halus dengan sedikit manis di tepi lidah. Sensasi manis itu pun tercecap di katura, tetapi rasa mirip kacang katura tidak terasa di bourbon.
Yosep memperoleh bibit katura dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) di Jember, Jawa Timur, pada 2007. Ia tidak dengan sengaja mencari bibit kopi langka itu. Saat itu, Yosep yang biasanya menekuni pertanian hortikultura tertarik mengebunkan kopi. Ia memutuskan menanam kopi setelah mempelajari sejarah daerah rumahnya di Desa Sukajaya, Lembang, yang mempunyai riwayat sebagai perkebunan kopi pada masa kolonial.
Kurangnya perawatan membuat produksi pohon-pohon kopi renta itu anjlok sehingga warga menebang dan mengganti dengan komoditas sayuran. Menekuni pertanian hortikultura, Yosep merasakan nasibnya terlalu disetir tengkulak. Ayah 3 putri itu lantas beralih menanam kopi. Pada 2007—2010, ia menanam bertahap kopi di lahan seluas 2 ha. Melihat tanamannya tumbuh subur dan mulai belajar berbuah, ia pun bersemangat memanen.
Namun, buah dari tanaman pertama menunjukkan perbedaan dengan hasil panen rekan-rekan pekebun lain, yang rata-rata menanam varietas sigarar utang. Biji tanaman asal Etiopia itu lebih kecil tetapi padat dan berat. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran itu lantas membawa hasil panennya kepada Adi Taroepratjeka. Melalui tes cupping, Adi menyatakan kopi yang Yosep bawa sebagai jenis katura.
Mengetahui kopinya tergolong langka, Yosep pun semangat memperbanyak. Pada 2011 ia memperluas penanaman hingga 20 ha di lahan perusahaan negara yang ia sewa dengan sistem bagi hasil. Saat ini 90% dari 12.000 pohon di lahannya berjenis katura. Menurut Yosep produktivitas katura tidak kalah dibandingkan varietas lain yang umum ditanam.
“Percabangan katura rapat sehingga sejatinya lebih produktif. Pekebun di Brasil malah sampai bisa memanen dengan mesin,” kata Yosep. Panen terbanyak ia peroleh pada 2015, saat ia memperoleh 5 ton biji dari 12.000 pohon—setara 0,42 kg per pohon. Rekan-rekan yang menanam kopi lain hanya memperoleh 0,2—0,3 kg buah per tanaman. Ia memperoleh hasil itu tanpa memberikan pupuk tambahan, hanya mengandalkan serasah daun yang lapuk menjadi humus. Padahal idealnya tanaman memperoleh pupuk tambahan 2 kali setahun.
Merah dan kuning
Yosep tidak memupuk kopi di kebunnya. “Pupuk bersubsidi hanya boleh untuk pertanian, padahal pekebun seperti saya pun memerlukan,” ujarnya. Membeli pupuk nonsubsidi nyaris tidak mungkin lantaran harganya tinggi. Akibatnya panen 2016 merosot menjadi hanya 2 ton. Selain kesulitan pupuk, kesibukannya yang kerap harus bepergian membuat tanaman kurang terawat.
Pohon yang ia tanam di bawah tegakan pinus tertimpa daun pinus kering yang mengakibatkan bunga tidak terbentuk. Kopi katura milik Yosep berjenis katura merah, yang buahnya merah saat matang. Sementara di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, tumbuh katura kuning. “Warna buahnya kuning ketika matang sempurna,” kata Adi Taroepratjeka.
Sayang, Adi tidak mempunyai keterangan lengkap perihal keberadaan katura kuning. “Yang jelas pasokannya terbatas, mungkin karena jumlah pohon sedikit sementara peminat banyak,” ungkap Adi. Terbukti saat Trubus mengunjungi Adi pada Oktober 2016, ia tidak memiliki persediaan kopi eksklusif asal Pulau Flores itu. Kopi katura rentan serangan hama, terutama kalau ditanam dekat pemukiman.
Ia menunjukkan buah dari pohon yang ia tanam di dekat rumah, yang terserang kumbang penggerek buah kopi alias coffee berry borer. Kumbang dewasa Hypothenemus hampei itu melubangi buah ketika masih pentil lalu memasukkan telurnya. Telur itu menetas menjadi larva kecil yang membuat terowongan di dalam biji kopi. Keruan saja buah tidak layak panen lantaran bakal merusak rasa biji kopi lain yang sehat.
Menurut peneliti hama dan penyakit Puslitkoka, Ir Agung Wahyu Susilo, sejatinya penggerek buah kopi lazim menyerang kopi robusta yang tumbuh di ketinggian 500 m atau kurang. Namun, “Arabika pun bisa terserang kalau ada serasah buah yang tidak terambil ketika panen dan dibiarkan berserakan di bawah tajuk,” ujar Agung. Ia menduga tanaman Yosep dekat pemukiman terserang penggerek buah kopi lantaran di sekitarnya banyak orang menyimpan biji kopi.
Maklum, selain menyerang buah di pohon, penggerek buah kopi juga bisa merusak buah kopi di penyimpanan. Namun, kelangkaan dan kerentan katura tidak lantas membuat harganya melonjak tinggi. Yosep menjual green bean—biji kopi kupas yang belum disangrai—dengan harga tidak sampai Rp200.000 per kg. Padahal hitung-hitungan Yosep, biaya produksi per kg mencapai Rp110.000.
Penikmat kopi mempunyai selera berbeda. Sebagian menghargai rasa katura, lainnya justru tidak suka. Bagi Yosep, yang terpenting adalah mampu menyusun sendiri cerita kopi produksinya. “Penikmat kopi saya bisa dengan bangga mengisahkan kopi dari Lembang,” katanya. (Argohartono Arie Raharjo)